tirto.id - Terasa berat bagi Donald Trump untuk mengakui Joe Biden sebagai presiden terpilih Amerika Serikat. Dua minggu berlalu setelah pencoblosan, Trump masih ngotot bahwa dirinya keluar sebagai pemenang. Ia juga terus menuduh ada kecurangan di balik kemenangan Biden.
Selain melempar tuduhan tak berdasar, Trump melancarkan serangkaian gugatan di sejumlah negara bagian, yang tampaknya tetap tidak berhasil menggiring kemenangan ke sisinya. Suasana semakin keruh dengan ribuan massa pendukung Trump membanjiri Washington DC pada 14 November untuk menolak hasil pemilu.
Yang membuat situasi politik di Amerika tambah memprihatinkan, jajaran tinggi Partai Republikan turut mengakui Trump dan menyangkal kemenangan Biden. Menteri Luar Negeri Mike Pompeo percaya akan “transisi mulus untuk pemerintahan periode kedua Trump”. Pembelaan terhadap Trump disuarakan pula oleh politisi senior sekaligus kepala Senat mayoritas, Mitch McConnell, yang menegaskan bahwa Trump berhak mengusut berbagai tuduhan kecurangan.
Batu Penghalang dari GSA
Hal mengkhawatirkan lainnya ditunjukkan oleh sikap Emily W. Murphy, birokrat pilihan Trump di General Services Administration (GSA). GSA adalah lembaga negara penyedia kebutuhan logistik dan layanan administrasi untuk seluruh badan federal dan departemen pemerintah. Satu minggu lebih sudah berlalu semenjak Biden mengumumkan 500 anggota tim transisinya, namun Murphy masih belum menandatangani surat pengesahan yang bisa memberikan lampu hijau kepada pemerintahan transisi Biden-Harris agar resmi bergerak.
Sesuai Undang-Undang Transisi, GSA seharusnya mulai melayani tim transisi satu hari setelah pemilu. Tahun ini berbeda. Pasalnya, dibutuhkan beberapa hari sampai perhitungan suara tuntas. Pada saat bersamaan, GSA juga merujuk kasus pilpres 2000. Pengumuman kemenangan George W. Bush harus tertunda sampai Desember 2000 karena terdapat selisih 500-an suara di satu negara bagian, Florida, yang dipersengketakan.
Namun demikian, perbandingan dengan kasus pilpres 2000 kurang relevan untuk isu pemilu kali ini, karena Biden mengungguli Trump sampai ribuan suara di tiap-tiap negara bagian yang dimenanginya. Di Georgia misalnya, perhitungan ulang dilakukan terlepas Biden unggul 14.000 suara dari Trump. Padahal, seandainya pun Biden kalah di Georgia, ia tetap unggul dengan 290 perolehan suara elektoral.
Pengakuan resmi dari GSA diperlukan untuk mencairkan anggaran sebesar USD 6,3 juta demi mendanai kebutuhan transisi pemerintahan. Dengan izin GSA, kebutuhan logistik tim transisi, seperti ruang kantor, komputer, dan layanan administrasi teknologi informasi dan komunikasi bisa terpenuhi. Tanpanya, tim transisi tidak akan mendapatkan persiapan cukup sebelum bekerja penuh pada awal tahun depan.
Biden bahkan belum boleh mengakses jaringan telekomunikasi aman dan rahasia yang disediakan oleh Departemen Luar Negeri. Padahal, jaringan tersebut diperlukan oleh presiden terpilih untuk menerima ucapan selamat dari para pemimpin dunia. Akibatnya, sejumlah pesan yang ditujukan kepada Biden malah tertahan di kantor Deplu. Terlepas dari itu, Biden tetap berkomunikasi, misalnya dengan Kanselir Jerman Angela Merkel dan PM Kanada Justin Trudeau, tanpa sokongan logistik dan layanan terjemahan resmi dari pusat komunikasi Deplu.
Yang terpenting, legalitas dari GSA bisa menjembatani tim pemerintahan baru dan lama untuk belajar tentang riwayat administrasi sebelumnya. Tim transisi nantinya bisa memperoleh briefing atau arahan melalui koordinasi langsung dengan staf di kantor-kantor pemerintah, termasuk akses terhadap dokumen-dokumen intelijen dan rahasia yang perlu dijadikan pertimbangan dalam implementasi kebijakan oleh administrasi Biden-Harris awal tahun depan.
Keamanan Nasional dan COVID-19
Keamanan nasional menjadi salah satu isu utama dalam persiapan tim transisi Biden-Harris. Apabila informasi rahasia dan penting dari pemerintahan sebelumnya terkait ancaman-ancaman negara telat diterima, kesiapan tim transisi bidang keamanan Biden dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan pada masa mendatang pun turut dipertaruhkan.
Dilansir dari NPR, David Marchick dari lembaga independen Center for Presidential Transition menjabarkan bahaya transisi pemerintahan yang tersendat. Marchick merujuk pada pemilu tahun 2000, ketika tim transisi George W. Bush terhambat oleh putusan final Mahkamah Agung yang baru keluar menjelang pertengahan bulan Desember. Hal tersebut berdampak pada keterlambatan proses pembentukan tim keamanan nasional yang menjadi salah satu faktor di balik kurangnya persiapan mereka dalam menghadapi serangan 11 September 2001.
Selain itu, strategi penanganan COVID-19 menjadi isu darurat yang harus dipersiapkan matang-matang sebelum administrasi Biden-Harris mulai bekerja tahun depan. Biden kelak mewarisi Operation Warp Speed, strategi percepatan penanganan COVID-19 sampai Januari 2021. Operasi ini disokong oleh pemerintah dan sektor swasta terutama untuk mendorong perkembangan vaksin, termasuk pasokan dan distribusinya. Mengingat operasi ini melibatkan militer dan Departemen Pertahanan, penting bagi tim penanganan COVID-19 Biden untuk menyerap informasi dari seluruh agensi federal yang terlibat tentang sejauh mana strategi Warp efektif dan bagaimana administrasi mereka kelak dapat mengoptimalkannya.
Kepala staf kepresidenan Biden, Ron Klain, menyayangkan transisi kekuasaan yang terhambat. Menurutnya, tertutupnya akses tim transisi penanganan COVID-19 terhadap data-data kesehatan dikhawatirkan dapat menghambat distribusi vaksin ketika Biden mulai mengambil alih pemerintahan. Seruan senada disampaikan pula oleh jajaran staf pendukung Biden dan tokoh kesehatan, termasuk Dr. Anthony Fauci.
Dalam situasi pandemi, transisi pemerintahan bukan sekadar ajang pertunjukan ego para elit politik, melainkan cara untuk menyelamatkan nyawa manusia. Dr. Ashish Jha, dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Brown University, menegaskan bahwa Amerika belum keluar dari krisis pandemi. Berdasarkan perhitungannya, kasus terus bertambah sejak Hari Buruh AS pada awal September dan diproyeksikan akan terus mengalami kenaikan, sehingga segala keputusan yang diambil sejak berakhirnya perhelatan pilpres sampai Biden diinagurasi sebagai presiden tahun depan akan berdampak pada masa depan kesehatan publik AS. Menurut Dr. Jha, transisi yang damai dengan fokus untuk menghentikan penyebaran COVID-19 dapat menyelamatkan puluhan ribu nyawa.
Tim transisi bidang kesehatan Biden memang masih belum bisa berkoordinasi dengan staf di agensi-agensi federal sampai izin dari GSA turun, namun setidaknya mereka tetep berusaha untuk belajar langsung dari sejumlah perusahaan pembuat vaksin, termasuk Pfizer.
Dari Bush ke Obama ke Trump
Situasi alih kekuasaan pilpres kali ini berbeda dari pilpres tahun 2008 yang dimenangkan oleh senator Demokrat Barack Obama. Malam ketika pencoblosan selesai, 4 November, John McCain, kandidat Republikan, menyampaikan pidato simpatik untuk menghargai proses pemilu dan kemenangan Obama. Obama menang telak dengan 365 suara elektoral sementara McCain mendapatkan 173 suara.
Chris Lu, mantan direktur tim transisi Obama kala itu, menyampaikan kepada NPR bahwa surat pengakuan dari GSA diterima oleh tim mereka dalam hitungan jam setelah Obama diumumkan sebagai pemenang pilpres menjelang tengah malam pada hari pemilu.
Tak sampai seminggu setelah pilpres, tepatnya tanggal 10 November, Presiden Bush dan ibu negara Laura menerima Obama dan istrinya Michelle di Gedung Putih dengan tangan terbuka. Reuters memberitakan dalam kunjungan “historis” selama dua jam tersebut, diketahui bahwa Bush menginginkan transisi yang mulus dan bersepakat dengan Obama untuk menjalin kerjasama yang baik dalam proses alih kekuasaan, mengingat waktu itu Amerika tengah dihantam badai krisis ekonomi dan berbagai tantangan keamanan nasional.
Keseriusan Obama dan Bush tercermin salah satunya melalui koordinasi ekonomi antara tim ahli masing-masing menjelang akhir November. Kemudian, satu minggu sebelum pelantikan, Bush berperan menggelontorkan dana 350 juta dolar yang diminta Obama sebagai bekal bagi administrasinya untuk menyelamatkan ekonomi domestik.
f
Proses alih kekuasaan dari Obama kepada Trump berlangsung secepat kilat begitu ia memenangkan pilpres 2016. Dini hari setelah pemilu 8 November, Hillary Clinton menelepon Trump untuk mengucapkan selamat. Pidato kekalahan Clinton disampaikan pula tepat sehari setelah pemilu, bersamaan dengan turunnya izin dari GSA agar tim transisi Trump dapat mengakses jutaan dolar dana, perkantoran dan logistik serta security clearance untuk memperoleh berbagai informasi intelijen dan rahasia.
Dua hari setelah pemilu, Obama bertemu Trump di Ruang Oval Gedung Putih untuk membahas proses transisi. Pada pertemuan tersebut, Obama menyatakan siap untuk memberikan bantuan agar Trump sukses memimpin. Satu minggu setelah pilpres, transisi dari Obama ke Trump terlihat berjalan mulus.
Kekalahan Clinton terasa menyakitkan bagi kubu Demokrat, karena Clinton unggul dalam perolehan suara populer namun harus kalah oleh suara elektoral. Kekecewaan Partai Demokrat sebenarnya masih berlanjut sampai tahun 2018, ketika Komisi Nasional Demokrat melancarkan gugatan kepada pemerintah Rusia, tim kampanye Trump dan WikiLeaks atas dugaan peranan mereka dalam memenangkan Trump.
Terlepas dari segala drama yang mewarnai era pemerintahannya, Trump tetap mendapatkan segala sokongan administratif dan legalitas untuk melalui transisi kekuasaan pada 2016. Akan tetapi, ketika mengalami kekalahan pada pilpres 2020, Trump justru uring-uringan dan berusaha sekeras mungkin untuk mempersulit tim transisi Biden.
Sejumlah suara di Partai Republikan pun terdengar lelah menghadapi Trump yang keras kepala. Sebagaimana disampaikan oleh beberapa tokoh Partai Republikan kepada Axios, langkah-langkah legal yang diusahakan Trump untuk menentang hasil pilpres diperkirakan bisa berlangsung lama, mungkin sampai sebulan lebih, terlepas bahwa mereka mengakui bahwa usaha tersebut tampaknya akan sia-sia.
Editor: Windu Jusuf