tirto.id - Solidaritas Perempuan Jabotabek melakukan kampanye dengan cara menggelar sebuah kain putih dan mengajak perempuan yang lewat untuk bergabung menuliskan keinginannya kepada calon presiden yang akan terpilih di Pemilihan Umum 2019 nanti.
Kampanye yang mereka gelar berlangsung mulai sekitar pukul delapan pagi. Kampanye tersebut diikuti oleh sejumlah perempuan dari Rawa Badak, Rawa Jati, dan Cilincing. Beberapa perempuan yang lewat pun ikut mengisi keinginan mereka di kain tersebut.
“Kami menginginkan perempuan itu bisa menentukan kepentingannya dan pilihan politiknya sendiri,” ujar Erna Rosalina, Ketua Divisi Perempuan Lawan Perdagangan Bebas dan Investasi, kepada reporter Tirto saat ditemui di car free day (CFD) Jalan Sudirman, Jakarta, pada Minggu (10/3/2019) pagi.
Erna menjelaskan bahwa mereka ingin agar perempuan sadar dan dapat menentukan pilihannya sendiri.
“Selama ini, pilihan politik perempuan masih dipengaruhi oleh keluarga, masih dipengaruhi oleh suami, masih dipengaruhi oleh tokoh-tokoh masyarakat,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, kampanye tersebut, kata Erna bertujuan agar perempuan dapat menyuarakan kepentingannya atas siapa pun yang nantinya akan menjadi presiden.
“Fokus kepada kepentingan perempuan yang memang selama ini tidak dipenuhi haknya oleh pemerintah daerah maupun pusat,” tambahnya.
Beberapa persoalan yang dituliskan oleh masyarakat di kain tersebut antara lain tuntutan untuk penghentian privatisasi air, harga sembako dan perabotan yang murah, serta pemerintahan yang aman dan damai.
Dari Solidaritas Perempuan Jabotabek, mereka juga memiliki sejumlah tuntutan kepada pemerintah terkait permasalahan yang hingga kini masih diabaikan baik oleh Pemerintah Daerah, maupun Pemerintah Pusat.
“Contohnya, di Rawa Badak, masih ada privatisasi air. [Di] Muara Angke, walau pun reklamasi sudah dihentikan, tetapi laut tidak bisa dikembalikan seperti semula, karena biotanya sudah mati,” pungkas Erna.
Dengan sejumlah permasalahan perampasan lahan, privatisasi air, hingga reklamasi yang hadir di kawasan Jabotabek, kata Erna, merugikan pihak perempuan.
“Perempuan yang paling terkena imbasnya,” ujarnya.
Pasalnya, sebagai contoh, di bagian Utara dari Jakarta, banyak di antara pekerja buruh pengupas kerang, serta nelayan atau buruh nelayan, adalah perempuan.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Nur Hidayah Perwitasari