tirto.id - Donald J. Trump boleh saja kalah dalam pilpres 2020. Namun posisinya sebagai tokoh calon presiden Partai Republikan sulit digantikan. Bilamana Trump mundur, kemungkinan pandangannya akan diwariskan kepada penerusnya yang memimpin Republikan. Pandangan Trump yang rasis, misoginis, homofobik, anti-imigran, dan pro-supremasi kulit putih tetap akan bertahan.
Trump kalah setelah saingannya, Joseph Robinette Biden Jr. atau biasa dikenal Joe Biden mendominasi perolehan suara lebih dari 270 electoral votes. Sejauh ini tercatat Biden unggul cukup jauh dengan 290 electoral votes. Trump hanya meraih 214.
Pada pilpres Amerika Serikat 2020, Trump keok di wilayah kemenangannya terdahulu pada 2016. Itu pula salah satu sebab Trump gagal dalam pilpres kali ini. Dia terseok di Pennsylvania, Michigan, Georgia, Arizona, hingga Wisconsin. Seluruh negara bagian itu berhasil dimenangkan Trump ketika bersaing dengan Hillary Clinton pada 2016.
Jika saja di lima negara bagian itu Trump menang, hasil pilpres 2020 tentu akan terbalik 180 derajat. Di Arizona ada 11 suara elektoral, Georgia 16 suara elektoral, Michigan 16 suara elektoral, Pennsylvania 20 suara elektoral, dan Wisconsin 10 suara elektoral. Di beberapa wilayah, Trump bahkan kalah tidak sampai 0,5 persen saja. Andai dia menang, maka perolehan suaranya justru akan berbanding terbalik dengan Biden sekarang.
Trump juga sadar betapa penting kemenangannya di daerah-daerah tersebut. Di tiga daerah, Georgia, Michigan, dan Pennsylvania Trump mengajukan gugatan untuk penghentian penghitungan suara sementara sampai ada akses bagi mereka untuk memeriksa ulang surat suara dengan sistem mail-in ballot.
Di Wisconsin, kubu Trump sampai meminta penghitungan ulang suara. Manajer kampanye Trump, Bill Stepied menyatakan ada keanehan di beberapa wilayah Wisconsin. Namun dia tidak memaparkan secara jelas seperti apa keanehan tersebut termasuk wilayah mana saja secara spesifik.
Jaksa Agung Pennsylvania, Josh Shapiro, justru menilai Trump sejak awal sedang “menggunakan seluruh kekuasaannya untuk merusak demokrasi dan pemilu”. Dia juga menganggap bahwa gugatan kubu Trump lebih berupa “dokumen politik daripada dokumen hukum”.
Sempat Digempur dari Dalam
Serangan tak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam partai. Sejumlah anggota Partai Republikan sudah mendeklarasikan diri tidak akan mendukung Trump. Mereka mendukung Biden dalam pemilu yang diadakan awal November.
Mantan Gubernur Ohio yang juga politikus Republikan, John Kasich secara terbuka mendukung Biden. Dukungan itu ia sampaikan di Konvensi Partai Demokrat. Baginya, partai ada di urutan nomor dua setelah negara. Biden adalah pilihan tepat bagi Amerika yang tengah terpuruk.
“Aku seumur hidup adalah seorang Republikan, tapi keterikatan saya dengan partai adalah nomor dua dibanding tanggung jawabku kepada negara,” ucap Kasich dilansir WBNS TV.
Mantan Direktur Komunikasi Trump yang juga beraliran Republikan, Anthony Scaramucci, tanpa ragu menyatakan dukungan kepada Biden kendati dia paham partainya menjagokan Trump. Bagi nya, hanya orang gila yang memilih Trump untuk kedua kalinya.
“Tentu saja saya akan berkampanye untuk Biden, kita harus mengalahkan Trump. Ini konyol. Kamu tahu, dan penontonmu tahu betapa gilanya Trump. Dan mereka tentu saja tahu bahwa orang waras harus bekerjasama untuk mengalahkan dia,” ucap Scaramucci dikutipTheHill.
Trump juga mendapat penolakan dari pengusaha yang tergabung dalam Republikan.
Jimmy Tosh, pemilik perusahaan bernilai jutaan dolar Amerika Serikat bernama Tosh Farms tidak lagi mendukung Trump di 2020. Tosh yang selama ini makmur dari hasil beternak sebenarnya sangat pragmatis. Dia tidak suka dengan Trump karena kebijakannya dirasa merugikan usaha.
Perang dagang Trump dengan China salah satunya mengakibatkan pengenaan tarif cukai yang besar. AS mengenakan pajak 25 persen dari total nilai impor China sejumlah 34 juta dolar AS. Sejak ada perang dagang ini, produk-produk jualan Tosh juga mengalami penurunan harga. Babi yang seharusnya bisa dijual dengan harga 75-80 dolar AS menjadi 16-18 dolar AS.
"China adalah pasar terbesar keempat kami berdasarkan nilai jual dan ketiga menurut tonase," kata Tosh pada 2018. “Mereka mengambil banyak daging babi yang tidak kami konsumsi di Amerika; kepala, kaki, hati dan sebagainya. Pasar itu telah berubah dari seribu metrik ton tiga bulan lalu menjadi nol bulan lalu. "
Pendirian Tosh tak berubah sampai 2020. Dia ikut menyumbangkan dana kepada Lincoln Project, salah satu organisasi dengan tujuan politik mencegah Trump untuk memenangkan pilpres 2020. Kebanyakan anggotanya juga berafiliasi dengan Republikan. Organisasi ini menjadi cawan penampungan mereka yang satu partai dengan Trump tetapi justru menggelorakan slogan “NeverTrump”.
“Seumur hidup aku adalah seorang Republikan dan ingin tetap seperti itu, tapi Partai Republikan harus berubah setelah apa yang mereka lakukan tiga tahun ini,” kata Tosh dilansir Reuters.
Trump Masih Berkuasa di Republikan
Kendati Trump kalah, sebagian orang memandang ini bukanlah akhir dari karir politik Trump. Justru dengan begini cengkeraman Trump di Partai Republikan bisa makin menguat. Kemenangan Biden justru membuat faksi pro-Trump tambah berkuasa.
Menurut kolumnis CNN, Lincoln Mitchell, meskipun Partai Republikan kalah dalam pemilihan anggota legislatif oleh Partai Demokrat, tetapi biasanya Republikan yang tersisa adalah mereka yang juga merupakan pendukung Trump. Posisi mereka justru semakin menguat di legislatif karena faksi anti-Trump sudah tersingkirkan.
Kedua, dan mungkin faktor paling besar adalah Republikan tidak punya pilihan lain dan masih sangat percaya dengan Trump. Kekalahan Trump dalam pilpres 2020 juga tak dianggap berakar dari tabiatnya Trump yang anti-imigran dan pro-supremasi kulit putih. Ideologi dan pemikiran Trump atau ilmuwan politik Peter J. Katzenstein sebut sebagai Trumpisme justru masih dianggap populer. Mereka percaya Trump kalah karena perekonomian memburuk selama pandemi Covid-19.
Selama ini agenda Republikan sudah jelas, yakni mendukung kebijakan presiden yang sedang menjabat. Kendati ada beberapa kandidat yang namanya sempat muncul ke publik, mereka juga pendukung Trump dan bisa dikatakan akan terus mengusung ide-ide Trump, di antaranya senator Tom Cotton serta dua anak Trump, Donald Trump Jr. dan Ivanka Trump.
Belum ada tanda-tanda Republikan akan lepas dari Trump, apalagi Trumpisme.
Steve Schmidt, mantan konsultan politik Republikan menyatakan “meski aku ingin sekali melihat salah satu dari mereka (Republikan) menjadi nominasi (pilpres 2024), tapi aku pikir tidak satu pun dari mereka punya kesempatan.”
The Guardian juga memperkirakan hal yang sama. Ketika Trump lumpuh di pilpres 2020, ada perkiraan akan terjadi konflik antar sesama Republikan. Namun hasil pilpres menjadi penanda bahwa Trump adalah tokoh populer yang berhasil menggerakan pemilih.
Jumlah pemilih pada pemilu presiden AS kali ini mencapai angka 160 juta pemilih. Ini adalah jumlah terbesar selama 100 tahun terakhir. The Guardian mencatat, penyebabnya tak lain adalah pencalonan Trump sebagai presiden. Terlepas dari keberhasilannya, figur Trump berhasil mengundang pemilih untuk mencoblos.
Senator Marco Rubio dari Florida juga menilai karir Trump tak akan lenyap begitu saja. Dia mencatat bahwa Trump yang dikenal rasis masih berhasil mendapat 47 persen suara masyarakat Latino di Florida dan 40 persen di Texas. Ini menunjukan bahwa Republikan punya kesempatan meluaskan pengaruhnya kepada kaum koalisi pekerja multietnis.
Kristen Soltis Anderson, seorang analis strategi dari Republikan mengatakan partainya juga keliru jika mengabaikan ketidakmampuan Trump untuk meraih pemilih muda, perempuan, dan kelompok minoritas yang biasanya justru memilih Demokrat.
Bagi Anderson, dilansirNew York Times, Trump justru berhasil dalam hal itu dan sekarang mereka akan sulit mencari pengganti Trump. Beberapa waktu lalu Echelon Insights mensurvei pemilih Republikan atau independen yang cenderung memilih republikan. Responden diminta menyatakan apakah mereka pendukung Partai Republikan atau pendukung Trump? Sebanyak 58 persen menyatakan mendukung Trump.
Editor: Windu Jusuf