Menuju konten utama

Jejak Darah di Polsek Cimanggis: Kenapa Polisi Bertindak Bak Koboi?

Seorang polisi ditembak mati polisi lain. Pelaku tak terima korban mau memproses hukum keponakannya yang merupakan pelaku tawuran.

Jejak Darah di Polsek Cimanggis: Kenapa Polisi Bertindak Bak Koboi?
Personel kepolisian membawa jenazah Bripka Rahmat Effendy untuk dimakamkan di Rumah Duka Tapos, Depok, Jawa Barat, Jumat (26/7/2019). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wpa/pras.

tirto.id - Seorang polisi bernama Bripka Rachmat Effendi (41) tewas, Kamis malam (25/7/2019), sekitar pukul 20.50. Ada tujuh peluru yang mengenai tubuhnya. Di paha, bokong, perut, dada, dan dagu. Dia pun meninggal seketika.

Hasil autopsi menyimpulkan dua dari tujuh peluru bersarang di dalam tubuh korban yang merupakan anggota Subdit Registrasi dan Identifikasi (Regident) Ditlantas Polda Metro Jaya. Dua peluru itu mengenai tulang sehingga tak tembus.

Simpulan Kepala Instalasi Forensik RS Polri, Kombes Edy Purnomo: korban ditembak dari jarak dekat.

Setelah diautopsi, Rachmat dibawa ke rumahnya di wilayah Tapos, Depok, Jawa Barat. Jenazah tiba di rumah duka pukul setengah enam pagi. Rumah duka ramai oleh keluarga dan rekan sesama anggota. Karangan buka berjajar di depan rumah mendiang.

Jenazah sudah dimakamkan sehabis salat Jumat dengan upacara pelepasan khas polisi.

Rachmat Effendi meninggal saat tengah bertugas. Tapi bukan ketika berhadapan dengan jambret, begal, rampok, teroris, atau sejenisnya. Dia meninggal di tangan sejawatnya sesama polisi.

Meninggal di Tangan Polisi

Semua berawal ketika Rachmat menangkap pelaku tawuran berinisial FZ. FZ dibawa ke Polsek Cimanggis, Depok, dan sampai pukul 20.30 untuk diperiksa di ruang SPK polsek. Sebuah celurit turut disita sebagai barang bukti.

Tidak lama kemudian, kira-kira pukul 20.35, Brigadir Rangga Tianto (32), anggota Korps Polisi Air dan Udara (Polairud) yang tengah tidak bertugas (tak pakai seragam), mendatangi ruangan bersama Zulkarnaen, orangtua Fahrul. Rangga adalah paman Fahrul.

Rangga lantas meminta pelaku tawuran--yang masih di bawah umur--tidak diproses hukum dan dibina saja oleh orangtuanya.

"Proses sedang berjalan dan saya sebagai pelapornya," kata Rachmat dengan nada tinggi, sebagaimana dituturkan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.

Dia bersikeras proses hukum tetap berjalan karena ada barang bukti.

Jawaban ini ternyata membuat Rangga naik pitam. Dia sempat ke luar ruangan, diduga mempersiapkan senjata api, masuk lagi, dan dengan gelap mata menembak Rachmat dengan pistol HS9.

"Senjata api dia. Punya pelaku," kata Kakorpolairud Baharkam Polri Irjen Zulkarnain.

Setelah itu Rangga langsung ditangkap (bukan menyerahkan diri) dan dibawa tim provos ke Polda Metro Jaya. Pelaku bisa cepat ditangkap karena masih banyak polisi yang bertugas.

Zulkarnain memastikan Rangga akan dikenakan hukuman berlapis. Dia melanggar disiplin, etika, juga pidana umum. Sanksi terberatnya, kata Zulkarnain, "bisa seumur hidup atau bahkan hukuman mati."

Selain itu dia dipastikan akan dipecat secara tidak hormat.

Meski jadi lokasi pembunuhan, SPK Polsek Cimanggis tetap dibuka. Warga masih bisa dilayani polisi untuk keperluan pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan perizinan lain. Meski begitu situasi di dalam polsek tampak dingin. Tak ada polisi bertugas yang bersedia memberi keterangan.

Koboi

Rangga bisa jadi akan mendapat hukum setimpal. Tapi itu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Faktanya kasus polisi menembak tidak sesuai prosedur tidak terjadi kali ini saja.

Padahal dalam kasus ini, sebagaimana dituturkan Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra, pelaku sudah "dinyatakan layak" memegang senjata organik. "Mereka melakukan berbagai prosedur, termasuk psikotes," katanya. Catatan keseharian polisi calon pemegang senjata api juga ditelusuri. "Kalau hasilnya (psikotes) lulus tapi banyak catatan itu juga tidak diizinkan," sambung Asep.

Bambang Rukminto, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) bidang Kepolisian, mengatakan kasus ini jadi bukti bahwa tes-tes bagi calon pemegang senjata tidak cukup dan kurang ketat. Ini yang membuat beberapa polisi bak koboi untuk menyelesaikan masalah.

"Persoalan psikis itu alasan klasik yang memang harus dituntaskan. Seleksi, psikotes tiap bulan, memang harus terus dilaksanakan dan diperketat," kata Bambang kepada reporter Tirto.

Hal lain yang tak kalah penting adalah mencegah itu terjadi. Kasus ini jadi ironi, kata Bambang, karena terjadi di tempat yang semestinya sangat aman, kantor polisi.

"Hal-hal kecil seperti ruang penerimaan tamu, pengisian buku tamu, itu harus dilakukan meski untuk sesama anggota kepolisian tetapi dari luar kantor tersebut. Ini yg seringkali diabaikan," katanya, "Tak menutup kemungkinan, meski sesama anggota kepolisian, ketika memasuki kesatuan lain, provost bisa saja mewajibkan anggota yang menjadi tamu melepas senpinya," tambahnya.

Bambang juga menyinggung soal Rachmat yang ikut campur dalam urusan ini.

"Apa urgensi dia melindungi seseorang yang diduga pelaku pengganggu Kamtibnas? Ini juga yang harus disadarkan. Fenomena bawa-bawa nama anggota, bawa-bawa nama jenderal, dan bawa-bawa anggota sebagai backing itu harus dibuang. Arogansi seperti itu tidak bisa dibiarkan," pungkas Bambang.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar