tirto.id - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X mewacanakan penerapan karantina wilayah (lockdown) untuk menekan penularan COVID-19. Epidemiolog menilai kebijakan itu tak boleh sekadar ganti nama, melainkan harus ada evaluasi dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro sebelumnya.
"Saya rasa akan lebih tepat kalau sebelum lockdown itu ada evaluasi dulu, PPKM mikro itu tidak berjalan kenapa?" kata Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria Wiratama kepada reporter Tirto pada Sabtu (19/6/2021).
Bayu menerangkan, virus COVID-19 menular dari manusia ke manusia, karenanya untuk mengurangi penularan maka pergerakan warga harus dibatasi sehingga kontak antarwarga pun menjadi berkurang.
Masalahnya, kata dia, selama PPKM mikro diterapkan di DIY, mobilitas itu tak efektif ditekan. Misalnya, warga semestinya tidak boleh keluar masuk wilayah yang termasuk zona merah, tapi nyatanya masih ada warga yang bisa masuk ke wilayah itu asal meninggalkan identitas, dan orang dari wilayah itu pun masih bisa keluar.
Hal itu pun diakui oleh Sri Sultan sendiri. Sultan mengaku sudah mengeluarkan sejumlah aturan, salah satunya soal izin penyelenggaraan acara di tingkat desa yang harus memperoleh izin di tingkat desa hingga kecamatan. Tujuannya tidak lain untuk memperketat agar tidak terjadi penularan di tingkat keluarga dan tetangga. Namun nyatanya, masih banyak acara-acara yang terselenggara di desa
"Kita sudah bicara ngontrol di RT/RW [dengan pemberlakukan PPKM mikro] kalau gagal mau apa lagi. Kita belum tentu bisa cari jalan keluar. Satu-satunya cara ya lockdown total," kata Sultan kepada wartawan, Jumat (18/6/2021).
Menurut Bayu, hal-hal seperti itu tidak pernah dievaluasi dan upaya untuk diperbaiki, tiba-tiba pemerintah mewacanakan untuk lockdown.
Di samping pembatasan sosial, menurut Bayu yang paling penting dilakukan adalah memperkuat testing, tracing, dan isolasi (3T) serta menggencarkan edukasi masyarakat soal mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5M).
Berdasarkan data WHO, sepanjang 31 Mei-6 Juni, jumlah tes di Yogyakarta sudah mencapai 3 orang per 1000 penduduk, angka itu melampaui standar WHO yakni 1 orang per 1000 penduduk. Namun, positivity rate atau perbandingan antara jumlah orang yang dites dan jumlah orang positif masih sangat tinggi yakni 20 persen orang yang dites telah terpapar COVID-19 padahal WHO mematok target hanya 5 persen.
Karena itu, meskipun rasio tes telah cukup tinggi, Bayu menilai capaian itu masih harus terus ditingkatkan agar orang positif COVID-19 segera dideteksi dan diisolasi, sementara kontak eratnya pun dicari dan dijaring. Dengan demikian, rantai penularan di masyarakat bisa diputus.
"Yang lebih penting kalau mau menekan laju kasus tidak sekadar lockdown tapi 3T dan edukasi 5M juga harus jalan," kata Bayu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz