tirto.id - Lembaga riset dan advokasi kebijakan The PRAKARSA menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen kurang tepat untuk diberlakukan. Pasalnya, kondisi daya beli masyarakat Indonesia saat ini tengah menurun.
Menurut peneliti The PRAKARSA,Samira Hanim, pemberlakuan kenaikan tarif PPN itu justru bakal semakin memberatkan kelas menengah ke bawah.
“Deflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan lingkaran deflasi di mana konsumsi menurun, pertumbuhan melemah, dan tekanan harga semakin besar. Kenaikan PPN hanya akan memperparah kondisi ini,” tutur Samira dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, dikutip Senin (25/11/2024).
Samira membeberkan bahwa pemerintah sebenarnya telah menaikkan tarif PPN pada 2022 silam. Namun, upaya tersebut nyatanya belum mampu meningkatkan kinerja penerimaan pajak secara signifikan.
Rendahnya penerimaan pajak di Indonesia bukan saja karena rendahnya tarif, tapi juga akibat rendahnya kepatuhan dan penegakan hukum.
“Buktinya, sejak pemerintah menaikkan tarif PPN pada 2022, kinerja perpajakan tak kunjung membaik. Rasio perpajakan terhadap PDB Indonesia di tahun 2023 justru menurun dari 10,39 persen di tahun 2022 menjadi 10,21 persen di tahun 2023,” ucap Samira.
Dia juga menyebut bahwatax ratio Indonesia masih di level 10,02 persen hingga Oktober 2024. Padahal, pada 2022, rata-rata rasio pajak di kawasan Asia Tenggara sebesar 14,8 persen dan di kawasan Asia Pasifik sebesar 19,3 persen.
Kajian World Bank juga menunjukkan bahwa kenaikan PPN tidak banyak berdampak pada kenaikan penerimaan negara. Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, misalnya, tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.
Menurut Samira, salah satu hambatan utama dalam optimalisasi penerimaan PPN adalah inefisiensi dalam sistem pengumpulan pajak. C-efficiency ratio PPN Indonesia tercatat hanya 0,53 poin—lebih rendah 0,17 poin dibandingkan rata-rata negara-negara tetangga.
Rendahnya rasio ini menunjukkan masih tingginya potensi penerimaan pajak yang hilang. Sejalan dengan hal itu, kata Samira, kenaikan PPN jadi 12 persen justru menyalahi asas keadilan dalam perpajakan.
“Orang kaya akan mengeluarkan nominal pajak yang sama dengan orang miskin ketika dihadapkan pada pembelian suatu barang dan jasa kena pajak,” ujar Samira.
Mengingat pajak juga berfungsi sebagai alat redistribusi kekayaan, pemerintah perlu meningkatkan pajak progresif yang menargetkan individu superkaya atau ultra high-net-worth individuals (UHNWI).
Langkah ini sejalan dengan komitmen negara-negara G20 untuk memastikan UHNWI membayar pajak secara adil dan efektif, sebagaimana tertuang dalam G20 Rio de Janeiro Leaders’ Declaration.
Di Indonesia, jumlah UHNWI terus meningkat dan mereka malah mendapatkan banyak keringanan pajak. The Wealth Report 2024 memproyeksikan jumlah UHNWI Indonesia akan tumbuh sebesar 34,1 persen, dari 1.479 individu pada 2023 menjadi 1.984 individu pada 2028.
Tren ini diperkuat oleh struktur pajak yang cenderung mengenakan tarif lebih rendah pada pendapatan modal (seperti capital gain dan deviden)ketimbang penghasilan kerja.
Di Indonesia, pendapatan kerja (income) dikenakan PPh (Pajak Penghasilan) yang bersifat progresif hingga 35 persen. Sementara itu, pendapatan pasif, seperti capital gain dan deviden, hanya dikenakan tarif hingga 25 persen. Padahal, kekayaan individu superkaya umumnya didominasi oleh pendapatan pasif.
Selain itu, mereka juga memanfaatkan strategi penghindaran pajak, seperti menunda realisasi keuntungan modal, tidak membagikan dividen, atau menggunakan perusahaan holding untuk mengalihkan keuntungan.
Peneliti The PRAKARSA lainnya, Farhan Medio, mengatakan bahwa orang superkaya membayar pajak dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang mengandalkan pendapatan aktif.
“Kebijakan kenaikan tarif PPN bersifat regresif, di mana kelompok termiskin harus menanggung dampak yang lebih signifikan dibandingkan kelompok kaya. Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi," ujar Farhan.
Menurut Farhan, pengenalan pajak kekayaan (wealth tax) menjadi langkah penting untuk menyeimbangkan beban pajak. Riset The PRAKARSA mengestimasi adanya potensi tambahan penerimaan negara sebesar Rp78,5 triliun hingga Rp155,3 triliun bila individu dengan kekayaan bersih lebih dari US$10 juta (Rp155 miliar) dikenai pajak kekayaan dengan tarif progresif 1 hingga 4 persen.
Samira mengatakan bahwa pajak kekayaan dapat memastikan prinsip keadilan dalam perpajakan.Pasalnya, ia membuat tingkat pajak efektif orang kaya tidak lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Pajak kekayaan pun dapat mendukung fungsi redistribusi ekonomi.
“Dengan melengkapi langkah ini melalui pengetatan aturan penghindaran pajak dan penegakan hukum yang kuat, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif, adil, dan inklusif,” pungkas Samira.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fadrik Aziz Firdausi