tirto.id - Jo Kurnianingrat dan Paramitha Rahayu Abdurrachman adalah dua orang perempuan berjasa yang pernah disebut George McTurnan Kahin dalam beberapa catatan perjalanannya ke Yogyakarta selama era revolusi. Kebetulan, keduanya bekerja di kantor Palang Merah Indonesia di Yogyakarta dan sangat fasih berbahasa Inggris.
Dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (2003, hlm. 338) dan Southeast Asia: A Testament (2003, hlm. 105), Kahin sempat menyebut bahwa jika bukan berkat Jo, dirinya mungkin tidak akan pernah mendapakan salinan tiga naskah pidato yang dipersiapkan Sukarno, Hatta, dan Natsir dalam sebuah rapat kabinet di Gedung Agung saat Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Kahin juga menyebut Jo Kurnianingrat sebagai salah satu dari empat perempuan setempat yang berani mendirikan lumbung beras saat Yogyakarta tengah diduduki Belanda. Berkat lumbung itu para pegawai pemerintahan Republik Indonesia yang menolak bekerjasama dengan Belanda bisa tetap mendapatkan bahan makanan.
Jo sebenarnya bukanlah bagian nama asli Kurnianingrat. Catatan Ailsa Thomson Zainu'ddin bertajuk “Building the Future: The Life and Work of Kurnianingrat Ali Sastroamijoyo” yang disunting Jean Gelman Taylor ke dalam Women Creating Indonesia (1997, hlm. 157) menyebut bahwa nama "Jo" berasal dari dari lingkup pergaulan dengan orang-orang asing.
Tidak Bisa Bahasa Indonesia
Kurnianingrat lahir di Ciamis pada 4 September 1919. Ayahnya adalah bupati Ciamis yang masih sanak keluarga bupati Krawang/Purwakarta. Meskipun dikelilingi darah biru, Kurnianingrat tidak murni berdarah bangsawan karena ia lahir dari seorang perempuan jelata.
Kendati demikian, sang ayah tetap memberi putrinya pendidikan terbaik era kolonial. Ketika berusia empat tahun, Kurnianingrat dikirim ke Tasikmalaya untuk belajar bahasa Belanda dari keluarga Indo. Selang beberapa tahun, Kurnianingrat langsung diterima di sekolah Eropa di Bandung berkat penguasaan bahasa Belanda yang baik.
Ailsa Thomson Zainu'ddin dalam obituari Jo Kurnianingrat yang terbit dalam Indonesia, Vol. 058, (October 1994), menyebut Kurnianingrat dan Kartini memiliki banyak kesamaan, baik dalam hal jiwa dan kepandaian seorang gadis bangsawan. Namun, Kurnianingrat mengakui bahwa keselarasan tersebut tidaklah sama mengingat mereka hidup di zaman yang berbeda.
“Saya lahir di lingkungan yang mirip dengan Kartini, seorang pelopor emansipasi perempuan yang lahir 40 tahun silam. Pada 1920-an, Kabupaten tidak lagi mengurung perempuan dalam tembok. […] Sementara Kartini mendamba kesempatan mengenyam pendidikan Barat, kami didorong untuk belajar kebudayaan Barat sebanyak mungkin,” tutur Kurnianingrat, seperti dikutip dari Zainu'ddin.
Status anak pribumi di sekolah orang-orang Eropa membuat Kurnianingrat sulit bergaul. Akibatnya, ia tidak punya teman dan lebih suka menghabiskan waktu pergi ke bioskop. Jadilah Kurnianingrat penggemar fanatik film Amerika, yang malah membuatnya fasih bicara bahasa Inggris.
Zainu'ddin dalam obituari Jo Kurnianingrat menyebutkan di samping fasih berbahasa Belanda dan Inggris, Kurnianingrat tetap mempertahankan latar belakang Sundanya. Saat libur sekolah, Kurnianingrat senang berkumpul dengan orang-orang di Kabupaten Bandung dan lebih banyak bertutur dalam bahasa Sunda.
Akibat lingkup pergaulannya, Kurnianingrat hampir-hampir tidak pernah bertutur dalam berbahasa Indonesia. Kesempatan belajar bahasa Indonesia baru ditemuinya ketika muncul kewajiban berbahasa Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
“Di sepanjang jalan, anak-anak muda berjajar dengan jarak untuk mengingatkan pejalan kaki agar tidak berbicara dalam bahasa lain selain bahasa Indonesia,” kenang Kurnianingrat sebagaimana dikutip Zainu'ddin dalam “Building the Future: The Life and Work of Kurnianingrat Ali Sastroamijoyo.”
Pada zaman Jepang pula Kurnianingrat sempat mengajar psikologi di Sekolah Guru Perempuan di Yogyakarta. Awalnya mengajar dalam bahasa Indonesia sangatlah sulit bagi Kurnianingrat. Untungnya, ia mendapat banyak bantuan dari guru-guru perempuan.
“Salah satu rekan kerjaku, Ibu Nurseha, menerjemahkan semua yang aku katakan ke dalam bahasa Indonesia dan aku mempelajarinya dengan seksama. Aku selalu ketakutan jika ada murid yang bertanya tetapi cara ini nampaknya jalan terbaik untuk menguasai Indonesia,” lanjut Kurnianingrat.
Bung Ali dan Inspeksi Pengajaran Bahasa Inggris
Selepas Indonesia merdeka, pintu menuju dunia luar berbuka lebar-lebar bagi Kurnianingrat. Ia bisa dengan bebas bertutur lagi dalam bahasa Inggris. Bahkan, dirinya didaulat mengajar bahasa Inggris di sekolah menengah sekaligus menjadi penyiar siaran RRI berbahasa Inggris, Voice of Free Indonesia.
Kemampuan berbahasa asing Kurnianingrat lantas membuatnya mudah bergaul dengan kaum nasionalis dan tamu asing. Saat ibu kota negara berpindah ke Yogyakarta, Kurnianingrat bebas keluar masuk Istana Negara menemui Sukarno. Alasannya sederhana, tidak banyak perempuan yang mampu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris kala itu, sehingga kehadiran Kurnianingrat dinilai dapat menghibur tamu asing.
Di saat bersamaan, Kurnianingrat mulai mengenal Ali Sastroamidjojo yang kala itu menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan. Menurut Kurnianingrat, Bung Ali adalah sosok yang penuh humor, sebagaimana dipaparkan Ruben Nalenan melalui tulisan “Ali Sastroamidjojo Merombak Pola Kekuatan Dunia” yang tersunting dalam Sejarah Tokoh Bangsa (2011, hlm. 2013).
Selepas ikut pemerintah berpindah-pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Ali menawari Kunianingrat beasiswa ke Australia pada Juli 1949. Beasiswa Pemerintah Australia itu sebenarnya sudah tiba di meja kerja Ali sejak Desember 1948, tetapi baru dapat ditindaklanjuti menyusul mundurnya Belanda dari wilayah RI pada Juni 1949, sebagaimana ditulis oleh Jemma Purdey dalam antologi Linking People: Pertalian dan Interaksi Orang Australia dan Orang Indonesia (2017, hlm. 131).
“Untuk Nona Kurnianingrat, saya ingin menyampaikan bahwa ia merupakan guru bahasa Inggris terbaik di tingkat sekolah menengah kami. Ia juga memiliki ketertarikan besar terhadap isu-isu pendidikan,” tulis Ali dalam suratnya kepada Perwakilan Australia di Jakarta Charles Eaton yang terangkum dalam Document on Australian Foreign Policy 1937-49 (1998, hlm. 499).
Atas rekomendasi Ali Sastroamidjojo, maka berangkatlah Kurniangrat beserta dua penerima beasiswa lainnya ke Sydney pada bulan November 1949. Selama kurang lebih satu tahun, Kurnianingrat mengambil kelas psikologi dan mempelajari sistem pendidikan di Australia dengan mengunjungi banyak sekolah.
Dua tahun sekembalinya Kunianingrat ke Indonesia, ia ditunjuk menjabat wakil kepala Inspeksi Pengajaran Bahasa Inggris (IPBI) yang dibentuk pada 1953, mendampingi Fritz Wachendorff. Kelompok ini berisi akademisi dari negara-negara Barat yang menaruh perhatian besar kepada Republik Indonesia seperti Ailsa Thomson Zainu'ddin serta Herbert dan Betty Feith. Mereka memanggil Kurnianingrat dengan nama “Jo”.
Kegiatan IPBI dilaksanakan di bawah arahan dewan Kerajaan Inggris dan Ford Foundation dari Amerika. Mereka gotong royong menyusun silabus dan standar pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah menengah. Tujuannya agar bahasa Inggris dapat segera menjadi bahasa asing pertama menggantikan bahasa Belanda.
Kurnianingrat memutuskan bertolak ke Ithaca, New York, untuk menuntut ilmu liguistik di Universitas Cornell, setelah IPBI resmi dibubarkan pada 1956. Dari hasil belajarnya ini, ia kemudian mengajar bahasa Inggris di Universitas Indonesia dan diangkat menjadi kepala prodi pada 1960.
Jo Kurnianingrat kemudian dipersunting Ali Sastroamidjojo pada 1970. Saat itu Kurnianingrat sudah berusia 51 tahun, lebih muda 16 tahun dari Ali. Dalam suratnya kepada Ailsa Thomson Zainu'ddin, Kurnianingrat berujar, “Aku tidak pernah berencana menyerahkan hidupku karena aku telah bersusah payah membentuknya, tetapi pasti ada saja hal-hal yang terjadi diluar perkiraan.”
Editor: Windu Jusuf