tirto.id - Bagaimana rasanya terbangun dari tidur panjang dan tersadar bahwa Anda bukan siapa-siapa di dunia ini? Anda tak diakui, tak dikenal, tak punya tempat di lingkaran sosial masyarakat, dan tak dihormati orang-orang di sekitar.
Inilah yang dialami persis dialami Arthur Fleck (diperankan Joaquin Phoenix), laki-laki pengidap gangguan mental asal Gotham City. Hidupnya, seperti yang ia bilang, adalah serentetan "tragedi".
Arthur tinggal bersama ibunya yang sudah renta, Penny (Frances Conroy), di sebuah apartemen bobrok. Sehari-hari, ia bekerja sebagai badut pesta. Meski pekerjaannya dianggap remeh, Arthur gembira menjalaninya.
Tapi, kegembiraan itu rupanya tak sebanding dengan perlakuan yang ia terima. Arthur kerap jadi target perisakan dan kekerasan sehingga membuatnya tambah depresi.
Di titik inilah ia bertransformasi dalam karakter bernama Joker.
Phoenix Mengobati Kekecewaan
Dalam semesta budaya populer, Joker adalah ikon supervillain yang masyhur di layar lebar dan komik. Di dunia film, Joker sudah diperankan oleh banyak aktor, dari Jack Nicholson (Batman, 1989) hingga Jared Leto (Suicide Squad, 2016).
Meski demikian, saya—dan mungkin Anda sekalian—beranggapan pemeran terbaik Joker adalah sosok Heath Ledger dalam The Dark Knight (2008) garapan Christopher Nolan.
Ledger berhasil memainkan karakter Joker dengan begitu memesona di Dark Knight. Rambut gondrong acak-acakan, rias wajah yang berantakan, hingga gelak tawa mengerikan yang pecah sehabis membunuh adalah beberapa ciri khas Joker yang diinterpretasikan oleh Ledger.
Di tangan almarhum Ledger, Joker benar-benar menjadi simbol kekacauan, kerusakan, serta perlawanan terhadap tertib sosial. Joker versi Ledger adalah manifestasi teror.
Tak lupa, hasratnya membunuh Batman (Christian Bale) juga sangat mencolok. Rivalitas Joker-Batman dalam Dark Knight sungguh-sungguh tiada tanding.
Pencapaian itu mau tak mau meninggalkan beban besar bagi pemeran Joker berikutnya. Jared Leto pernah digadang-gadang bisa menyamai kesuksesan Joker versi Ledger. Sayang, Leto justru tampil buruk.
Kekecewaan itu pada akhirnya terobati dengan penampilan prima Phoenix di film Joker. Sejauh ini, Phoenix bisa dibilang memenuhi ekspektasi—menghidupkan karakter Joker seperti yang diharapkan banyak orang setelah kegagalan Leto.
Joker yang dimainkan Phoenix adalah Joker yang terasing, rapuh, dan gamang. Phoenix tertawa sendirian di subway setelah dipecat bosnya karena ketahuan membawa pistol ke pesta kanak-kanak. Ia membantai tiga eksekutif Wallstreet di subway. Ia membunuh ibunya dengan bantal di rumah sakit.
Gelak tawa, tatapan tajam, gemulai tubuhnya yang luar biasa ceking, dan transformasinya dari 'sobat awkward' ke penguasa kekacauan sungguh-sungguh membangkitkan bulu roma. Phoenix menunjukkan bagaimana perubahan itu dicapai dari satu pembunuhan ke pembunuhan lain.
Mengkonkretkan Joker
Karakter Joker pertama kali muncul pada April 1940, bertepatan dengan debut komik Batman. Inspirasinya dari karakter Gwynplaine ciptaan Conrad Veidt yang muncul dalam novel The Man Who Laughs (1869) karya Victor Hugo. Sosok Gwynplaine sendiri ditampilkan dengan wujud pria berwajah rusak dan punya seringai lebar yang menyeramkan.
Dalam komik produksi DC, Joker ditampilkan sebagai psikopat dengan selera humor gelap, ekstrem, dan terkadang sadis. Meskipun tak punya kekuatan super, Joker dibekali kemampuan teknis yang unik lagi mematikan. Ia bisa meramu senyawa beracun yang dapat meledakkan seisi kota, atau memanfaatkan benda-benda remeh di sekeliling menjadi senjata tajam.
Namun, di film yang disutradarai Todd Phillips (The Hangover, Project X) ini, cerita Joker berbeda sepenuhnya dari semesta komik. Phillips menyatakan bahwa Joker dalam film garapannya lebih berfokus pada asal-usul protagonis (origin story).
Tidak mengandalkan narasi dari komik adalah langkah yang patut diapresiasi dari Phillips. Dengan begitu, Phillips leluasa menyusun sejarah Joker yang selama ini masih abu-abu. Ruang kosong tentang identitas Joker pun terisi.
Tapi, di lain sisi, keputusan mengangkat asal-usul Joker juga meninggalkan celah problematis. Selama ini, Joker dipandang sebagai simbol kekacauan, kejahatan, perlawanan, pemberontakan, hingga rusaknya tatanan sosial. Dalam semesta Gotham City, Joker didudukkan sebagai antitesis Batman yang mewakili hukum dan ketertiban.
Posisi Joker yang serba abstrak itu seperti wadah kosong yang bisa diisi racun apa pun: bandit, teroris, gerakan massa anonim, hingga politikus populis. Ia bisa berperan saluran orang-orang yang muak terhadap sistem, ingin menghancurkan sistem, atau memanipulasinya dengan darah dan besi.
Origin story yang ditulis Phillips menyempitkan kemungkinan-kemungkinan yang hampir tak terbatas itu. Joker edisi Phillips adalah kebalikan sempurna dari karakter komik dan film V for Vendetta. Karakter dalam kisah yang terakhir disebut ini diambil dari sosok nyata Guy Fawkes, seorang fundamentalis Katolik abad ke-17 yang ingin membom Gedung Parlemen Inggris.
V for Vendetta mengabstraksi Guy Fawkes menjadi sebuah topeng, membuatnya anonim, dan bisa dipakai siapa pun sebagai simbol perlawanan terhadap represi pemerintahan otoriter. Tak heran, pada 2011, topeng Guy Fawkes muncul di tengah-tengah demonstrasi anti-Mubarak di Tahrir Square, Mesir, dan menjadi salah satu simbol Occupy Wall Street di New York.
Joker dalam Joker kini memiliki masa lalu yang konkret dengan kelainan jiwa yang mendarah daging sebagai motif dominan untuk menghabisi tiap tertib sosial. Efek diskursif yang dihasilkan: tiap orang yang ingin menggoyang tatanan politik (apa pun garis politiknya) akan dinyatakan sakit jiwa. Yang sebaliknya juga berlaku: mereka yang punya masalah mental rentan dipandang sebagai pelaku kriminal yang tertunda.
Bukankah itu jauh lebih tragis?
Editor: Windu Jusuf