tirto.id - Ujaran rasis di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, akhir pekan lalu, seharusnya tidak perlu berbuntut panjang sampai ada protes dan amuk di daerah-daerah penting di Papua, termasuk di Jayapura, Manokwari, Sorong, Mimika, dan Fakfak.
Jika saja polisi bisa bergerak cepat menangkap pelaku ujaran rasialisme saat itu, mungkin ceritanya akan berbeda. Sayangnya, itu tidak dilakukan polisi.
Pada hari asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan didatangi ormas dan warga, isu yang beredar: ada perusakan bendera Merah Putih oleh mahasiswa Papua di depan asrama. Polisi dan TNI turun ke sana. Isu itu cepat membakar ormas dan warga Indonesia.
Termasuk di antara mereka adalah anggota TNI yang terlihat berdebat dengan seorang mahasiswi Papua. Dari luar asrama, anggota TNI itu terlihat marah dan mengancam akan menyikat mahasiswa. Anggota TNI dan ormas menendangi pagar asrama. Lalu, ada lemparan batu bertubi-tubi ke dalam asrama.
Pada saat bersamaan, ujaran rasisme itu terdengar dan dilontarkan berkali-kali. "Monyet, anjing, pemakan babi, Papua bajingan, jancuk dan lainnya." Saat ujaran itu diucapkan, polisi dan TNI ada di sana dan tidak berbuat apa-apa.
Alih-alih menangkap pelaku rasisme atau kelompok yang memprovokasi dengan lemparan batu, polisi justru mengamankan 43 mahasiswa Papua di dalam asrama. Kata “mengamankan” ini tidak seperti polisi sedang melindungi para mahasiswa, sebab faktanya polisi justru menembakkan gas air mata.
Dalam video yang tersebar di media sosial, polisi secara jelas menyerukan agar mahasiswa menyerahkan diri. Klaim pengamanan ini makin terlihat plin-plan sebab pada saat yang sama, polisi berkata membawa mahasiswa Papua untuk "dimintai keterangan."
Penembakan gas air mata ini sembrono. Penggunaannya harus melalui prosedur dalam Perkap 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Dalam pasal 5 ada enam tahapan penggunaan kekuatan:
Pertama, kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; kedua, perintah lisan; ketiga dan keempat, kendali tangan kosong lunak dan keras; kelima, kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.
Protap itu harus dituruti secara berurutan. Pada tahap kelima itulah gas air mata baru bisa digunakan oleh polisi.
Tapi, di asrama mahasaia Papua, polisi terlihat melangkahi tahapan itu. Perintah lisan polisi langsung disusul tembakan gas air mata.
Setelah drama “pengamanan” polisi gagal membuktikan bahwa yang merusak tiang bendara Merah Putih di depan asrama adalah mahasiswa Papua, polisi melepas para mahasiswa Papua.
Rentetan kejadian itu, dari rasisme, penyerangan, dan penangkapan memicu kerusuhan di Papua. Alih-alih mengoreksi diri atas sikap emoh menindak pelaku rasis, polisi justru memburu penyebar video rasisme di asrama Papua.
Polisi berdalih akun-akun hoaks itu yang membuat Manokwari dan Sorong bergejolak.
Hingga kemarin, situasi masih memanas di Fakfak, bahkan ada dua korban luka parah dari pertikaian antara orang Papua dengan orang Papua, salah satunya mewakili kubu milisi Merah Putih.
Aparat keamanan menerjunkan pasukan tambahan ke Papua. Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir akses internet. Tujuan pemerintah adalah "mengamankan" situasi dan mengantisipasi kabar-kabar pelintiran.
Sayangnya, mereka gagal mengatasi sumber utama dari amuk itu, yakni rasialisme terhadap orang Papua.
Editor: Fahri Salam