Menuju konten utama

Jual-Beli Jabatan Marak, DPR Malah Ingin Bubarkan Komisi ASN

Praktik korupsi dengan motif jual-beli jabatan marak terjadi di daerah. Namun, DPR malah mewacanakan akan menghapus peran Komisi Aparatur Sipil Negara yang selama ini melakukan pengawasan.

Jual-Beli Jabatan Marak, DPR Malah Ingin Bubarkan Komisi ASN
Bupati Klaten non aktif Sri Hartini meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Rabu (18/1). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Operasi tangkap tangan Bupati Klaten Sri Hartini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada penghujung Desember 2016 membuka tabir gelap praktik jual-beli jabatan di daerah. Komisi antirasuah menduga Sri Hartini telah menjual promosi jabatan di daerah yang dipimpinnya.

Wanita kelahiran Sukoharjo ini ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus suap jual beli jabatan setelah komisi antirasuah menyita barang bukti uang senilai Rp2,08 miliar, $5.700, serta 2.035 dolar Singapura, dan buku catatan mengenai sumber uang tersebut. Ia dijerat Pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Pasal itu mengatur soal pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang patut diduga diberikan agar si pegawai melakukan hal di luar wewenangnya. Orang yang terbukti melanggar pasal itu terancam pidana penjara minimal 4 tahun, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Kasus yang menjerat Sri Hartini hanyalah fenomena puncak gunung es.Hal ini terkonfirmasi dari puluhan dugaan kasus jual beli jabatan yang dilaporkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Masih ada puluhan yang belum diungkap,” kata Ketua KASN, Sofian Effendi seperti dikutip Antara.

Menurut Sofian, berdasarkan catatan lembaganya, uang hasil jual-beli jabatan yang terjadi di sejumlah institusi di seluruh Indonesia jika ditotal diperkirakan mencapai Rp35 triliun selama 2016. Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan praktik jual-beli jabatan yang terjadi di Klaten.

Sebelum Sri Hartini ditangkap KPK dan kasus jual-beli jabatan belum mencuat ke publik, Klaten telah berencana melakukan pergantian pejabat secara massal untuk sekitar 850 jabatan. “Misal ada 850 jabatan dan dikalikan Rp50 juta [uang suap] sudah berapa triliun? Belum yang jual-beli formasi pegawai mulai Rp75 juta sampai Rp200 juta,” ujarnya.

Sofian mengatakan penggantian jabatan secara massal seperti yang terjadi di Klaten dapat menjadi indikasi terkuat adanya praktik jual-beli jabatan di daerah lain, misalnya Jambi. Apalagi Jambi termasuk salah satu daerah yang terindikasi dugaan adanya jual-beli jabatan yang disebut KASN.

Pada akhir 2016, ada 32 pejabat yang terdiri dari eselon II dan III diberhentikan melalui SK Gubernur Jambi dan menunjuk Sekretaris Dinas masing-masing menjadi Pelaksana Tugas (Plt). Terakhir, pejabat eselon I yakni Sekretaris Daerah (Sekda) juga diberhentikan dan gubernur menunjuk Kepala Balai Diklat Provinsi Jambi sebagai Plt.

Dalam mutasi massal tersebut memang belum terkonfirmasi penyimpangan seperti yang terjadi di Klaten. Namun kehati-hatian seperti diungkapkan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi, Ar Syahbandar perlu dipertimbangkan. Ia meminta pihak eksekutif untuk menghindari praktik jual-beli jabatan mengingat di Pemprov Jambi banyak jabatan eselon II defenitif yang kosong.

Ia juga menegaskan agar pihak eksekutif tidak melakukan pungutan atau jual beli jabatan seperti yang terjadi di Kabupaten Klaten. “Kita tidak mau itu ya, kalau ada harus diusut dan ditindak tegas secara hukum,” ujarnya.

Infografik Jual Beli Jabatan

Mencari Akar Masalah

Kasus suap yang menjerat Bupati Klaten dan catatan KASN tentang dugaan masifnya praktik jual beli jabatan membuat Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mewanti-wanti agar pejabat, khususnya di daerah, agar tidak terlibat jual-beli jabatan yang bakal merusak karirnya.

Menurut Tjahjo, pihaknya hanya bisa memberikan peringatan bahwa area rawan korupsi, selain dalam perencanaan anggaran, adalah mutasi jabatan seperti yang terjadi di Klaten.

“Untuk yang lain agar hati-hati bahwa apapun jabatan jangan dijualbelikan. Itu adalah prestasi dan jenjang karir. Jangan sampai prestasi dan jenjang karir seorang PNS terganjal/terpotong hanya karena upeti,” tegasnya.

Lalu, mengapa kasus jual beli jabatan terjadi?

Berdasarkan catatan KASN, salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kasus jual beli jabatan adalah minimnya instansi yang menyelenggarakan seleksi jabatan secara terbuka. Menurut Sofian, dari 600 instansi pemerintahan pusat dan daerah, 57 persen di antaranya belum melakukan seleksi jabatan secara terbuka.

Dari 43 persen yang telah melakukan seleksi terbuka tersebut, kualitasnya juga tidak sama. Menurut Sofian, ada yang seleksi terbukanya sudah bagus, namun tidak sedikit proses seleksi terbukanya yang masih memiliki rapor merah. Padahal, kalau seleksi terbuka dilakukan, maka praktik jual beli jabatan bisa dihindari.

Hal tersebut telah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Regulasi ini salah satunya mengatur pemberlakuan seleksi terbuka dalam penempatan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dalam pengawasan KASN.

Sayangnya, di tengah maraknya praktik dugaan jual beli jabatan di daerah, DPR justru mewacanakan revisi UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Negara (ASN) yang salah satunya mengatur pemberlakuan seleksi terbuka dalam penempatan jabatan pimpinan tinggi. Sayangnya, DPR mewacanakan pembubaran KASN dalam revisi UU ASN.

Ketua Panja Revisi UU ASN, Arif Wibowo mengatakan, penghapusan KASN diusulkan dengan alasan keberadaannya membuat pengisian jabatan pimpinan tinggi di instansi-instansi pemerintah menjadi tidak efektif. Ini karena setiap pengisian jabatan harus didahului oleh rekomendasi KASN.

Struktur organisasi baru dan pengisian pejabat untuk struktur baru itu berjalan lambat, tidak efektif, karena setiap pengisian harus didahului rekomendasi KASN. Padahal, yang dibutuhkan saat ini efektivitas kerja pemerintahan,” ujarnya.

Namun, rencana penghapusan KASN tersebut mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, termasuk KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo meminta agar revisi UU ASN tidak berdampak pada pembubaran KASN.

Agus mengatakan, selama ini keberadaan KASN telah memonitor pelaksanaan kebijakan ASN serta menegakkan pemberlakuan sistem merit yang selama ini digunakan untuk menyeleksi pejabat tinggi ASN. “Fungsinya sangat penting karena sudah membudayakan merit system serta seleksi ASN secara terbuka,” kata Agus, Selasa (7/2/2017).

Menurut Agus, jika KASN dibubarkan secara bersamaan juga berpotensi menghilangkan sistem merit serta peniadaan seleksi untuk pengangkatan tenaga honorer yang selama ini telah terbangun. Apalagi dalam draf revisi UU ASN, peniadaan seleksi untuk pengangkatan tenaga honorer atau pegawai tidak tetap (PTT) menjadi ASN memang menjadi salah satu usulan.

Ia berharap dalam revisi UU ASN ke depan justru mampu memperkuat reformasi birokrasi, di antaranya yang terpenting adalah menghilangkan tumpang tindih tugas dan fungsi antar institusi birokrasi. Menurut dia, reformasi birokrasi jangan dilihat sepotong tetapi luas, karena selama ini masih banyak tumpang tindih.

Hal yang sama juga diungkapkan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo. Menurut dia, KASN harus tetap dipertahankan. Karena menghapus keberadaan KASN akan membuat praktik tindak pidana suap di lingkungan ASN semakin menjamur.

Baca juga artikel terkait JUAL BELI JABATAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani