tirto.id - Polusi udara di DKI Jakarta saat ini kian memburuk. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuturkan, salah satu solusi mengatasinya yaitu dengan mengurangi beban dan memindahkan ibu kota ke Nusantara, Kalimantan Timur.
"Ya polusi itu tidak hanya hari ini sudah bertahun-tahun kita alami di Ibu Kota DKI Jakarta ini, bertahun tahun kita alami dan ya salah satu solusinya adalah mengurangi beban Jakarta sehingga sebagian nanti digeser ke Ibu kota Nusantara," kata Jokowi usai meresmikan Indonesia Arena, Jakarta, Senin (7/8/2023).
Lebih lanjut, dia mendorong agar masyarakat menggunakan transportasi massal seperti MRT, LRT hingga kereta cepat untuk mengurangi polisi. Tidak hanya itu, dia juga menyinggung terkait pemakaian kendaraan listrik yang bakal menekan angka polusi.
"Moda transportasi akan mengurangi polusi termasuk nantinya pemakaian mobil listrik, kenapa kita berikan dorongan karena itu," kata Jokowi.
Sebelumnya, polusi di Jakarta kembali menjadi sorotan. Mengutip data Nafas Indonesia, polusi Jakarta 6-7 Agustus 2023 berada di atas 60 mikrogram/meter kubik di atas 2,5 PM. Terlihat Jakarta Timur mencapai di atas 100 mikrogram/meter kubik.
Diketahui, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI, Asep Kuswanto mengatakan penyebab kualitas udara di Jakarta tak sehat salah satunya karena aktivitas warga menghasilkan emisi usai COVID-19 mengalami peningkatan. Kemudian, kecepatan angin yang rendah di Jakarta berimbas pada stagnasi pergerakan udara sehingga polutan udara akan terakumulasi.
Tak hanya itu, kondisi ini dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan 03, yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.
"Pola arah angin permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di Jakarta," kata Asep dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/6/2023).
Lalu, kelembaban udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi dekat permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
"Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring," ucapnya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin