tirto.id - Pada 22 Maret 2017 Korea Utara melakukan uji coba nuklir di pantai timur negara tersebut. Korea Selatan menyebut uji coba itu mengalami kegagalan. Demikian pula Amerika Serikat yang mendeteksi peluncuran rudal Korea Utara dan menyebut ada kegagalan karena rudal meledak dalam hitungan detik setelah peluncuran.
"Militer kami menilai bahwa rudal balistik yang kemarin diluncurkan Korea Utara adalah varian Scud rudal, dan kami siaga menghadapi kemungkinan peluncuran rudal tambahan dan provokasi dari Korea Utara," kata kepala urusan publik South Korea’s Joint Chief of Staff (JCS), Roh Jau-cheon, seperti dikutip nknews.org.
Sebelum melakukan uji coba rudal, Korea Utara terlebih dahulu melakukan uji coba mesin yang menjadi peristiwa sejarah lahirnya industri roket nasional. Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un juga memuji “kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dibuat oleh industri pertahanan negara.”
Uji coba mesin tersebut bertepatan dengan tur Asia dari Menteri Luar Negeri AS, Rex Tiller yang meliputi Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Bahkan ancaman nuklir Korea Utara menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam kunjungan tersebut.
Pada Februari 2017, Korea Selatan juga melaporkan jika Korea Utara telah melepaskan rudal balistik. Berbagai uji rudal serta nuklir Korea Utara serta pernyataan agresif menyebabkan kecemasan dan kemarahan bagi negara kawasan.
Pemerintah Korea Selatan kemudian melakukan pertemuan keamanan nasional untuk membahas peluncuran rudal Korea Utara. Bahkan panglima militer Korea Selatan menyebutkan peluncuran tersebut sebagai bentuk dari “unjuk kekuatan.”
Riwayat Perseteruan Korut dan Korsel
Hubungan yang dingin antara Korea Utara dan Korea Selatan sudah berlangsung lama. Setelah perang dunia II, Korea dibagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan yang dikenal dengan Paralel 38. Rusia mengambil kendali atas Korea Utara dan Amerika Serikat mengambil kendali atas Korea Selatan.
Ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan dimulai dengan adanya perang Korea atau The Forgotten War yang terjadi pada 25 Juni 1950. Atas izin Rusia, militer Korea Utara menyeberangi perbatasan dan melakukan invasi atas Korea Selatan. Saat itu, Korea Selatan belum memiliki kekuatan militer untuk melawan Korea Utara.
Perang Korea Berlangsung selama tiga tahun. Pada 27 Juli 1953, tepat hari ini 67 tahun lalu, Korea Utara dan Korea Selatan sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Kedua belah pihak juga menyepakati zona netral yang disebut Zona Demiliterisasi untuk memisahkan kedua negara.
Setelah kematian Kim Il-Sung pada tahun 1994 dan mengawali rezim Kim Jong Il, situasi antara Korea Utara dan Selatan mulai hangat. Pelunakan hubungan Korea Utara dan Korea Selatan juga terlihat dari pertemuan tingkat tinggi antara kedua negara pada Juni tahun 2000.
Pertemuan tingkat tinggi tersebut adalah yang pertama kalinya dilakukan oleh kedua negara. Termasuk pertama kalinya kunjungan presiden Korea Selatan Kim Dae-jung ke Korea Utara. Selain itu, Korea Utara juga membangun kembali hubungan diplomatik dengan beberapa negara barat dan berjanji untuk melakukan moratorium pengujian rudal.
Menurut Yongho Kim dalam tulisannya “Inconsistency or Flexibility? The Kim Young Sam Government’s North Korea Policy and Its Domestic Variants”, Korea Utara dan Korea Selatan melakukan pembaruan dalam kerja sama yang tertuang dalam “Sunshine Policy.”
Ada beberapa poin yang disepakati misalnya dalam bidang ekonomi. Pemerintah Korea Utara mendorong pebisnis asal Korea Selatan untuk berinvestasi guna meningkatkan interaksi ekonomi kedua negara.
Poin lainnya dalam Sunshine Policy adalah soal bantuan kemanusiaan. Korea Selatan bersedia menyalurkan makanan dan bantuan lainnya bagi Korea Utara baik melalui organisasi internasional atau pun disalurkan langsung ke Korea Utara.
Misalnya Seoul memberikan pupuk, benih dan pestisida bagi Pyongyang untuk meningkatkan produksi pertanian. Seoul juga menyediakan obat-obatan untuk melawan berbagai penyakit termasuk karena kekurangan gizi.
Namun hubungan baik kedua negara kembali memburuk setelah presiden Korea Selatan yang baru Lee Myung-bak berjanji akan mengambil langkah tegas terhadap Korea Utara terkait uji coba rudal dan nuklir pada 2008.
Menurut Encyclopadia Britannica, hubungan kedua negara semakin memanas saat Korea Utara mengumumkan untuk meniadakan semua perjanjian dengan Korea Selatan termasuk kerja sama bisnia join-venture Kaesong Industrial Complex.
Selain itu, sebuah kapal perang Korea Selatan yakni Cheonan meledak dan tenggelam di perairan Laut Kuning dekat perbatasan maritim dengan Korea Utara. Menurut tim peneliti internasional, ledakan itu terjadi karena torpedo yang ditembak dari kapal selam Korea Utara. Hal ini juga yang membuat Korea Selatan mengakhiri semua hubungan perdagangan dengan tetangganya tersebut.
Kematian presiden Korea Utara Kim Jong Il pada 2011 yang kemudian digantikan oleh Kim Jong-un semakin membuat jarak yang lebar antara kedua negara. Kim Jon-un secara tegas melakukan ancaman verbal untuk melakukan serangan rudal terhadap Seoul termasuk Amerika Serikat yang menjadi sekutu Korea Selatan.
Kim Jong-un juga semakin gencar melakukan uji coba rudal. Meski sudah diberlakukan sanksi oleh PBB, tetapi Korea Utara tak menghiraukannya. Tahun 2017, Korea Utara beberapa kali melakukan uji coba rudal. Bahkan Korea Utara mengklaim jika peluncuran tahun itu memiliki jangkauan yang lebih jauh. Selain itu, tuduhan Korea Selatan bahwa Korea Utara terlibat dalam pembunuhan Kim Jong-nam juga menambah ketegangan kedua negara.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Maret 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh