Menuju konten utama
4 Mei 1980

Josip Broz Tito, Pemimpin Komunis yang Berani Menentang Uni Soviet

Josip Broz Tito adalah pemimpin komunis yang langka. Ia dekat dengan Blok Barat dan berani menentang Joseph Stalin.

Josip Broz Tito, Pemimpin Komunis yang Berani Menentang Uni Soviet
Josip Bros Tito. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Josip Broz Tito adalah nama besar di negara-negara Balkan pecahan Yugoslavia.

Orang-orang di sana pasti masih ingat bagaimana di era 1980-an, Broz Tito, tokoh revolusioner sekaligus negarawan Yugoslavia, kerap tampil di depan publik dengan menyesap cerutu Kuba sambil menggenggam sebotol wiski. Tito juga punya lusinan rumah yang tertata apik di sudut-sudut Yugoslavia. Vila Bled yang mewah kerap dipakai Tito untuk menjamu para pemimpin dunia yang bertandang.

Republik Federal Sosialis (SRF) Yugoslavia yang didirikan Broz Tito pada 1945 memang sudah ambruk dan bubar hampir dua dekade silam dan kini menjadi negara-negara merdeka seperti Serbia, Montenegro, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Slovenia, Makedonia, dan Kosovo. Namun sebagian besar rakyatnya masih menyimpan memori kuat tentang Broz Tito.

Tito dianggap oleh banyak orang di Balkan sebagai sosok pahlawan ketika memimpin gerilyawan Partisan Yugoslavia melawan pendudukan Nazi Jerman. Setelah Perang Dunia II ia membidani kelahiran Yugoslavia baru, berseteru dengan Joseph Stalin dan membawa Yugoslavia lepas dari hegemoni Uni Soviet, serta menggagas gerakan Non-Blok.

Orang-orang yang hidup di era Yugoslavia zaman itu menikmati layanan pendidikan dan kesehatan gratis, mendapat uang pensiun yang layak dan pekerjaan yang mapan. Tito mengizinkan rakyat Yugoslavia mendalami sains, seni, dan budaya yang sebelumnya terbentur pengaruh Soviet.

Tak heran bila masih banyak penduduk pecahan Yugoslavia yang merindukan masa-masa "penak jamane Broz Tito" selama 35 tahun berkuasa dan menjadi presiden seumur hidup.

“Itu adalah waktu di mana Tuhan sedang berjalan di bumi: pekerjaan yang enak, uang yang bagus, liburan di luar negeri atau di Kroasia,” kata Gordana Majstorovic (55), seorang teller bank di Belgrade, Serbia kepada The Independent pada 2010. “Aku bernostalgia tentang periode itu.”

Bagi cucu Tito, Josip-Joska Broz (63), wajar belaka ketika melihat banyak orang yang bernostalgia di zaman kakeknya. “Itulah saat di mana ada keselamatan dan keamanan; seorang ayah pekerja yang selain sebagai kepala keluarga, juga berjuang bagi pendidikan dan perawatan kesehatan gratis untuk semua. Yugoslavia punya reputasi yang baik di seluruh dunia,” ujar Joska bangga.

Tito mengembuskan napas terakhir pada 4 Mei 1980, tepat hari ini 39 tahun silam. Pemakaman Tito baru dilaksanakan empat hari kemudian pada 8 Mei. Upacara pemakaman Tito disebut-sebut masih yang terbesar di dunia dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara. Kala itu berbagai pemimpin dunia baik dari Blok Barat, Blok Timur, dan Non-Blok hadir. Terdiri dari 4 raja, 31 presiden, 6 pangeran, 22 perdana menteri, dan 47 menteri luar negeri.

Seperti dilansir Radio Liberty, puluhan organisasi yang didirikan untuk menjaga ingatan tentang Tito banyak berdiri di Kroasia dan Bosnia. Di Slovenia, Tito telah menjadi semacam ikon pop bagi anak-anak milenial. Kaos bergambar wajah Tito bertebaran laksana Che Guevara-nya Balkan. Setiap tahun ribuan simpatisan Tito dari seluruh wilayah bekas Yugoslavia berziarah mengunjungi tempat kelahiran Tito di Kumrovec, Kroasia maupun ke makamnya.

Buruh Logam Jadi Pemimpin Yugoslavia

Josip Broz Tito terlahir dengan nama Josip Broz pada 7 Mei 1892 dari keluarga petani makmur di Kumrovec, Austria-Hungaria (kini Kroasia). Encyclopaedia Britannica mencatat, ayah Tito adalah orang Kroasia dan ibunya Slovenia. Karier awal Tito jauh dari panggung politik maupun kemiliteran. Sejak 1907 ia menjadi seorang tukang kunci dan pekerja logam keliling.

Baru pada 1910, sembari bekerja serabutan, Tito bergabung menjadi anggota Partai Sosial Demokrat Kroasia-Slavonia di Zagreb. Tiga tahun setelahnya Tito direkrut menjadi tentara Kerajaan Austria-Hungaria yang sedang dilanda Perang Dunia I.

Pengalaman perang pertama Tito datang pada 1914 saat ia berpangkat sersan dan bertempur melawan pasukan Kerajaan Serbia. Setelahnya, pada 1915, ia bertempur melawan Kekaisaran Rusia dan terluka parah. Tito ditangkap dan menjadi tahanan perang. Ketika di kamp tahanan itulah Tito mulai berkenalan dengan gerakan Bolshevik yang kelak akan meruntuhkan imperium Rusia dan membangun pemerintahan baru di bawah bendera Uni Soviet. Tito tertarik dengan gerakan pembebasan tersebut. Setelah Revolusi Oktober 1917, Tito malang melintang di pihak Bolshevik termasuk bergabung dengan Tentara Merah.

Dengan membawa semangat Bolshevik yang sukses menggulingkan Kekaisaran Rusia, pada Oktober 1920 Tito pulang ke kampung halamannya di Kroasia. Ketika itu Kroasia adalah bagian dari Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia yang baru berdiri (cikal bakal Kerajaan Yugoslavia). Tito lantas bergabung dengan Partai Komunis Yugoslavia (CPY). Pada Desember 1920 komunisme dinyatakan sebagai gerakan terlarang oleh kerajaan. Imbasnya, Tito kehilangan pekerjaan di sebuah toko kunci di Zagreb. Tito lantas meninggalkan kota dan menetap di pedesaan menjadi mekanik pabrik sampai 1923.

Tito tak sepenuhnya meninggalkan panggung politik. Ia diam-diam menjalin kontak dengan CPY dan menjabat sebagai fungsionaris partai dan organisator serikat pekerja di Kroasia dan Serbia. Pada 1927 karier Tito merangkak naik menjadi bagian dari komite CPY untuk Zagreb dan menjadi sekretaris organisasi, memimpin demonstrasi menentang pembunuhan wakil Kroasia di parlemen Belgrad, ditangkap polisi dan dipenjara lima tahun karena menghidupkan CPY, serta menentang kekuasaan Raja Alexander I. Tito sendiri adalah nama samaran yang mulai dipakai setelah bebas dari penjara.

Sepak terjang Tito menarik perhatian Uni Soviet. CPY kemudian dirangkul untuk menjadi bagian dari Komintern. Dari Februari 1935 sampai Oktober 1936, Tito berada di Uni Soviet, tempat ia bekerja di jajaran Komintern. Meski begitu, nama Tito tak banyak dikenal dunia dan masih kalah pamor dari Joseph Stalin pemimpin Uni Soviet.

Sosok Broz Tito mulai dicintai maupun dibenci pada Perang Dunia II. Namanya mulai mencuri perhatian dunia saat ia memimpin pasukan Partisan Yugoslavia atau Pasukan Pembebasan Nasional yang komunis itu melawan pendudukan Nazi Jerman di wilayah Kerajaan Yugoslavia. Tito dan Partisan Yugoslavia mendapat dukungan untuk menumpas Nazi baik dari Soviet maupun dari Inggris dan AS.

Mengambil momentum untuk mendirikan Yugoslavia baru, kelompok anti-komunis, demokrat, dan fasis ikut dihabisi. Dari 1943 sampai 1945 diperkirakan ada 10.000 orang yang disiksa dan dibantai oleh pasukan Partisan di semenanjung Istrian yang kemudian dikenal sebagai pembantaian Foibe. Raja Peter II digulingkan dan pemerintahan baru di bawah bendera Republik Rakyat Federal (FPR) Yugoslavia resmi berdiri pada 1945.

Gagasan tentang persaudaran dan persatuan di antara semua bangsa, etnis, dan agama melandasi berdirinya Yugoslavia. Tito dalam banyak pidatonya berulang kali menekankan persatuan dan kesatuan itu serta tak ada satupun yang diizinkan merusaknya. Nama Republik Rakyat Federal Yugoslavia pada 7 April 1973 berganti menjadi Republik Federal Sosialis (SFR) Yugoslavia.

Berani Menentang Stalin

Broz Tito dikenal pula sebagai pemimpin komunis yang berani menentang hegemoni Uni Soviet atas negara-negara komunis. Tito tak mau Yugoslavia hanya menjadi negara satelit penyokong Soviet. Menurut Richard West dalam Tito and the Rise and Fall of Yugoslavia (1994), Tito merasa perjuangannya selama ini untuk membebaskan Yugoslavia dengan pengusiran tentara Nazi dan penggulingan Kerajaan Yugoslavia sangatlah besar. Jerih payahnya mengagitasi rakyat akar rumput sampai perjuangan bersenjata akan terasa sia-sia jika Yugoslavia hanya menjadi negara satelit penyokong Blok Timur dan Tito tak bisa leluasa menjalankan kebijakan politiknya sendiri.

Pada puncak perselisihan, Stalin mengeluarkan CPY dari Biro Informasi Komunis (Kominform) pada 1948. Sejak itu hubungan Yugoslavia dan Uni Soviet menegang. Keduanya kerap terlibat adu mulut, saling boikot ekonomi dan Soviet pernah mengancam akan menyerang Yugoslavia.

Setelah putus hubungan dengan Soviet, Yugoslavia mulai dekat ke Barat. Dalam suasana Perang Dingin, Amerika Serikat tak membuang kesempatan untuk menempel Yugoslavia. Coleman Mehta dalam "The CIA Confronts the Tito-Stalin Split, 1948–1951" mencatat CIA mulai mencurahkan banyak perhatian pada Yugoslavia selepas berpisah dengan Soviet meski tak sampai menjalin hubungan yang sangat dekat.

Baru ketika Perang Korea pecah pada Juni 1950, CIA menjalin perjanjian formal kerja sama dengan Kementerian Keamanan Negara Yugoslavia yang memungkinkan pembagian intelijen dan operasi rahasia. Para pejabat AS ingin memastikan apabila Yugoslavia diserang Soviet, mereka tetap bisa mempertahankan diri.

Infografik Mozaik Josip Broz Tito

undefined

Di sisi lain, Tito juga masih berhubungan dengan Blok Timur terutama setelah kematian Stalin pada 1953. Nikita Khrushchev, pemimpin Soviet yang baru berkunjung ke Belgrade pada Mei 1995 dalam rangka rekonsiliasi dan meningkatkan hubungan baik dengan negara komunis macam Yugoslavia. Tito melihat bahwa komunisme di Republik Rakyat Cina adalah sekutu Yugoslavia saat Cina mulai menentang hegemoni Soviet pada 1960-an.

Kebijakan luar negeri Tito tampak mengambil posisi tengah dengan tidak menunjukkan dukungan kuat ke Blok Timur maupun berpaling ke Blok Barat. Ia tak canggung mengunjungi Uni Soviet, AS, dan Cina dan menekankan pentingnya kerja sama dengan ketiganya. Tito sampai mencari negarawan yang punya pandangan sama terkait gagasan Non-Blok.

Pada Juli 1956 Tito bertemu Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan mengembangkan konsep Non-Blok. Sampai akhirnya pada 1 September 1961 konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) pertama dihelat di Belgrade, Yugoslavia (kini Serbia). Konferensi ini dipelopori lima pemimpin negara: Josip Broz Tito, Sukarno (Indonesia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Jawaharlal Nehru (India), dan Kwame Nkrumah (Ghana).

Satu dekade setelah kematian Tito, Yugoslavia rapuh disapu gelombang nasionalisme etnis. Perang saudara tak terhindarkan dan menyebabkan sekitar 100.000 orang tewas, 2,4 juta menjadi pengungsi, dan puncaknya tujuh negara menyatakan kemerdekaannya masing-masing.

Setelah 1992, Yugoslavia tinggal nama. Begitu pula era Broz Tito.

Baca juga artikel terkait SEJARAH DUNIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Ivan Aulia Ahsan