Menuju konten utama

Jokowi Harus Bentuk Tim Independen untuk Evaluasi Total RKUHP?

Tim independen RKUHP penting untuk memperkokoh prinsip-prinsip demokrasi dan menyingkirkan pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Jokowi Harus Bentuk Tim Independen untuk Evaluasi Total RKUHP?
Sejumlah aktivis melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara merespons beberapa isu undang-undang yang dianggap kontroversial dan ditolak masyarakat publik, Jakarta, Kamis (19/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Presiden Joko Widodo meminta DPR RI periode 2014-2019 menunda revisi KUHP, Jumat (20/9/2019) lalu. Menurutnya itu perlu dilakukan karena "masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut." Dia mengatakan itu "setelah mencermati masukan dari berbagai kalangan yang keberatan dengan sejumlah substansi RUU KUHP."

Penundaan ini sebetulnya hanya sesaat. Pasalnya DPR periode 2014-2019 sebentar lagi memang akan habis masa baktinya. Pada 1 Oktober 2019, anggota parlemen untuk periode 2019-2024 akan dilantik.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah lantas mengatakan permintaan Jokowi "sudah terlambat," sebab "pengesahannya sudah terjadwal."

Namun bagi pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti, pengesahan RKUHP di rapat paripurna tak bisa dilaksanakan jika salah satu pihak, antara DPR atau pemerintah, tak sepakat.

Kata Bivitri, menurut UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan sebuah RUU itu harus berlapis. Sejauh ini RKUHP baru disepakati dalam pembahasan tingkat satu dan harus disepakati lagi dalam pembahasan tingkat dua, yaitu sidang paripurna.

"Jadi nanti waktu paripurna, pihak pemerintah bisa menyatakan ketidaksetujuannya dan itu akan membuat RUU tidak jadi UU," kata Bivitri.

Revisi KUHP Tergesa-gesa & Tertutup

Dalam beberapa pekan terakhir, pembahasan RKUHP dikebut dan bahkan cenderung tertutup dari pantauan publik.

Selama dua malam, Sabtu hingga Minggu (14-15/9/2019), rapat pembahasan RKUHP digelar di hotel mewah bintang lima Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta. Perwakilan pemerintah yang hadir adalah Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen PP Kemenkumham).

Surat undangan rapat diberi nomor PPE.PP.01.04-1507 dengan perihal Undangan Rapat Konsinyering Pembahasan RUU tentang KUHP. Surat itu ditandatangani langsung oleh Dirjen PP Kemenkumham Widodo Eka Tjahjana.

Kenapa dibahas di hotel dan bukan di DPR? Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani bilang sembari tertawa: "supaya [kalau] pegal saya bisa pijat di situ."

Dia membantah anggapan kalau rapat itu dilakukan diam-diam agar publik tak tahu. "Kalau rapat yang harus terbuka itu, kan, kalau rapat pembahasan. Debat. Masak mau tahu juga perumusan titik komanya dan segala macam. Apakah pakai kata 'terhadap' atau 'atas'. Begitu, kan, enggak usah [terbuka]."

Cara pembahasan yang demikian semakin menguatkan masyarakat sipil menolak RKUHP, selain karena memang banyak substansi yang bermasalah.

Bentuk Tim Independen

Revisi KUHP sebetulnya adalah usulan pemerintahan Jokowi pada 2 Februari 2015. Merekalah yang menyiapkan draf utama pasal-pasal revisi untuk dibahas bersama DPR RI. Wakil Presiden terpilih, Ma'ruf Amin, bahkan menyurati DPR RI meminta mereka segera mengesahkan RKUHP.

Karenanya wajar belaka Jokowi tetap mendapat kritik meski dia memutuskan menunda pembahasan. Kritik semakin keras karena sejak pengumuman penundaan itu, Jokowi tidak bertindak konkret.

Direktur Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan salah satu yang bisa dilakukan Jokowi agar tindakannya tidak sekadar jadi pencitraan adalah membentuk Komite Ahli Pembaruan Hukum Pidana. Komite ini tugasnya merancang hukum pidana dengan berpegang pada prinsip demokrasi konstitusional.

Komite ini diisi elemen publik seperti akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu yang terkait seperti kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat, serta masyarakat sipil.

"Keberadaan komite penting untuk dapat menjaga kebijakan hukum pidana yang dibuat di dalam pemerintahan supaya selalu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dan dibahas secara komprehensif yang mendapatkan dukungan luas dari masyarakat," kata Anggara kepada reporter Tirto, Ahad (22/9/2019) pagi.

"Komite ini jangan lagi diisi hanya orang-orang hukum pidana. Tim perumus, kan, semua orang hukum pidana. Sehingga [hasilnya] sangat terkotak, kaku, dan elitis. Mereka harus diisi oleh orang-orang dengan disiplin ilmu berbeda. Sosiologi hukum, filsafat hukum, sejarah, dan lain-lain. Supaya bisa lebih jernih lagi melihat persoalan," lanjutnya.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengaku sepakat dengan usul ini. Namun ia menegaskan, komite atau ahli tersebut harus independen yang hanya setia kepada ilmu hukum dan nilai HAM dalam konstitusi. Mereka harus melepaskan preferensi pribadi atau kepentingan golongan.

Jika komite atau tim perumus independen ini dibentuk, kata Asfin, mereka wajib melakukan beberapa hal. Pertama, menyaring aspirasi masyarakat atas draf yang sudah ada.

"Dan ini harus beragam baik daerah, etnis, adat, termasuk juga orang-orang yang selama ini yang menjadi korban pasal-pasal jahanam bentukan Belanda. Misalnya persekusi atas ranah privat, urusan zina. Kriteria moralitas mana yang mau dipakai?" kata Asfin kepada reporter Tirto, Sabtu (21/9/2019) malam.

Yang kedua, kata Asfin, ada menyisir ulang pasal-pasal yang dianggap kontroversial dan bermasalah. Yang ketiga barulah memformulasikan ulang KUHP baru.

"Keempat, membayangkan bagaimana jika pasal dengan bunyi tersebut diberlakukan. Salah satunya dengan mengetes kepada masyarakat, ahli, dan penegak hukum. Semua diminta membaca dan dilihat ada pemahaman yang beragam tidak?" katanya.

Asfin menilai komite atau tim perumus independen juga harus mengambil referensi dan menyesuaikan dengan kovenan dan konvensi internasional yang sudah ada. Seperti regulasi yang mengatur kekerasan terhadap perempuan, perlindungan kebebasan berpendapat, hingga perlindungan privasi.

"Semisal beberapa badan dan mekanisme PBB bisa dijadikan referensi," kata Asfin.

Hingga Senin (23/9/2019) pagi, tak ada perwakilan Istana yang bisa dihubungi dan merespons usulan ini.

Reporter Tirto sudah menghubungi Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani untuk menanyakan kemungkinan dibentuknya tim independen sejak Ahad siang. Namun tak ada respons saat ditelepon empat kali dan hanya centang dua biru—tanda pesan dibaca—saat dikirimi pesan via Whatsapp.

Begitu juga staf ahli lainnya di Deputi V KSP, Ifdhal Kasim. Reporter Tirto sudah menghubunginya empat kali dan tak ada respons sama sekali.

Baca juga artikel terkait REVISI KUHP atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana