Menuju konten utama

Jeritan Pedagang Pasar Loak Kebayoran Lama: Pembeli Kian Menjauh

Sutisna mengaku sudah berjualan baju eceran sejak 1984 dan merasakan perubahan signifikan penurunan daya beli masyarakat.

Jeritan Pedagang Pasar Loak Kebayoran Lama: Pembeli Kian Menjauh
Barang-barang yang dijual oleh Istin di Pasar Loak Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (28/8/2024). (Tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi)

tirto.id - Menerobos kerumunan dan himpitan orang-orang yang keluar dari Stasiun Kebayoran Lama, lokasi Pasar Loak Kebayoran Lama, Jakarta, mulai terlihat. Lokasinya yang berdampingan dengan stasiun Kebayoran dan tepat di bawah flyover, membuat pengunjung mendengar jelas hiruk pikuk aktivitas yang terjadi di pasar itu.

Di tengah lalu lalang kendaraan, terlihat para penjual masih menjajakan jualannya. Mereka menaruh harapan jika ada pengunjung yang mampir untuk membeli dagangannya. Ketika mengelilingi Pasar Loak Kebayoran Lama, para pedagang terbagi menjadi dua bagian, sebagian menjajakan barang-barangnya di toko kecil, sementara yang lain menjual dagangannya di emperan beralaskan terpal.

Di antara para penjual tersebut salah satunya, Istin, yang telah berjualan kaset hampir 16 tahun, menjadi saksi perubahan signifikan yang melanda pasar ini sejak perkembangan teknologi yang kian meningkat. Sudah hampir 20 menit sejak ditemui, belum ada satupun pengunjung yang mampir ke tempatnya. Padahal, harga kaset yang dijualnya terjangkau, yakni hanya berkisar 10 ribu sampai 15 ribu.

“Kadang cuma dapat 30 ribu sehari dari kasetnya aja, emang lagi sepi banget deh bener, ini aja baru laris 15 ribu dari tadi,” ujar Istin saat ditemui Tirto, di Pasar Loak Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (28/8/2024).

Istin mengaku, sudah tak banyak yang membeli kaset dikarenakan sudah banyaknya film-film yang ditayangkan secara daring di internet. Untuk mensiasati ini, ia juga menjual alat-alat elektronik lainnya seperti speaker, kipas kecil, lampu, colokan, dan perabotan lainnya. Namun tetap, ia mengaku dagangannya juga tetap sepi pembeli.

“Itu (kipas) aja ada sebenarnya harganya Rp20 ribu, tapi ada yang minta Rp15 ribu yaudah aku kasih aja biar cepat laris,” keluhnya.

Pasar Loak Kebayoran Lama

Istin saat menjajakan jualannya di Pasar Loak Kebayoran Lama, Rabu (28/8/2024). (Tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi)

Selain Istin, Sutisna sebagai pedagang baju eceran juga turut berbagi kisah perjuangannya. Baju yang dijualnya merupakan hasil baju distribusi impor Korea dan Jepang yang dikumpulkan oleh agen penjual baju di Pasar Senen, Jakarta.

Sutisna mengaku sudah berjualan baju eceran sejak 1984 dan merasakan perubahan signifikan penurunan daya beli masyarakat.

“Dulu omset kita bisa 5 kodi, 6 kodi dalam per hari gitu, sekarang mah boro-boro, sekarang baru 100 potong (baju atau celana) aja ngos-ngosan, ya ada (yang beli) cuma udah jarang,” keluh Sutisna.

Ia mengaku, keuntungan yang didapatnya tergantung dari banyaknya pembeli, artinya, keuntungan yang diambil mulai dari Rp1.000 hingga Rp5.000 per potong baju atau celana yang dijual. Keuntungan ditentukan dari kelas kualitas barang yang ia jual.

Ia mengklasifikasikan kualitas produk mulai dari kelas 1 (kualitas terbaik), kelas 2 (kualitas menengah), dan kelas 3 (kualitas terbawah). Kini pengunjungnya semakin berkurang, maka dari itu, sistem penjualan yang ia lakukan dulu dan sekarang sangat berbeda. Saat dulu, ia merasa produknya cepat laku dikarenakan pembeli bisa membeli satu karung dalam sekali pembelian.

Sutisna bercerita, sebelum membuka usaha baju ini ia bekerja sebagai pegawai negeri di PLN. Ia mengaku alasannya beralih untuk berjualan karena ia merasakan fleksibilitas waktu antara untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan bekerja.

Melihat perubahan perilaku pasar dari offline ke daring yang membuat pergeseran tren belanja di masyarakat ini, Sutisna mengaku tetap tidak menyesali keputusannya untuk beralih menjadi pebisnis kecil. Katanya, apa yang sudah diputuskan akan terus ia tekuni asalkan masih bisa memberi nafkah keluarganya.

“Saya tidak pernah menyesal, alhamdulillah bisa membesarkan anak, jadi semuanya kepegang sih,” ujarnya.

Pasar Loak Kebayoran Lama

Sutisnasaat menjajakan jualannya di Pasar Loak Kebayoran Lama, Rabu (28/8/2024). (Tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi)

Perjuangan serupa juga dialami oleh Masron pedagang barang bekas. Demi mengurangi tekanan biaya modal untuk dagangannya, ia memperoleh barang bekas dari e-commerce. Hal ini ia pilih karena modal pembelian barang bekas tersebut bisa diringankan dengan pay later. Sesuai pengalamannya, baik belanja di agen maupun di e-commerce tidak memiliki perbedaan harga yang jauh.

“Oh shopee pay later itu saya bisa ditawarkan sampai 22,5 juta. Jadi saya boleh mengambil 20 juta untuk per bulannya. Jadi kita dapat pinjaman, itu cukup membantu juga ya buat pedagang seperti saya. Kita bisa ngambil dulu di akhir bulan sesuai ketentuan dari shopee,” jelasnya.

Selama tiga tahun Masron menjadi pedagang barang bekas, dalam beberapa periode terakhir ia merasa pengunjung semakin berkurang. Dugaan utama Masron dikarenakan adanya penjualan online yang kini sedang marak.

“Kalau akhir-akhir ini sangat menurun, bahkan lebih dari 50 persen dibandingkan sebelum COVID,” ujar Masron saat ditemui Tirto.

Selain itu, sumber penghasilan Masron juga berasal dari pekerjaan sampingan yang ia lakukan yaitu sebagai pengemudi ojek online dan membuka jasa perbaikan barang bekas. Upaya ini ia lakukan untuk mendapatkan modal tambahan dagangannya.

“Emang harus ada sampingan, karena kalau disini jujur saya pun kadang sering kali cuman dapat Rp20 ribu sampai Rp30 ribu,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait BARANG BEKAS atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Anggun P Situmorang