Menuju konten utama

Jual Soeharto, Titiek Bisa Robohkan Elektabilitas Prabowo-Sandiaga

Berbagai masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini, justru dianggap akibat kebijakan Soeharto.

Dua putri almarhum mantan Presiden Soeharto, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto (kiri) bersama Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek Soeharto (kanan) berfoto bersama di sela-sela meninjau pameran foto dalam acara Bulan HM Soeharto di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Minggu (11/3). ANTARA FOTO/Ubaidillah.

tirto.id - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Titiek Soeharto atau Siti Hediati Harijadi masih getol menjual rekam jejak ayahnya, Presiden ke-2 Soeharto.

Anggota dewan pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu, berusaha mengembalikan kebijakan era Soeharto.

“Sudah cukup. Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia,” twit Titiek melalui akun Twitternya, Rabu (14/11/2018).

Menurut mantan politikus Partai Golkar itu, Presiden Jokowi tak serius memajukan sektor pertanian, justru malah membuka keran kebijakan impor yang membuat petani tercekik.

Padahal pada era Soeharto, meskipun ada kebijakan swasembada pangan, pada tahun 1984, Indonesia masih mengimpor beras. Terlebih pada tahun 1995, Indonesia ketergantungan pada impor beras. Kala itu impor beras mencapai angka sekitar 3 juta ton.

Era kepemimpinan Soeharto juga bergelimang penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Berdasarkan data Global Corruption Report 2004 dari Transparency International, Soeharto adalah salah satu pemimpin paling korup di dunia.

Soeharto dianggap menggelapkan dana negara 15 hingga 35 miliar dolar Amerika Serikat (AS), saat GDP negara kurang dari 700 dolar AS per kapita. Meski diduga menyalahgunakan sumber daya negara, Soeharto kebal hukum.

Menganulir Semangat Reformasi

Juru bicara Tim Kampanye Nasional pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ahmad Basarah menyatakan, keinginan untuk mengembalikan kepemimpinan seperti era Soeharto bertentangan dengan semangat reformasi tahun 1998.

Politisi PDIP itu menilai, pemerintahan era reformasi adalah antitesis dari kepemimpinan ala Orde Baru (Orba).

"Semangat itu sebenarnya semangat mewujudkan kembali kepemimpinan otoritarian di zaman Pak Harto, itu bertentangan dengan semangat reformasi yang kita bangun saat ini," kata Basarah di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (17/11/2018).

src="//mmc.tirto.id/image/2017/01/27/InfografikKilasbalikkehidupansoeharto.jpg" width="860" alt="Infografik Kilas balik kehidupan soeharto" /

Dia pun menganggap, Soeharto meninggalkan banyak pertanyaan di benak masyarakat bahkan hingga akhir masa jabatannya. Salah satunya ialah kiprah korupsi sang diktator itu. Basarah merujuk pada Suharto yang sempat menjadi terdakwa kasus penyalahgunaan dana yayasan sosial. Namun ia tak kunjung bisa dihadirkan ke persidangan karena sakit. Akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Soeharto.

"Jadi secara yuridis ketatanegaraan status Pak Harto ini adalah tersangka korupsi. Nah ini tentu dengan semangat kita memberantas korupsi penegakan hukum di bidang korupsi tentu ini menjadi suatu hal yang saya kira perlu kita pertimbangan kembali," terangnya.

Elektabilitas Prabowo-Sandiaga Bisa Anjlok?

Titiek Soeharto merupakan anggota salah satu pimpinan tim sukses Prabowo-Sandiaga. Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga mengatakan, langkah Titiek untuk menjual nama bapaknya di kontestasi Pilpres 2019 tidaklah relevan.

"Karena yang lebih disasar adalah kalangan-kalangan tua yang kemudian masih memiliki romantisme terhadap era Soeharto," kata Airlangga kepada reporter Tirto, Sabtu (17/11/2018).

Pada pemilihan presiden pertengahan tahun mendatang, mayoritas pemilih adalah generasi milenial. Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik, pemilih milenial akan menyumbang 23,77 persen atau seperlima dari total populasi Indonesia pada 2019.

Airlangga menganggap, generasi milenial tidak akan banyak melirik nama Soeharto yang dijual Titiek. Sebab generasi itu lebih cenderung menatap ke depan dan menganggap generasi sebelumnya sebagai gangguan.

Maka dari itu menjajakan kembali nama Soeharto dan Orba, kata Airlangga, justru akan menuai perlawanan. Utamanya dari generasi usia 40 tahunan yang turut merasa gerah pada kebijakan Orba.

Menurut Airlangga, menjual nama Soeharto justru kontradiktif dengan taktik kampanye Prabowo yang hendak mengedepankan permasalahan ekonomi. Sebab masalah-masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia hari ini, menurutnya adalah akibat dari rezim Orba. Contohnya adalah masalah ketimpangan sosial.

"Problem ini sebetulnya kan berakar dari pola ekonomi politik Orba yang membangun corak oligarki [kekuasaan ada di tangan segelintir orang]," jelasnya.

Airlangga merekomendasikan, kubu Prabowo-Sandiaga menyusun program-program dari masalah ekonomi yang selama ini didengungkan. Bukan malah menengok ke belakang dan ingin jadi seperti Soeharto.

Di sisi lain, Indo Barometer sendiri pada 20 Mei 2018, merilis survei bertajuk “Evaluasi 20 Tahun Reformasi”. Laporan ini intinya menanyakan ke masyarakat mana yang lebih baik, era Orba atau reformasi.

Dalam survei itu didapati, sebanyak 36,3 persen responden menilai kondisi Indonesia di era reformasi lebih baik dibanding era Obar, dan Orde Lama. Persepsi itu meningkat 13,5 persen jika dibandingkan dengan survei serupa pada tahun 2011 lalu yang hanya 22,8 persen.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
-->