tirto.id - Sejak diterapkan di Jawa pada 1830, cultuurstelsel (Tanam Paksa) membuat runyam para elite Batavia. Sistem eksploitasi hasil bumi ciptaan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch ini tidak hanya mengubah banyak aspek kehidupan petani hingga bangsawan, tetapi juga menimbulkan perpecahan di kalangan orang Belanda.
Kecaman terhadap Tanam Paksa bergeser menyerang van den Bosch sebagai pribadi. Ia dicemooh lawan-lawan politiknya, bahkan dituntut mundur. Untuk meringankan beban itu, Raja William I menurunkan van den Bosch dari jabatannya dan menunjuk Jean Chrétien Baud, seorang pejabat yang sama-sama konservatif, sebagai penggantinya.
Baud diharapkan dapat melanjutkan Tanam Paksa sekaligus meringankan tekanan dari para penentang sistem itu. Sayang, karier Baud tidak begitu bersinar. Masa jabatannya sebagai gubernur jenderal dari 1833 hingga 1836 tidak banyak menghasilkan terobosan baru. Tapi, bagaimanapun juga, beberapa kebijakannya turut membentuk fondasi bagi negara modern Hindia Belanda.
Pada 27 Juni 1859, tepat hari ini 161 tahun silam, J.C. Baud meninggal dunia di kota kelahirannya, Den Haag. Sisa hidupnya di negara induk ternyata jauh lebih berliku dibandingkan periode pemerintahannya di Hindia Belanda. Dari balik layar, Baud masih tekun mempertahankan kebijakan konservatifnya untuk mendukung Tanam Paksa yang sejak lama berusaha direformasi kelompok liberal.
Tindakan yang paling berpengaruh ialah saat ia mendirikan akademi pegawai kolonial dan lembaga ilmiah KITLV. Keduanya kemudian menjadi alat penting bagi pemerintah kolonial dalam mengatur tatanan sosial di Hindia Belanda selama hampir satu abad. Kalimat Baud yang paling terkenal dalam menggambarkan betapa bergantungnya Belanda kepada negeri jajahannya itu tentu saja "Hindia adalah gabus yang di atasnya Belanda mengapung."
Orientalis Sejati
J.C. Baud lahir pada 23 Oktober 1789, tiga bulan setelah penjara Bastille diserbu dan kobar api Revolusi Perancis sedang panas-panasnya. Ayahnya adalah pegawai kantor pemerintahan berkebangsaan Swiss, sementara ibunya adalah orang Belanda. Sejak remaja Baud digembleng dalam Angkatan Laut Kerajaan Belanda hingga ditugaskan di kapal pengawal Perancis.
Pada 1810 Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens berlayar ke Hindia Belanda untuk menggantikan Herman Willem Daendels. Terkesan pada bakat Baud muda, Janssens mengangkatnya menjadi sekretaris pribadi dan membawanya ke Jawa. Itu adalah kali pertama Baud menginjakan kaki di Hindia Belanda.
Di Jawa, Baud meniti karier sebagai pegawai sipil di kantor pemerintah. Kariernya menanjak dengan sangat cepat berkat pernikahannya dengan putri dari keluarga pejabat kolonial. Ketika kembali lagi ke tanah airnya, Baud sudah berubah menjadi sosok terhormat yang disegani. Dia kemudian diangkat menjadi direktur yang mengurusi aset dan kekayaan pemerintah Belanda di Nusantara.
Maarten Kuitenbrouwer dalam Dutch Scholarship in the Age of Empire and Beyond (2013: 15) menyebut Baud muda banyak dipengaruhi filosofi Renaisans serta kepercayaan terhadap idealisme politik Revolusi Perancis. Kegagalan pemerintah liberal Belanda dalam meningkatkan tanaman ekspor mendorong Baud ikut campur dalam komite perumus Tanam Paksa. Melaluinya, Baud semakin yakin liberalisme tidak akan berjalan baik di lingkungan masyarakat agraris Hindia Belanda.
Keyakinannya itu membuat Baud menjalin hubungan baik dengan Johannes van den Bosch dan dipercaya menjadi penerusnya. Bagi negarawan konservatif macam van den Bosch, Baud dinilai sebagai orang yang paling cocok meneruskan kebijakan eksploitasi hasil bumi tanpa merusak harmoni di tanah jajahan pasca-Perang Jawa (1825-1830).
Di bawah pemerintahannya, Baud menganjurkan agar Kerajaan Belanda melalui Nederlandsche Handel-Maatschappij memonopoli distribusi dan penjualan hasil Tanam Paksa. Baud juga menginginkan status bangsawan Jawa dikembalikan seperti sediakala, begitu pula dengan penghargaan terhadap adat dan agama para petani.
J.C. Baud adalah pejabat kolonial yang merancang kebijakannya dari sudut pandang orientalisme. Kuitenbrouwer mengutip sejarawan Cees Fasseur yang menulis bahwa bagaimanapun juga Baud tidak akan pernah mengakui kebesaran kebudayaan Jawa yang dia nilai lebih rendah dibandingkan budaya Eropa. Segala kebijakan yang dia ambil diupayakan demi menjaga keamanan politik Hindia Belanda.
“Dia membangkitkan kembali kekuasaan bangsawan Jawa dan menghormati agama dan adat kaum petani semata-mata untuk mendukung kebijakan ‘pemerintahan tanpa gangguan’ di bawah sistem Tanam Paksa demi menghindari Perang Jawa lanjutan yang amat mahal,” papar Kuitenbrouwer.
Tapi Baud pada dasarnya juga bukan "orientalis tanpa hati nurani". Ketika Jawa ditimpa gagal panen dan kelaparan pada 1840-an, dia turut mendistribusikan beras dan berusaha mengurangi beban kerja petani. Baud juga dikenal menaruh perhatian kepada beberapa orang Jawa berpendidikan, salah satunya adalah pelukis Raden Saleh.
Sebelum diangkat menjadi gubernur jenderal, Baud pernah diminta menjadi pengawas bagi Raden Saleh yang tiba di Belanda pada 1829. Keberadaan orang Jawa di sana pada saat itu memang masih merupakan suatu hal langka dan barangkali dianggap bisa mengundang kecurigaan. Alih-alih memperlakukannya seperti pesakitan, Baud malah mempersilakan Raden Saleh berguru di sanggar milik pelukis Cornelis Kruseman.
Warner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya (2018: 16) menyebut hubungan Baud dan Raden Saleh ibarat mentor dan murid. Baud bahkan pernah meminta sang pelukis melukis dirinya bersama istri dan sepuluh anaknya. Lukisan tersebut kemudian dia bawa serta ketika berdinas ke Hindia Belanda pada 1832.
Delft Academy dan KITLV
Tanam Paksa mendesak para penguasa Belanda memahami perikemanusiaan rakyat jajahan lebih dalam lagi. Sejak 1820, pemerintah kolonial sudah membentuk sebuah jawatan yang khusus menangani jurang bahasa di kalangan pejabat kolonial dengan kaum pribumi. Tapi upaya ini dinilai belum cukup menghasilkan amtenar berkualitas.
Baud yang orientalis tulen rupanya punya pemikiran lain. Menurut Baud, pegawai yang andal tidak boleh dididik di negara koloni. Mereka harus memiliki latar belakang kehidupan Belanda sejati yang dikombinasikan dengan penguasaan terhadap bahasa dan budaya masyarakat lokal. Usulan ini melahirkan rencana pembangunan Koninklijke Akademie (Akademi Kerajaan) di kota Delft pada 1842.
Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia: Akar-akar kebangsaan Indonesia (1995: 125) mencatat bahwa akademi Delft berfungsi sebagai tempat pelatihan utama pegawai kolonial yang akan dikirim bekerja ke Hindia Belanda. Selama empat tahun, para calon pegawai diberi pelajaran bahasa Melayu, bahasa-bahasa daerah, ilmu pasti, teknik sipil, dan pembukuan. Pelajaran pokok lainnya meliputi kajian antropologi timur.
Sistem pendidikan buatan Baud ini cukup mujarab meningkatkan jumlah pegawai terdidik, tetapi menimbulkan permasalahan sosial baru. Robert Nieuwenhuys dalam Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982: 61) menjelaskan bahwa pembangunan Akademi Kerajaan di Delft justru menciptakan diskriminasi terkait pengangkatan pegawai pemerintah kolonial.
Sistem pendidikan ciptaan Baud, menurut Nieuwenhuys, dijalankan dengan amat kaku. Akibatnya, orang-orang Eurasia (orang Eropa hasil perkawinan campur dengan orang Indonesia)—yang umumnya tidak mampu bersekolah di Belanda—tidak memiliki kesempatan karier yang sama dengan Belanda totok.
“[…] Persyaratan ini sama saja dengan menghukum mereka agar tetap selamanya terkunci dalam kemelaratan relatif dan gangguan mobilitas sosial. Baud dengan sengaja menyingkirkan kelompok ini, orang-orang yang dia sebut sebagai ‘anak haram Eropa’,” papar Nieuwenhuys.
Strategi politik pendidikan ala Baud tidak berhenti sampai di situ. Bersamaan dengan peresmian akademi Delft, Baud juga merencakan pembangunan sebuah lembaga ilmiah untuk mendukung pendidikan calon pegawai. Lembaga yang diberi nama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) ini secara khusus menangani pengumpulan data dari wilayah koloni Kerajaan Belanda di Asia Tenggara dan Kepulauan Karibia.
KITLV dibentuk atas dasar kegemaran Baud terhadap penelitian budaya dan sejarah, khususnya perdagangan opium di Jawa abad ke-17 dan 18. Di sisi lain, lembaga ini merupakan instrumen terkuat yang diciptakan Baud untuk memastikan kelangsungan imperialisme Belanda.
Reformasi pemerintahan yang berlangsung di Belanda pada 1848 membuat pembangunan KITLV terhalang. Kelompok liberal yang baru saja memenangkan pemilu berencana mereformasi sistem kolonialisme di tanah jajahan. Baud dengan susah payah meyakinkan Johan Rudolph Thorbecke, salah satu pucuk pimpinan kelompok liberal, bahwa studi kolonial ala KITLV adalah satu-satunya cara agar Belanda dapat memegang kendali atas Hindia Belanda dalam waktu lama.
“Di Jawa, segala macam perlawanan akan sangat berbahaya bagi Belanda. Apapun yang ada di tanah itu memiliki beragam rupa. Kita tidak memiliki kemiripan dengan orang-orang di Jawa. Kita adalah penindas dan mereka yang ditindas. Perbedaan itu dapat dipastikan akan menanam benih perpecahan atau pemisahan,” kata Baud kepada Thorbecke, seperti dikutip Kuitenbrouwer (hlm. 13).
Matthew P. Fitzpatrick dalam Liberal Imperialism in Europe (2012) menyebut studi ilmiah di KITLV kala itu sangat percaya akan keunggulan budaya Barat. Sejak 1862, lembaga ini secara penuh digerakkan oleh para birokrat dengan menarik politikus, menteri urusan tanah jajahan, dan para mantan gubernur jenderal sebagai anggota. Pemberian beasiswa di negara-negara koloni pun sifatnya sangat politis.
Menurut Fitzpatrick, kondisi ini perlahan-lahan berubah ketika seorang sarjana bernama Snouck Hurgronje diangkat menjadi penasihat urusan tanah jajahan pada 1898. Ia menganjurkan agar pemerintah kolonial memberikan beasiswa murni untuk mendukung Politik Etis yang dimulai sejak 1901.
Editor: Ivan Aulia Ahsan