tirto.id - Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Pol Arief Sulistyanto menyatakan proses penyidikan kasus pembunuhan Aktivis HAM, Munir Said Thalib belum pernah ditutup oleh kepolisian.
“Kami tidak pernah menutup penyidikan. Karena tidak ada konsep buka-tutup [penanganan kasus). Yang ada ialah memulai dan menyelesaikan,” ujar dia di Mabes Polri, Jakarta, pada Jumat (7/9/2018).
Menurut Arief, apabila ditemukan bukti dan fakta baru atau novum maka Polri akan melanjutkan penyidikan kasus ini. Mantan salah satu anggota penyidik kasus Munir itu juga menilai proses pembuktian di kasus ini rumit.
Arief mengklaim, dalam penanganan kasus Munir, Polri sudah melakukan langkah signifikan di proses penyidikan dengan memproses berkas perkara empat tersangka yakni Pollycarpus Budihari Priyanto, Indra Setiawan, Rohainil Aini, dan Muchdi Purwoprandjono (Muchdi Pr).
Hukuman terberat diterima oleh Pollycarpus. Mantan pilot Garuda Indonesia mendapat mendapat vonis hukuman 20 tahun penjara. Ia bebas bersyarat pada November 2014 dan resmi bebas murni di akhir Agustus tahun ini.
Sementara Indra Setiawan, yang merupakan eks Dirut Garuda Indonesia, cuma menerima vonis 1 tahun penjara dan telah bebas pada 2008 lalu. Rohainil Aini, sekretris pilot Garuda, juga divonis 1 tahun bui oleh Mahkamah Agung (MA). Sedangkan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Pr justru mendapat vonis bebas di persidangan.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menginstruksikan kepada Kabareskrim Arief Sulistyanto untuk meneliti kembali berkas perkara kasus Munir. Hal ini disampaikan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, pada 3 September lalu.
"Kapolri sudah perintahkan Kabareskrim untuk meneliti lagi kasus itu. Kita akan buka lagi berkas perkara untuk diteliti dan didalami, kita akan cek kebenarannya," ujar Setyo.
Diketahui, laporan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sudah diserahkan oleh Ketua TPF Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005. Pertemuan resmi kenegaraan di Istana Negara itu pun dihadiri oleh tujuh pejabat negara.
Mereka adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Jaksa Agung Marzuki Darusman, Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, Kepala BIN Syamsir Siregar, dan Juru Bicara Kepresidenan Andi Alfian Malarangeng.
Laporan yang tuntas pada Juni 2005, ternyata tak pernah dibuka ke publik. Lebih parah lagi, laporan lengkap TPF itu hilang di Kementerian Sekretariat Negara. Padahal menurut pengakuan Hendardi dan Usman Hamid, dua anggota TPF, saat bersaksi di persidangan gugatan di Komisi Informasi Pusat (KIP), laporan tersebut sudah diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY di Istana Negara.
Ironisnya, hilangnya berkas laporan TPF itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Ketika itu KontraS mendatangi kantor Sekretariat Negara buat meminta penjelasan dan mendesak segera diakukannya pengumuman hasil laporan TPF. Namun sayang, KontraS mendapatkan jawaban aneh. Lembaga negara itu justru sama sekali tidak memiliki dan menguasai berkas laporan tersebut.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom