tirto.id - Beras merupakan komoditas yang sensitif secara politis karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Selain karena urusan perut, beras juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam menopang kekuasaan. Orde Baru di bawah Soeharto sangat paham betul ihwal ini.
“Pokoknya, penyediaan beras itu merupakan taruhan, kalau ada orang yang tidak bisa menyediakan beras, jangan berharap jadi presiden,” kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono pada Desember 1991, dikutip dari laman soeharto.co
yang mengutip buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita” (2008:334-336))
Sejak berkuasa, Soeharto langsung memprioritaskan pembangunan sektor pertanian, dan mengeluarkan sejumlah kebijakan pangan. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada 1966, akhirnya mampu swasembada beras pada 1984. Pada 1984, produksi beras nasional menyentuh 25,8 juta ton, naik dua kali lipat dari 1969 sebanyak 12,2 juta ton beras.
Persoalan beras juga jadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi), presiden ke-7 ini menargetkan swasembada beras dalam waktu tiga tahun, sejak menjabat pada 2014. Target swasembada beras Jokowi masih jauh panggang dari api. Sejak 2014 hingga saat ini, Indonesia masih mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Trennya bahkan terus meningkat.
Pada 2014, impor beras Indonesia tercatat sebanyak 844.163 ton. Tahun berikutnya, impor beras naik tipis menjadi 861.601 ton. Pada 2016, impor beras mengalami lonjakan 49 persen menjadi 1,28 juta ton. Namun pada 2017, impor beras menyusut drastis sebesar 76 persen.
Indonesia, memang bukan satu-satunya negara yang masih impor beras setiap tahun. Negara-negara ASEAN lainnya pun melakukan hal yang sama. Volume impor beras Indonesia harus diakui menjadi yang paling besar di ASEAN, secara populasi penduduk, Indonesia memang yang terbesar di kawasan.
Impor Beras Jelang Tahun Pemilu
Belakangan ini, isu impor beras lagi-lagi menjadi perbincangan masyarakat. Polemik impor beras sudah terdengar sejak awal 2018 ketika Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan izin impor beras kepada Perum Bulog sebesar 500.000 ton pada Februari, dan sebesar 500.000 ton pada Mei.
Setelah itu, isu impor beras sempat redup pada pertengahan tahun, tapi kembali hangat setelah Kemendag kembali menerbitkan izin impor beras untuk 1 juta ton pada Agustus 2018. Artinya total potensi volume beras bisa mencapai 2 juta ton. Realisasi impor beras oleh Bulog hingga Juni 2018 ini mencapai 865.519 ton. Realisasi impor beras ini memang sesuai dengan proyeksi FAO yang memperkirakan impor beras Indonesia tahun ini sekitar 800 ribu ton saja. Artinya bila ada realisasi impor sampai 2 juta ton, maka setara lebih dari dua kali lipat dari proyeksi FAO maupun realisasi impor beras tahun-tahun sebelumnya, istilahnya "overdosis".
Jumlah izin impor beras tahun 2018 yang diberikan kepada Bulog memang cukup besar bila dibandingkan realisasi impor tahun-tahun sebelumnya. Impor beras seringkali ada beda pendapat dan data di internal pemerintah terutama oleh menteri pertanian (Mentan). Namun, bedanya tahun ini, Mentan Amran Sulaiman diklaim sudah memberi lampu hijau. Ini karena keputusan izin impor beras hasil keputusan bersama antara Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian dan Direktur Utama Perum Bulog. Pertimbangannya melihat stok dan kebutuhan nasional saat menghadapi musim kemarau.
“Mentan hadir, Dirut Bulog hadir, saya hadir. Keputusan melihat perkembangan dari stok yang ada, maka kami harus impor. Begitu keputusannya dan sudah disetujui semua,” kata Enggartiasto kepada Tirto.
Alasan yang sering jadi dasar pemerintah saat impor adalah soal pemenuhan kebutuhan dan stabilisasi harga. Alibi ini memang tak mengada-ada, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) punya pandangan ihwal meningkatnya kebutuhan impor beras disebabkan adanya kemarau yang melanda sejumlah wilayah penghasil beras, sehingga membuat produksi beras nasional menurun. BMKG memang memproyeksikan musim kemarau tahun ini berlangsung sejak Mei hingga Oktober.
“Yang kekeringan, panen rata-rata turun minimal 50 persen. Bahkan, ada yang gagal panen 100 persen, seperti di sebagian wilayah Indramayu,” kata Koordinator KKRP Said Abdullah kepada Tirto.
Gangguan produksi beras nasional karena kemarau juga disampaikan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia. Berdasarkan data mereka, luas wilayah sentra produksi beras yang dilanda kekeringan mencapai 39,6 persen. “Imbasnya, produksi beras di wilayah kekeringan itu rata-rata turun 39,3 persen. Dan ini bisa jadi bertambah ke depannya,” tutur Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa kepada Tirto.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) selalu optimistis soal produksi beras. Kementan sempat memperkirakan akan ada surplus beras sebanyak 12,7 juta ton pada tahun ini. Menurut Outlook Padi 2015, produksi beras dipatok 47,4 juta ton dengan konsumsi beras sebesar 33,1 juta ton. Produksi yang surplus, seharusnya berdampak pada harga yang stabil.
Namun, proyeksi itu hanya di atas kertas, pemerintah tentu akan melihat realitas terbaru. Keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras juga didorong kondisi terkini harga beras. Berdasarkan data harga beras di Foodstation, Jakarta, harga beras memang dalam tren naik sejak Juli-Agustus 2018 tapi relatif tipis kenaikannya. Beras jenis IR64 III selama sebulan ada kenaikan sekitar 5 persen jadi Rp8.950 per Kg. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat kenaikan tipis harga dalam skala nasional, pada Juli 2018 ada kenaikan 0,24 persen di tingkat grosir dan naik 0,02 persen harga beras di tingkat eceran.
Namun, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pada akhir Juli 2018 lalu sempat menegaskan, gudang-gudang beras Bulog sudah penuh dengan beras. Ia mengklaim stok yang dimiliki Bulog hingga posisi awal Agustus sebesar 2,7 juta ton. "Sebelumnya sudah ada 1,2 juta ton yang lalu, makanya kami tidak mau impor dulu. Hari ini sebenarnya sudah sangat penuh gudang. Kami tidak bisa tampung semua," kata Budi Waseso, Selasa (31/7) dikutip dari Antara.
Kondisi ini berkebalikan dengan keputusan pemerintahan Presiden Jokowi yang seolah membuka lebar impor beras besar-besaran kepada Bulog. Pemberian izin impor skala besar di ujung pemerintahan Presiden Jokowi memang tak lazim apalagi menjelang tahun Pemilu. Ini memang berkebalikan dengan masa pemerintahan Presiden SBY, pada 2008 dan 2009 yang juga jelang Pemilu, impor beras relatif minim hanya sekitar dua ratusan ribu ton.
Pemerintah sendiri mengklaim tak ada impor beras oleh Bulog saat itu, hanya ada impor beras komersial dalam jumlah terbatas. Kala itu, pemerintah sangat terbantu dengan kinerja serapan beras petani oleh Bulog yang besar mencapai 3,2 juta ton pada 2008, sehingga aman untuk operasi stabilisasi harga tanpa harus impor.
Keputusan impor beras memang kompleks, tak hanya pertimbangan produksi, stok, dan harga. Komoditas ini memang rentan dipolitisasi. Namun, Pemerintahan Jokowi mau tak mau harus memutus urat malu karena masih melakukan impor beras di tahun keempat pemerintahannya. Kestabilan harga dan stok beras di masyarakat jadi pilihan utama dari sekadar memenuhi janji kampanye.
Impor beras yang besar di tahun ini tentu aja akan menambah cadangan beras Bulog di akhir tahun ini, dan penting untuk persiapan memasuki masa-masa kampanye Pemilu 2019. Awal tahun depan adalah periode yang paling krusial karena bertepatan dengan masa paceklik, biasanya panen raya baru akan terjadi pada April-Mei.
Periode paceklik ini berbarengan dengan masa Pemilu. Ada risiko gejolak harga beras saat Pemilu sedang berlangsung pada April 2019 dan melakukan impor beras saat itu sama saja bunuh diri. Untuk itu, cara yang paling aman menggelontorkan izin impor beras di tahun ini dengan risiko lebih minim secara politis.
Serangan lawan politik terhadap kebijakan impor beras di 2018, tentu relatif lebih mudah ditangkis, karena pemerintahan sebelumnya pun melakukannya demi pertaruhan kekuasaan. Ucapan Moerdiono barangkali ada benarnya "kalau ada orang yang tidak bisa menyediakan beras, jangan berharap jadi presiden”
Editor: Suhendra