Menuju konten utama
Joker yang Memukau

Kenapa Orang Terpesona dengan Joker?

Joker adalah tokoh yang kompleks dan filosofis. Simbol kekacauan dan perlawanan terhadap ketertiban.

Kenapa Orang Terpesona dengan Joker?
Poster Batman The Killing Joke. FOTO/Dok. DC

tirto.id - Warner Bros Pictures baru saja merilis teaser film Joker yang rencananya akan tayang di bioskop pada 4 Oktober 2019 mendatang. Hingga tulisan ini dibuat, video tersebut telah ditonton sebanyak 19.947.871 kali.

Sejak Heath Ledger dengan gemilang memerankan Joker di The Dark Knight 11 tahun silam, kerinduan penonton terhadap karakter tersebut memang sudah menggebu. Terlebih karena Jared Leto dianggap amat buruk ketika memerankannya di Suicide Squad 2016 lalu. Dalam artikelnya di Insider, Jacob Shamsian bahkan menyebut Leto telah “gagal dengan spektakuler”.

Teaser berdurasi 2:24 menit tersebut menggambarkan sekilas bagaimana kehidupan awal Arthur Fleck di Gotham era 80-an sebelum ia berubah menjadi Joker: seorang komedian gagal, badut yang suka di-bully di jalanan, pesakitan ceking yang menjadi korban pengeroyokan di atas subway yang sepi, dan secara tekun merawat ibunya yang sakit—diperankan oleh Frances Conroy.

Pada satu kesempatan, Arthur Fleck juga diperlihatkan mengunjungi Arkham Hospital dan sempat pula bertemu dengan sosok anak kecil yang diduga merupakan Bruce Wayne alias Batman. Teaser tersebut diakhiri dengan penampakan Fleck mengenakan kemeja hijau, rompi oranye, dibalut dengan setelan jas warna merah, tengah berjalan di sebuah lorong apartemen sambil membawa seikat bunga.

Berbeda dengan Joker di The Dark Knight yang sejak awal sudah memperlihatkan sisi kacaunya atau Joker di Suicide Squad yang mirip seperti seorang mobster, dalam teaser Joker kali ini elemen terpenting yang ditonjolkan adalah bagaimana kekejaman masyarakat Gotham menyebabkan Arthur Fleck muak dan berubah menjadi sosok keji.

Semua itu terangkum lewat kata-kata yang diucapkan Fleck dalam satu tarikan nafas: “I used to think my life was a tragedy, but now I realize it's a comedy” ("Aku biasa berpikir hidupku adalah tragedi, tapi sekarang aku sadar hidupku komedi"). Ditambah latar lagu "Smile" (karya Charlie Chaplin dan dipopulerkan oleh Nat King Cole) yang aransemennya diubah menjadi lebih gelap, ada perasaan iba sekaligus ngeri ketika menyaksikan teaser tersebut.

Sutradara Todd Phillips tampaknya memang hendak menampilkan sosok Joker dalam Batman: The Killing Joke, komik karya Alan Moore dan Brian Bolland yang dianggap sebagai kitab Batman terbaik sepanjang masa. Dalam komik yang dirilis pada era 1980-an tersebut, digambarkan bagaimana sosok Joker hanya membutuhkan “satu hari buruk” untuk membuatnya menjadi badut (yang berbuat) jahat hanya demi satu tujuan: membuktikan bahwa kejadian yang menimpanya itu juga bisa membuat orang lain sinting.

Sejauh ini, teaser tersebut telah mengundang banyak apresiasi positif. Joaquin Phoenix yang memainkan Joker juga diperkirakan dapat memerankan persona tersebut dengan kualitas akting yang mumpuni. Namun, terlepas dari siapa pemerannya, karakter Joker sendiri memang selalu menarik perhatian.

Pertanyaannya: mengapa demikian?

Memahami Filosofi Joker

Sebagai seorang psikopat nihilistik yang menganggap kekejaman dan kekacauan sebagai sebuah humor, Joker dihadirkan untuk menjadi simbol segala malapetaka. Anggapan tersebut makin sempurna dengan codet di bibir yang membuat Joker tampak selalu menyeringai. Untuk memahaminya, mari melihat filosofi pemikiran Joker.

Dalam Killing Joke, diceritakan bahwa mulanya Joker hanya penjahat kelas kambing yang ikut bergabung dengan sekelompok bandit sekadar demi mencari uang tambahan untuk kebutuhan keluarga. Satu hari sebelum kelompok tersebut melakukan perampokan, istrinya yang tengah hamil meninggal karena kecelakaan. Namun, di tengah keterpurukan itu, ia tetap harus merampok, hingga kemudian bertemu Batman, lalu terjatuh ke dalam tong yang dipenuhi bahan kimia.

Serangkaian peristiwa traumatis itulah yang kelak melahirkan tokoh Joker. Dikombinasikan dengan paparannya terhadap bahan kimia, Joker lantas menyadari betapa komikal sekaligus tidak adilnya hidup yang ia alami sampai-sampai mendorongnya hingga batas terjauh. “All it takes is one bad day” ujarnya. "Cuma butuh satu hari sial". Sebuah ucapan jenius yang mampu merangkum perjalanan panjang kepahitan hidup Joker hingga seperti lelucon yang patut ditertawakan.

Dalam Laughing at Nothing: Humor as a Response to Nihilism (2003), John Marmysz berpendapat bahwa untuk karakter seperti The Joker, seseorang yang menjadi sasaran dari takdir yang buruk, humor adalah cara untuk "memahami kehidupan". Sikap tersebut menggenapkan apa yang dijelaskan Arthur Schopenhauer di The World as Will and Representation: “Tertawa, dalam tiap kasus, hanyalah letupan yang muncul akibat ketidaksesuaian antara bayangan dan kenyataan yang dilalui.”

Sejak itu, Joker pun bertransformasi secara radikal. Perilakunya menggila hingga ia bertiwikrama menjadi seorang pesakitan sinting yang tanpa ampun membuat cacat anak Komisaris Gordon, Barbara Gordon, atau menyiksa Jason Todd—sosok Robin yang menjadi partner Batman—sebelum meledakkan tubuhnya dengan bom waktu. Pada titik ini, Joker merupakan representasi absolut dari kekacauan (chaos) dan mengikrarkan diri sebagai musuh bebuyutan Batman yang mewakili ketertiban (order).

Kegilaan Joker juga dapat ditinjau dari pisau psikoanalisis Sigmund Freud. Freud percaya bahwa manusia pada dasarnya memang memiliki hasrat besar untuk melakukan kekerasan. Namun, karena membahayakan kelangsungan hidup, masyarakat sepakat membuat seperangkat aturan untuk mengekang pelampiasan hasrat tersebut. Inilah cikal bakal peradaban dan seperangkat normanya.

Hal tersebut kurang lebih sama dengan gagasan Thomas Hobbes mengenai “Leviathan”. Bermula dari ketidakpercayaannya mengenai konsep “Illusory Superiority” (sebuah bias dalam pikiran manusia yang memandang hal baik dalam dirinya secara berlebihan), Hobbes menganggap manusia secara naluriah adalah mahluk amoral. Maka dari itu diperlukan aturan-aturan yang bersifat memaksa agar mereka tidak saling berbuat jahat yang merugikan kehidupan bermasyarakat.

Kendati gagasan Freud dan Hobbes dianggap berguna demi kehidupan kolektif, efek pengekangan yang berasal dari norma atau aturan tersebut dapat menimbulkan depresi atau bahkan gangguan kejiwaan. Untuk melampiaskannya, manusia pun mencari alternatif, salah satunya kekerasan verbal. Itulah kenapa lelucon yang menertawakan cacat tubuh dapat membuat sebagian orang tertawa terbahak-bahak.

Pada level yang ekstrem, efek pengekangan tersebut melahirkan sosok dengan karakter seperti Joker. Sebab hanya (orang seperti) dirinya yang berani mengonfrontasi apa yang disebut Carl Jung sebagai “Shadow” (insting kebinatangan yang disembunyikan di balik persona) lalu menjadikannya sebagai identitas diri. Ditambah dengan segala kepahitan hidup yang ia alami, Joker dengan terang mempersetankan segala aturan di luar dirinya seraya menggugat kemapanan.

Infografik Karakter Joker

undefined

Transformasi tersebut membuat Joker dapat ditafsirkan sebagai—meminjam istilah Nietzsche—ubermensch. Selain karena ia telah mencapai level sempurna dalam “kehendak untuk berkuasa”, Joker juga melambangkan mentalitas Dionysian (kebudayaan yang mengagungkan unsur kekacaubalauan dan keacakan berpikir), antitesis dari mentalitas Apollonian yang melulu tertib dan serius, sesuatu yang dengan jelas direpresentasikan oleh Batman.

Maka perlukah diherankan jika Joker percaya betul bahwa “satu-satunya cara paling waras untuk bertahan di dunia adalah tanpa aturan”? Sebuah sikap yang secara tak langsung menerjemahkan konsep Nietzsche mengenai "Kematian Tuhan".

Mengapa Joker Memukau?

Ada kutipan menarik dalam “Why Vampires Never Die”, esai yang ditulis oleh Guillermo Del Toro bersama Chuck Hogan dan tayang di New York Times pada 2009 lalu: “Monster, sebagaimana malaikat, diciptakan demi kebutuhan kita sendiri.”

Esai tersebut menjelaskan mengapa sosok monster penuh teror seperti vampir—yang basis kisahnya dalam literatur diciptakan oleh John William Polidori pada 1819 silam lewat “The Vampyre"—dapat pula dijumpai di nyaris setiap kebudayaan. Dalam mitologi Hindu India, ada Vetala. Di China ada Ching Shih. Di Rumania terdapat Strigoi.

Vampir, masih seturut esai tadi, bisa jadi merupakan sosok yang berasal dari ingatan manusia sebagai primata. Ditinjau dari konteks kehidupan prasejarah, vampir memenuhi kebutuhan kanibalistik manusia. Setelah manusia hidup dalam peradaban yang lebih baik, sosok vampir dikekalkan sebagai penanda bahwa konstruksi sosial dengan seperangkat normanya mewajibkan manusia mengekang hawa nafsu.

Joker, sebagaimana vampir dalam pengertian Del Toro, menjadi menarik karena ia dianggap mampu mewakili sisi jahat manusia yang disembunyikan di balik ketiak normalitas. Namun utamanya, ia adalah simbol perlawanan yang muncul akibat hidup tidak berlaku adil. Lewat pemerian semacam itulah Joker menjadi pribadi yang anti-sosial, nihilistik, serta berhasrat memperlihatkan bahwa siapa saja bisa menjadi dirinya.

Sebagaimana yang dikatakan Joker kepada Batman dalam The Dark Knight: “Aturan moral mereka (masyarakat) adalah lelucon yang buruk. Lenyap sejak masalah muncul. Mereka hanya akan menjadi baik sebagaimana yang diinginkan dunia. Lihatlah, akan kuperlihatkan. Ketika segala hal berantakan, uh, orang-orang beradab ini akan saling memakan satu sama lain.”

Kendati pada akhirnya Joker selalu berhasil diringkus Batman, ia tidak pernah benar-benar kalah. Sebab, bagaimana mungkin mengalahkan seseorang yang sebetulnya tidak pernah punya tujuan?

Baca juga artikel terkait JOKER atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Film
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf