Menuju konten utama
Jimmy Carter

Jimmy Carter di Antara Kebijakan Pro Lingkungan & Krisis Energi

Di bawah bayang-bayang krisis energi, administrasi kepresidenan Carter gencar menyuarakan perlindungan lingkungan dan pemakaian energi alternatif.

Jimmy Carter di Antara Kebijakan Pro Lingkungan & Krisis Energi
Presiden Jimmy Carter melambai ke kerumunan sambil berjalan bersama istrinya, Rosalynn, dan putri mereka, Amy, di sepanjang Pennsylvania Avenue dari Capitol ke Gedung Putih setelah pelantikannya di Washington, 20 Januari 1977. (AP Photo/Suzanne Vlamis)

tirto.id - Artikel sebelumnya: Nuklir sampai Rasisme: Sebelum Jimmy Carter Jadi Presiden AS

Penulis His Very Best: Jimmy Carter, a Life (2020) Jonathan Alter menuturkan bahwa hasrat environmentalisme James Earl “Jimmy” Carter Jr sebagian didorong oleh kesenangannya menikmati keindahan alam. Satu contoh adalah ketika ia suka menyelinap keluar kantor sore menjelang malam saat menjabat Gubernur Georgia hanya untuk mendayung kano atau kayak bersama kawan. Tempat yang dituju adalah Sungai Chattahoochee yang menyuplai 70 persen sumber air minum untuk kawasan padat penduduk Metropolitan Atlanta.

Setahun setelah terpilih sebagai Presiden ke-39 Amerika Serikat, pada 1978, Carter menetapkan sungai tersebut sebagai taman nasional. Artinya Sungai Chattahoochee menjadi area konservasi yang dikelola pemerintah federal agar lestari dan aman dari kepentingan pembangunan sekaligus bisa dinikmati publik sebagai tempat rekreasi.

Di antara banyak program, proyek pelestarian Carter paling ambisius berlangsung di Alaska, teritorial terluas AS nun jauh di sisi utara benua Amerika. Kala itu dia sudah menyadari urgensi memproteksi kawasan tersebut. Ini adalah pandangan yang saat itu hanya dibahas di lingkaran ilmuwan dan grup prolingkungan (seruan untuk menjaga sistem ekologi Alaska karena berkontribusi terhadap kestabilan dan ketahanan iklim masih terus digaungkan para ilmuwan hari ini).

Di sana Carter berhasil mendirikan 15 taman nasional. Salah satunya kawasan gletser Wrangell-St. Elias, taman nasional paling luas di AS yang mencapai 53 ribu km persegi atau lebih luas daripada Jawa Timur atau Jambi.

Masih di Alaska, Carter juga menggunakan kewenangannya sebagai presiden untuk menunjuk area seluas 56 juta hektare—dua kali lipat luas Pulau Jawa—sebagai monumen nasional. Artinya, kawasan yang meliputi daerah aliran sungai, dataran tinggi, sampai hutan hujan tersebut dilindungi secara permanen dari kepentingan pembangunan dan pertambangan oleh undang-undang.

Carter bangga atas pencapaiannya dalam konservasi di Alaska sampai-sampai memajang peta wilayah itu di dinding ruang kerjanya, Kantor Oval.

Namun tentu saja kebijakannya tidak selamanya mulus, apalagi terkait dengan uang yang begitu besar. Alaska sangat erat dengan industri energi (minyak, gas) dan pertambangan mineral. Ketidaksetujuan bahkan tuntutan hukum berdatangan dari para pelaku industri bahkan pemerintah daerah Alaska itu sendiri—Wali Kota Alaska bahkan pernah ikut protes dengan papan bertulisan: “Ini bukan Carterland, tapi Alaska untuk orang Alaska”. Tapi Carter cuek. Beberapa minggu sebelum masa jabatannya usai, dia bahkan masih sempat menandatangani peraturan untuk perlindungan 104 juta hektare lahan baru.

Di samping menggencarkan konservasi alam, Carter juga memperkenalkan regulasi terkait limbah industri atau polus. Ini merupakan warisan paling berpengaruh kedua untuk kesehatan publik AS dalam satu abad terakhir, tutur Jonathan Alter, biografer Carter. Kebijakan nomor satu adalah sanitasi limbah kotoran manusia di awal dekade 1900.

Total, administrasi Carter melahirkan 14 undang-undang yang “pertama kali memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk mengatasi segala jenis polusi,” tulis Alter.

Badan yang didirikan tahun 1970, Environmental Protection Agency (EPA), menjadi kian proaktif di bawah administrasi Carter. EPA ikut mendukung pemerintah dalam mendorong Amandemen UU Udara Bersih tahun 1977 yang kelak membuat kualitas udara di AS berangsur membaik.

Di bawah era Carter, EPA mewajibkan semua perusahaan melampirkan informasi tentang bahan kimia berbahaya di setiap produk untuk menekan insiden keracunan konsumen. EPA jugalah, pada 1978, yang melarang penggunaan aerosol dengan kandungan bahan perusak lapisan ozon, chlorofluorocarbon (CFC).

Administrasi Carter juga terkenal tegas pada industri yang menyumbang polusi besar. Gugatan mereka untuk raksasa korporat US Steel agar mengurangi polusi udara dikabulkan di pengadilan, putusan yang kelak dipatuhi oleh seluruh pelaku industri baja di AS. Kemudian, meskipun administrasi Carter mendukung aktivitas tambang batu bara—industri paling kotor yang juga sumber energi domestik esensial bagi AS—mereka jugalah yang menerbitkan UU untuk meregulasi ketat industri tersebut sekaligus memerintahkan pelaku usaha agar membayar biaya reklamasi lahan bekas tambang dengan menanam rumput dan bibit pohon.

Melalui UU yang diresmikan pada 1980, administrasi Carter mengatur tentang anggaran khusus, disebut Superfund, yang diperoleh dari pajak dari para pelaku industri kimiawi dan petroleum. Uang yang terkumpul kemudian dipakai oleh pemerintah federal untuk menangani pembuangan limbah berbahaya yang berpotensi mengancam kesehatan publik.

Krisis Energi

Administrasi Carter sungguh apes sebab dibayangi dengan gejolak krisis energi yang dipicu oleh revolusi di Iran, salah satu negara eksportir minyak terbesar di dunia. Akibatnya, harga minyak dunia meroket dan produknya semakin langka—momok bagi penduduk AS yang merupakan konsumen minyak tertinggi di dunia.

Topik tentang krisis energi diungkit Carter dalam sedikitnya enam pidato yang disiarkan di televisi nasional. Salah satunya mengudara persis dua minggu setelah dia diangkat presiden pada akhir musim dingin awal Februari 1977. Kala itu Carter mengaitkan krisis energi dengan kegagalan negara berhemat atau menjaga cadangan energi. “Jumlah energi yang sekarang terbuang dan dapat dihemat lebih besar dari total energi yang kita impor dari luar negeri,” ujarnya.

Solusi yang Carter tawarkan adalah menghemat pemakaian energi dan, yang terpenting, membangun kedaulatan dan mandiri dari impor—terutama dengan mendorong riset tentang energi surya dan sumber energi terbarukan lain, termasuk nuklir. Carter juga mengumumkan akan mendirikan lembaga baru, Kementerian Energi, untuk menjalankan rencana itu.

Dalam siaran tersebut, Carter yang mengenakan sweter alih-alih kemeja dan jas juga mengajak publik agar ikut berkorban dengan menurunkan suhu ruangan pada alat termostat menjadi 18,3 derajat Celcius pada siang hari dan 12,7 derajat Celcius pada malam hari. Langkah itu, klaim Carter, dapat menekan kekurangan energi nasional sampai separuhnya.

Setahun setelah pidato yang membuat Carter dijuluki “The Sweater Man” itu, pada 1978, diresmikanlah UU Energi Nasional yang bertujuan menekan ketergantungan publik AS dari minyak, mendorong pemakaian energi terbarukan, sampai mengatur standardisasi pemakaian energi yang lebih efisien pada mesin kendaraan bermotor.

Aturan hukum ini kelak diperkuat dengan UU Keamanan Energi tahun 1980. Peraturan ini turut mendukung swasta dalam mengembangkan inovasi baru energi terbarukan dan memberikan keringanan pajak pada pengusaha dan konsumen rumah keluarga yang berinvestasi pada energi terbarukan.

Tenaga surya merupakan energi alternatif idola Carter. Di samping mendirikan lembaga penelitian Solar Energy Research Institute, sejak 1978 Carter juga menetapkan tanggal 3 Mei sebagai Hari Matahari untuk meningkatkan kesadaran publik tentang potensi tenaga surya. Seiring itu, pemerintahannya meningkatkan pendanaan untuk riset dan pengembangan energi surya.

Sebagai wujud komitmen, pada musim panas 1979, Carter memasang 32 panel tenaga surya di atap Gedung Putih. Di mata Carter, panel surya pada bangunan pemerintah bisa menjadi simbol sekaligus harapan bagi publik AS untuk menyambut masa depan energi ramah lingkungan.

Namun hal itu tidak berlaku bagi pengkritiknya, yang menilai aksi Carter sebatas gelagat untuk berkelit dari krisis.

Meskipun kampanye energi terbarukan Carter terdengar realistis dalam konteks hari ini, ketika pemanasan global dan krisis iklim sudah menjadi diskursus utama di tingkat dunia, upaya tersebut gagal meredam frustrasi dan kemarahan publik pada masa itu. Popularitas Carter semakin merosot drastis. Tingkat persetujuan pada kinerjanya terjun sampai ke angka 28 persen, tak beda jauh dari Presiden Nixon setelah Skandal Watergate.

Infografik Jimmy Carter

Infografik Jimmy Carter. tirto.id/Fuad

Masih pada musim panas 1979, separuh negara bagian sudah memberlakukan penjatahan bensin berdasarkan nomor plat (ganjil dan genap). Bersamaan dengan itu muncul antrean kendaraan untuk beli bensin sejak dini hari meski tidak ada jaminan apakah pasokan bahan bakar masih tersedia atau tidak.

Situasi kian genting karena muncul kerusuhan yang melibatkan sampai 2.000 orang di Levittown, Pennsylvania. Pemicunya adalah pemblokiran jalan oleh para pengemudi truk. Mereka juga mengacaukan properti dan membakar kendaraan. Salah satu demonstran mengklaim harus bayar 140 dolar untuk memenuhi tanki truk, seratus dolar lebih mahal daripada yang dibayarnya enam tahun silam.

Menanggapi itu semua, Carter menyarankan rakyat AS untuk mengurangi frekuensi mengendarai mobil pribadi dan lebih sering naik transportasi publik. “Setiap tindakan menghemat energi seperti ini sudah melebihi akal sehat—ini adalah tindakan patriotisme,” ujarnya dalam pidato “Krisis Kepercayaan Diri” tanggal 15 Juli. Karut-marut yang tengah berlangsung kala itu, menurut Carter, berhubungan dengan “krisis kepercayaan diri” rakyat Amerika yang tidak lagi menghormati institusi pemerintah dan para pemimpin.

Carter, yang mengajukan serangkaian solusi termasuk menggenjot produksi energi domestik, berharap agar rakyat AS mau percaya lagi pada pemerintah. Sayangnya publik terlanjur mengasosiasikan krisis kepercayaan diri yang Carter ungkit dengan masalah-masalah pada administrasinya sendiri. Semenjak itulah citra Carter jadi semakin lemah di mata khalayak.

Hanya tiga hari setelah pidato tersebut, lima anggota kabinet mengundurkan diri. Dua bulan kemudian, Carter nyaris ambruk dan memutuskan mundur dari lomba lari 10 km—yang berhasil dituntaskan oleh peserta anak usia 11 tahun dan lansia 70 tahun. Insiden itu pun dibingkai oleh media AS sebagai cerminan dari lemahnya Carter yang kala itu masih berusia 55 tahun.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait PRESIDEN AS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino