tirto.id - Presiden Joko Widodo membuka pintu koalisi bagi partai politik oposisi. Ini termasuk dengan Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto, lawannya di Pilpres 2019.
"Saya terbuka kepada siapa saja yang ingin bekerja sama untuk mengembangkan dan membangun negara bersama," kata Jokowi dalam wawancara dengan Jakarta Post, saat ditanya spesifik mengenai kemungkinan masuknya Gerindra ke koalisi.
"Sangat tidak mungkin bagi kami untuk membangun negara sebesar Indonesia sendirian. Kami membutuhkan kerja bersama," lanjutnya.
Sebetulnya, tanpa Gerindra masuk pun, koalisi Jokowi sudah menguasai parlemen. Hasil rekapitulasi yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu menyatakan total suara partai pengusung Jokowi-Ma'uf Amin yang memenuhi parliamentary threshold (PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP) mencakup 54,9 persen, sementara koalisi oposisi (Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS) meraih 35,39 persen.
Dengan demikian, menurut hitung-hitungan Tirto, jumlah kursi yang bakal dimiliki partai koalisi Jokowi mencapai 344 atau setara 59,83 persen. Sementara 231 atau 40,17 persen sisanya bakal dikuasai Koalisi Adil Makmur.
Koalisi Jokowi akan semakin kuat jika misalnya Gerindra bergabung. Suara Gerindra signifikan karena memang mereka adalah partai terbesar ketiga dalam Pileg 2019. Gerindra memperoleh 17.594.839 suara atau setara 12,57 persen. Mereka hanya ada di bawah PDIP dan Golkar sebagai juara satu dan dua.
Keseimbangan Terancam
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengatakan memang tak ada yang tak mungkin dalam politik Indonesia, termasuk bergabungnya Gerindra ke petahana.
Bagi Jokowi, kondisi ini baik. Relasi dia sebagai eksekutif dengan legislatif akan harmonis. Segala kebijakan pemerintahan yang perlu persetujuan wakil rakyat akan sesegera mungkin terealisasi. Istana berhasil dia pegang, dan parlemen pun sukses digenggam. Namun tidak demikian bagi demokrasi secara umum.
Ujang mengingatkan kembali perkara dasar dalam ilmu politik: dalam demokrasi, dibutuhkan keseimbangan kekuatan. Keseimbangan kekuatan lebih mungkin dapat terwujud jika ada oposisi yang relatif sama kuat dengan petahana. Dan bergabungnya Gerindra, dengan demikian, akan menghilangkan itu.
"Dalam sistem presidensial yang kita anut, membutuhkan check and balances. Membutuhkan pemerintah yang kuat. sekaligus juga oposisi yang kuat pula. Jika sama-sama kuat akan ada keseimbangan politik," kata Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (13/6/2019) kemarin.
Keseimbangan kekuatan pernah terjadi pada 2014. Ketika itu partai yang menyokong Prabowo, Koalisi Merah Putih (KMP), bahkan mampu menguasai parlemen. Saat itu relasi pemerintah-DPR tak bisa dibilang baik. Bahkan ada isu KMP ingin menjegal pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7.
Meski demikian koalisi Prabowo tak bertahan lama dan peta politik berubah. Satu per satu partai pengusung Prabowo pindah haluan mendukung Jokowi.
Apa dampak nyata ketiadaan oposisi yang kuat? Yang jelas, kata Ujang, potensi penyalahgunaan kekuasaan akan besar dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat. Sebab itulah sebaiknya Gerindra tak diajak masuk koalisi.
"Karena kata Lord Acton: kekuasaan itu cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula."
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arya Sinulingga, mengatakan ajakan Jokowi itu bukan hal luar biasa dan tak perlu dipikirkan efek negatifnya bagi demokrasi. Sebab, kata politikus Perindo itu, partai koalisi masih bisa menyampaikan otokritik dan kritik kepada presiden.
"Untuk kemajuan bangsa enggak apa-apalah, tetap bisa saling mengingatkan kok walaupun misal enggak ada oposisi," kata Arya.
Masih Fokus di MK
Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade, mengaku memang sudah ada tawaran dari koalisi Jokowi. Tapi, katanya kepada reporter Tirto, kemarin (13/6/2019), Gerindra belum memikirkan.
"Fokus kami masih di MK saat ini," jelas Andre. Baik Gerindra atau Prabowo tengah menggugat hasil pemilu--baik pileg atau pilpres--di lembaga tersebut.
Andre yakin Prabowo akan memenangkan gugatan, yang salah satu petitumnya adalah meminta MK membatalkan hasil rekapitulasi KPU yang memutuskan Jokowi-Ma'ruf menang pilpres.
Sidang dimulai hari ini (14/6/2019) dan dijadwalkan berakhir 28 Juni mendatang.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino