Menuju konten utama
Octovianus Mote

"Jokowi Tak Punya Hati. Dia Anggap Biasa Rasisme ke Orang Papua"

“Perjuangan Papua adalah perjuangan membela hak hidup. Bangsa ini sedang dihabisi.”

Ilustrasi: Octavianus Mote, mantan Sekjen ULMWP. tirto.id/Sabit

tirto.id - Octovianus Mote adalah salah seorang diaspora dari Papua, kelahiran Paniai, kini tinggal di New Haven, Amerika Serikat. Karier terbaiknya dihabiskan sebagai wartawan Kompas dari 1988 hingga 1999, ketika Mote membantu 100 delegasi orang Papua bertemu dengan Presiden B.J. Habibie di Jakarta. Mereka minta baik-baik agar Papua merdeka dari Indonesia. Habibie menangis dan minta mereka pulang dan berpikir lagi.

Namun, Mote merasa keselamatannya terancam. Bersama istrinya, yang orang Jawa, ia membesarkan harapan dan anak-anaknya di sebuah negeri yang asing, yang kini menjadi rumah kedua sebab rumah pertamanya adalah kemerdekaan bagi bangsa Papua.

Ia terus memantau situasi Papua dari New Haven, Connecticut. Ia mengampanyekan keadilan dan kemerdekaan Papua ke khalayak internasional. Ia pernah memimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi payung untuk gerakan politik pemerdekaan Papua, terdiri dari lima pemimpin kolektif diaspora Papua yang berdiri pada 2014, di mana Mote adalah koordiantor pertamanya. Jabatan sekretaris jenderal ULMWP kini dipegang oleh Benny Wenda, yang tinggal di Oxford, Inggris. (Website resmi Wenda diblokir oleh pemerintah Indonesia lewat ‘internet positif'.)

Untuk perannya di ULMWP, Mote pernah menghabiskan 300 hari dalam setahun berkeliling ke puluhan negara, menumpang tidur di rumah kenalan dan makan seadanya, demi perjuangan membebaskan Papua dari apa yang disebutnya “kolonialisme Indonesia.”

Mendengarkan suaranya, Anda mungkin tak percaya bahwa usianya kini 60-an tahun. Kritiknya sangat keras, tajam, dan berapi-api. Mungkin bisa langsung membuat Anda marah sebagai orang Indonesia. Namun, suaranya penting bagi Anda—khalayak Indonesia—yang melihat Papua adalah bagian dari Indonesia tetapi orang Papua sendiri tak membayangkan menjadi bagian Indonesia—terutama sekali bagi orang dengan konsistensi seperti Octo Mote; seseorang yang separuh hidupnya dipaksa direnggut meninggalkan tanah kelahirannya dan saudara-saudaranya.

Ia mengisi waktu di rumah sepulang kerja dengan mendapatkan kabar-kabar dari Papua, menengok media sosial, membaca berita-berita tentang Papua dari berbagai media Indonesia dan internasional, menyaring informasi, memverifikasi, berusaha mendekati informasi yang valid mengenai situasi dan peristiwa di Papua; wilayah satu-satunya di Indonesia yang membatasi wartawan asing masuk mengaksesnya.

Kami berbincang via telepon selama satu jam sebelum Mote berangkat kerja. Kami menggali argumen tentang peristiwa terbaru soal rasialisme terhadap orang Papua, diplomasi internasional, dan pemerintahan Jokowi.

Apa pandangan Anda mengenai respons orang Papua yang gila-gilaan setelah kejadian rasis di Surabaya?

Menurut saya ini adalah satu contoh di mana para rakyat Papua sudah bulat dan muak terhadap kolonialisme Indonesia di Papua, yang berjalan begitu lama. Rasisme ini berawal sejak Indonesia menjajah Papua.

Rasisme itu penghinaan terhadap dignity kami. Orang Papua bisa spontan begitu [aksi jalan kaki di Jayapura, amuk di Manokwari, Sorong, dan Mimika, serta kerusuhan di Fakfak] karena memang sudah muak dengan jiwa kolonalisme yang begitu mendarah daging dalam kebijakan Indonesia sampai perilaku perorangan yang di-backup negara.

Kasus Surabaya itu jelas sekali ada rasisme. Yang diputuskan mahasiswa Papua adalah tidak menaikkan bendera Merah Putih. Dan itu adalah hak. Itu urusan pribadi.

Sekarang aparat keamanan tanpa menyelidiki pelaku rasis, tetapi saat itu [di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya] berlaku persis menyerang teroris. Aparat keamanan dan ormas operasinya itu memutus jaringan dari luar, makanan diputus ke dalam asrama, menembakkan gas air mata.

Rasisme itu bukan spontanitas, tapi direkayasa oleh negara. Kenapa negara terlibat? Anak-anak Papua diangkut ke kantor polisi.

Reaksi Kapolri? Malah menyalahkan orang yang menyebarkan berita ini. Karena selama ini mereka bisa larang wartawan internasional ke Papua sehingga di Papua mereka bisa melakukan kejahatan secara leluasa. Tetapi, sebaran informasi di medsos tidak bisa dibatasi.

Kapolri bukannya menindak tegas anak buahnya, supaya emosi rakyat Papua tidak membakar ke mana-mana.

Menkopolhukam Wiranto juga bilang, ‘Selidiki yang bikin kacau di Papua Barat.’

Padahal apa yang terjadi di Papua adalah asap. Apinya di Surabaya.

Yang paling menyedihkan: Perilaku Jokowi sebagai presiden yang dianggap populis itu, malah tidak punya hati. Manusia ini senyum di luar, tetapi tidak punya hati terhadap manusia Papua. Dia menganggap rasisme sebagai hal biasa, tidak mengutuk.

Jokowi bilang, ‘Sudahlah ... saling memaafkan.’

Memang orang Papua ada salah apa? Saya jengkel sekali membacanya!

Ini menunjukkan jiwa rasialisme dari manusia bernama Joko Widodo, apalagi dia mendapatkan suara lebih dari 80 persen di Papua.

Yang dia lupa: Dunia menyaksikan. Dan diskriminasi itu adalah momok. Indonesia minta maaf sudah terlambat, karena keasliannya sudah mereka perlihatkan.

Rasisme terhadap orang Papua ini sudah lama—di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan daerah-daerah lain di luar Papua—tetapi kenapa ditanggapi keras sekali di Papua?

Memang ini pertama kalinya. Peristiwa di Papua saat ini adalah pertama kalinya [merespons rasisme di Jawa] membangkitkan satu kesatuan seluruh orang papua, terlepas dari posisi mana saja, bahwa kita tahu betul yang namanya wajah kolonialisme itu terjadi setiap hari.

Ia menyebarkan emosi dan kemarahan. Ia bisa menyatukan aspirasi perlawanan yang kuat. Bahwa Indonesia itu kolonial. Jadi mereka selama ini menutupi.

Indonesia akan bilang: ‘Kamu tidak berhak melawan. I'm control you, I’m the colonializer.’

Menurut saya, satu pengalaman yang tidak baik adalah ada korban di Fakfak.

Diplomasi Internasional

Baru-baru ini Indonesia kalah dalam Pacific Islands Forum di Tuvalu. Negara-negara Melanesia di Forum itu, terutama Vanuatu dan Solomon, mengangkat isu Papua. Apa yang terjadi?

Indonesia over-reacted, memang. Sikapnya sangat berlebihan. Tetapi ia tahu ia kalah telak di Pacific Islands Forum. Situasinya you datang sebagai orang Asia di Pasifik Selatan—yang berbeda sekali dengan kita—sama seperti Indonesia menganggap kami sebagai “monyet” di Indonesia. Jelas sekali: definisi Melanesia adalah Papua Barat; pengertian Pasifik Selatan: West Papua.

Dan, Indonesia tak punya penghubung lagi ke jaringan negara-negara Asia Pasifik.

Indonesia juga memakai apa yang saya sebut sebagai “diplomasi uang”. Sebagai negara maju, Indonesia menyodorkan diri membantu negara-negara miskin. Keliling mau bangun stadion di Solomon Island, tetapi ditolak. Tetapi, di negara-negara pulau kecil menerima, misalnya Nauru, Samoa [di Oseania].

Pemimpin Pacific Islands Forum tidak bisa dibeli uang. Tidak seperti di Indonesia yang sering halalkan segala cara buat membeli kekuasaan. Mereka punya moralitas tinggi sekali, seperti di Vanuatu kalau you ketahuan korupsi, biarpun perdana menteri, masuk penjara. Setengah kabinet itu masuk penjara. Itu bukan jumlahnya, tapi hukuman itu pada intention korupsi.

Diplomasi curang Indonesia ini tidak akan berhasil.

Yang saya heran adalah kesombongan Indonesia itu begitu luar biasa:

  1. You sedang melakukan operasi militer di Nduga.
  2. Salah satu jalan Indonesia atas kejadian di Papua adalah memblokir akses internet.
Saya salut kepada kedua gubernur yang menangis bersama rakyat, Dominggus Mandacan [Provinsi Papua Barat] dan Lukas Enembe [Papua], betul-betul menangis bersama rakyat, atas penghinaan sebagai monyet. Karena kepala negara pun sama sekali tidak melihatnya sebagai hal serius. Presiden yang mereka perjuangkan untuk periode kedua ternyata begitu.

Ini sebuah awakening. Dignity sebagai bangsa. Kami sedang dijajah. Dan inilah sikap penjajah. Meski kami tidak punya apa-apa, tapi kami punya harga diri.

Bagaimana ULMWP di bawah Benny Wenda? Apa Agendanya?

Saya percara 100 persen. Potensinya saya tidak tahu di bawah Benny ini berapa negara baru yang mereka dapatkan, tetapi yang bisa saya bilang: Potensi dukungan ada cukup banyak negara di dunia ini. Yang dibutuhkan: kemampuan meracik situasi buat dipakai dalam paket diplomasi dan meyakinkan mereka.

Tidak susah karena Indonesia memakai pola penjajahan itu—membayangkan negara besar, punya diplomat dengan gaya macho, yakni jago di kandang sendiri.

Misalnya pada 2016 dan 2017, Indonesia mengirim diplomat mentah sekali buat menghadapi diplomat senior Vanuatu dan Solomon. Seakan-seakan berkata: ‘Kamu itu bukan kelas saya, biar anak kecil saja yang menjawab kamu. Kelasmu sekecil ini.’

Padahal, negara Solomon Island itu menempatkan senior ambassador.

Indonesia pikir, ‘Nanti deh saya kasih satu kabinet.’ Indonesia pikir, ‘Orang Papua ini diam, tidak mau omong, jadi oportunis.’ Jakarta melihatnya seperti itu. Diplomasi Indonesia itu beruntung karena:

  1. Negara ini strategis di Asia Tenggara, populasi muslim terbesar di dunia, pasar yang baik untuk kapitalis dunia; tetapi
  2. Tanpa hal-hal itu, Indonesia ini nobody.
Jelas bagi kami: ULMWP adalah persatuan bangsa Papua buat kampanye di internasional; Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka berjuang di hutan; dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bergerak di perkotaan.

Infrastruktur Jokowi di Papua

Apa pandangan Anda mengenai klaim-klaim Jokowi yang sudah bangun ini-itu di Papua?

Itu program kolonial untuk menguasai Papua. Sekarang jalan buat siapa? Untuk mengangkut operasi militer, kah?

Infrastruktur jalan di Papua oleh Jokowi ini adalah program mengambil tanah milik dan kebun orang asli Papua, tempat hidup dan berburu dan meramu obat-obatan, tempat melakukan upacara-upacara adat, gunung-gunung sakral dihancurkan.

Saya katakan: penaklukan kolonial dalam bentuk berbeda, tentara pakai senjata, pemerintah sipil pakai mesin-mesin gergaji, didukung negara-negara Barat yang punya makan di Papua, seperti Amerika Serikat, Australia, dll.

Pola Jokowi pakai pendekatan Jawa melalui simbol-simbol. Semakin sering berkunjung ke Papua itu membuat dia seakan-akan punya perhatian. Jokowi lupa: dia adalah presiden dari negara kolonial.

Tidak ada kalimat yang menunjukkan Jokowi peduli Papua. Orang ini main simbol saja, lakon saja. Kalau media-media Indonesia menyebutnya pencitraan. Semua itu citra 100 persen. Ia mengklaim semua pembangunan di Papua karena dia.

Padahal pembangunan jalan sudah dilakukan presiden-presiden sebelumnya. Lihat: yang dia bangun jalan itu melawan balik. Proyek itu terhenti. Apa yang dia banggakan?

Masyarakat Indonesia harus mengerti: Papua bukan bagian dari Indonesia. Yang rakyat Indonesia harus tahu: Papua itu daerah jajahan Indonesia.

Pemerintah dari satu presiden ke presiden berikut berusaha mengindonesiakan orang Papua dengan macam-macam program.

Saya melihat, sebagai wartawan dan intelektual, yang nyaris berhasil hanya Abdurrahman Wahid. Tetapi, karena berlawanan dengan pendekatan militer dan ultranasionalis di belakang partai politik, maka Wahid disingkirkan. Di Papua, Wahid dilihat sebagai Bapak Presiden.

Jokowi sebagai politisi sipil dengan pencitraan orang sederhana, dia pikir mengambil hati orang Papua. Tetapi, dia punya tindakan dalam peristiwa ini—menangani rasialisme terhadap orang Papua yang terakhir ini—dia seperti presiden militer: ultranasionalis yang tidak punya hati terhadap orang Papua.

Ini, kan, peristiwa rasisme. Sekarang lihat: You punya anggota kabinet, Bu Yohana [Susana Yembise, menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak], orang Papua, dan ia termasuk yang disebut ‘monyet’. Jokowi gagal bahkan membela anak buahnya. Dia tidak mengerti. Kalau dia bolak-balik ke Papua, dia harusnya mengerti, toh?

Nasib Anak-Anak Papua

Anda tentu tahu kejadian di Nduga. Anda juga mungkin tahu soal artikel anak-anak Papua memegang senjata. Militer Indonesia berkata sebagai ‘tentara anak’ dan melanggar hak asasi. Apa pandangan Anda?

Anak-anak yang terlibat dalam perlawanan mestinya bukan hal baru. Mereka terperangkap dalam konflik, mereka korban. Kalau mau dibebaskan? Hentikan kolonialisme.

Saya waktu kecil dulu tahun 1968, pada saat menolak Indonesia, di Paniai, saya sudah bisa bahasa Melayu, kelas 1 SD, saya jadi informan untuk Om-Om, saya sejak kecil sudah terlibat dalam gerakan perlawanan.

Tentara datang menguasai tanah kami, anak-anak terpaksa menjalankan fungsi mereka. Ini bukan anak-anak muda yang direkrut, dilatih. Kalau mereka direkrut, dilatih, diberi imbalan--itu definisinya baru “tentara anak.”

Ini anak-anak yang kampungnya dikontrol operasi militer. Orang melakukan cara apa pun untuk membela hak hidup dari invasi Indonesia.

Tentara Indonesia begitu kuat di Papua. Kampung-kampung dihancurkan, bagi anak-anak ini, di kampungya diinvasi. Tentara Indonesia ini datang membunuh ayahnya, pamannya, omnya, adeknya, ibu-ibu mengungsi. Jadi, itulah di benak-benak anak Papua.

Misalnya Egianus Kogoya di Nduga ini, dari kecil bapaknya memimpin perjuangan. Saya mengalami hal sama. Benny Wenda juga.

Jadi, perjuangan Papua merdeka ini bukanlah ideologi yang diturunkan dari pendidikan, tetapi oleh Indonesia yang masuk ke tanah kami, menjajah, melakukan diskriminasi, rasis—itulah guru yang kami dapatkan.

Negara Indonesia mengontrol kami pakai dua senjata, birokrasi dan tentara, serta pengusaha ekonomi yang menyingkirkan kampung-kampung orang Papua. Orang-orang Papua ini tinggal mati. Alam sudah habis.

Maka, perjuangan Papua adalah perjuangan membela hak hidup. Bangsa ini sedang dihabisi.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Indepth
Reporter: Fahri Salam
Penulis: Fahri Salam
Editor: Jay Akbar