tirto.id - Warnanya putih polos. Di bagian tengah terdapat siluet Semenanjung Korea, Pulau Jeju di barat daya dan Ulleungdo dan Batu Liancourt di sebelah timur. Bendera ini simbol unifikasi dua Korea, Utara dan Selatan, saat berpartisipasi sebagai satu tim dalam sebuah kompetisi olahraga tingkat kawasan atau internasional.
Olimpiade Musim Dingin 2018 yang akan berlangsung tanggal 9-23 Februari mendatang akan berlangsung di Pyeongchang, Korea Selatan. Kota itu hanya berjarak 50 mil selatan Zona Demiliterisasi (Demilitarized Zone/DMZ). Pertengahan Januari 2018 muncul perundingan antar Korut-Korsel di DMZ yang tercatat sebagai yang pertama kali sejak Desember 2015.
Salah satu hasil perundingan yang dinilai penting adalah bergabungnya Korut-Korsel dalam tim hoki perempuan dan keduanya akan menjunjung bendera unifikasi saat pawai pembukaan Olimpiade Musim Dingin 2018. Tensi politik tiba-tiba menurun, sebagaimana perwakilan dari Korsel mempromosikan kompetisi bulan depan sebagai “Olimpiade Perdamaian” dan perwakilan dari Korut mendapat “hadiah manis di tahun baru” yang diharapkan.
Kim Jong-un sempat menyebut Presiden AS Donald Trump "orang gila". Sementara Trump balas mengancam akan menyapu Korut dengan “api dan kemarahan yang dunia tak pernah lihat sebelumnya.” Jika rencana Korut-Korsel dalam olimpiade disetujui badan olimpiade dunia, maka ketegangan tersebut akan mencair. Presiden Korsel Moon Jae-in memang sejak lama mendorong dialog dan rekonsiliasi dengan Korut, dan sikap reaktif Trump justru mengganjalnya.
Rencana-rencana yang muncul setelahnya makin menghangatkan Korut-Korsel. Rabu (17/1/2018), menurut New York Times, dua negara sepakat untuk mengadakan latihan bersama untuk tim ski di Resor ski Masikryong di Korea Utara. Resor tersebut adalah proyek yang dipimpin oleh Kim Jong-un dan dibuka pada tahun 2013.
Pemerintah Korsel mengatakan delegasi Korut yang akan menghadiri Olimpiade Musim Dingin 2018 berjumlah setidaknya 550 orang. Sebanyak 150 di antaranya adalah peserta Paralimpiade Musim Dingin yang akan diselenggarakan di kota yang sama pada bulan Maret. Jumlah ini belum final, akan tetapi pada 1 Februari delegasi Korut direncanakan mulai menyeberangi perbatasan dan memasuki Korsel.
Olimpiade Musim Dingin 2018 akan menjadi batu loncatan di balik ketegangan diplomasi dan konflik bersenjata antar kedua negara sejak 1950-an. Pada bulan Juni 2017 Presiden Moon sudah menggadang-gadang rencana unifikasi tim di Pyeongchang. Saat itu tak ada yang menganggapnya serius, sebelum akhirnya Kim Jong-un menyambut baik melalui pidato tahun baru 2018.
Menariknya, Korut akan turut mendelegasikan sejumlah penggembira sebagai penyemangat tim saat bertanding. Time menyebut jumlah anggotanya mencapai 230 orang. Sementara New York Times menyebutkan 140 penampil asal Korut akan turut memeriahkan rangkaian Olimpiade Musim Dingin tahun ini.
Nama penampilnya adalah Samjiyon Band. Mereka kerap membawakan pertunjukan dengan diiringi musik orkestra dan diklaim sebagai penampil nomor satu di Korut. Delapan puluh orang bertugas membawakan musik, sementara 60 lainnya menyanyi dan menari. Banyak di antara mereka yang dibolehkan untuk mengadopsi gaya hidup modern dengan izin otoritas Korut. Tentunya untuk kepentingan penampilan di panggung.
Jumlah tersebut akan menjadi yang terbesar yang pernah dikirim Korut untuk tampil di Selatan. Pada umumnya mereka membawakan konten seni berisi propaganda. Namun ketika berada di Korsel, mereka akan melunakkan konten dengan cara menghindari pemakaian properti yang sensitif, misalnya tiruan rudal nulir atau lirik-lirik yang terlalu memuja pemimpin besar Korut dan sekaligus merendahkan Korsel.
Apa yang sedang terjadi di Semenanjung Korea kembali memunculkan semangat rekonsiliasi politik dengan medium kompetisi olehraga. Hal yang demikian bukan yang pertama untuk Korut-Korsel. Bendera unifikasi pertama kali berkibar pada tahun 1991 dalam Kejuaraan Tenis Meja ke-41 di Chiba, Jepang, dan Kejuaraan Sepak Bola Muda Dunia ke-8 di Lisbon, Portugal.
Untuk kejuaraan pertama, tim perempuan Korea menjadi sensasi karena berhasil memboyong medali emas dengan mengalahkan perwakilan dari Cina di final. Saking berkesan, kejadian tersebut diangkat ke layar lebar pada tahun 2012 dengan judul “As One”. Ceritanya tentang dua pemain dari dua Korea yang berbeda harus menjadi satu tim, awalnya bermusuhan, dan akhirnya menjalin hubungan sebagai mitra karena punya musuh bersama: tim dari Cina—yang digadang-gadang sebagai yang terkuat.
Untuk kejuaraan kedua, masing-masing negara mengirim sembilan anak muda terbaik untuk bergabung menjadi satu tim sepak bola. Dalam catatan FIFA, pelatihnya dari Korut bernama An Se-Uk dan asisten pelatih berasal dari Korsel bernama Nam Dae-Sik. Alih-alih memakai istilah 'Joson' (Korut) atau 'Hanguk' (Korsel), tim memakai nama sederhana: Korea. Simbol di dada serupa bendera unifikasi: berlatar putih dengan siluet Semenanjung Korea berwarna biru.
Korut-Korsel satu bendera saat mengikuti pawai pembukaan di sejumlah kompetisi bergengsi lain meski saat pertandingan menjadi dua tim yang berbeda. Antara lain di ajang Olimpiade Musim Panas 2000 di Sydney, Australia; Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan; Universiade Musim Panas 2003 di Daegu, Korea Selatan; Olimpiade Musim Panas 2004 di Athena, Yunani; Olimpiade Musim Dingin 2006 di Turin, Italia; dan Asian Games 2006 di Doha, Qatar.
Ide penggunaan kompetisi olahraga sebagai penurun tensi militer dengan Korut sebenarnya sudah dijajaki Korsel sejak 1960-an. Namun “diplomasi olahraga” kerap belum mampu untuk menyelesaikan perseteruan politik antarkedua negara secara permanen. Keduanya sebenarnya masih berstatus perang sejak berakhirnya Perang Korea tahun 1950-1953, dan kondisi damai untuk sementara bisa tercapai melalui gencatan senjata.
Dua Korea sempat berunding apakah Korut akan turut ambil bagian dalam pengelolaan Olimpiade Seoul 1988 usai Korsel memenangkan jatah tuan rumah. Namun negosiasi kolaps saat Korut melancarkan teror bom kepada penumpang pesawat Korean Air Flight pada tahun 1987. 115 orang meninggal. Komitmen Korut dipertanyakan lagi setelah diketahui bahwa motif dari tindakan tersebut adalah untuk mengganggu jalannya olimpiade.
Memasuki tahun 1998, hubungan Korut-Korsel membaik terutama karena Korsel menginisiasi Kebijakan Sinar Matahari untuk menggali potensi rekonsiliasi dan mengurangi ketegangan politik. Sayangnya pergantian rezim Korsel yang berideologikan ultra-konservatif pada 2008 lagi-lagi membuat upaya tersebut menemui jalan buntu.
Berada di bawah satu bendera juga bukan perkara sederhana. Kedua negara harus merundingkan lagi komposisi pemain dalam satu tim agar adil, demikian juga dalam memilih pelatih dan di mana atlet akan berlatih. Korsel senang jika Korut mau satu bendera dan satu tim. Namun penggabungan juga kerap berujung pada protes atlet Korsel yang merasa mengorbankan latihan serta terbebani karena kualitas atlet Korut kadang tak sebanding, sehingga performa tim tak maksimal.
Dalam laporan Washington Post disebutkan kritik tetap muncul jelang Olimpiade Musim Dingin 2018. Korut dinilai tak bisa dipercaya sepenuhnya punya motivasi baik. Kecurigaan-kecurigaan tetap mengemuka, termasuk di kalangan masyarakat sipil Korsel. Meski ada kemungkinan ketegangan kedua negara akan mencuat kembali usai olimpiade, akan tetapi setidaknya hingga beberapa bulan ke depan ancaman perang nuklir di kawasan bisa sedikit mereda.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf