Menuju konten utama

Jasa Mesin Tik untuk Emansipasi Perempuan

Permintaan juru tik terampil yang meningkat di akhir abad ke-19, membuka peluang bagi pekerja perempuan. Memulai sebuah feminisasi angkatan kerja di AS.

Jasa Mesin Tik untuk Emansipasi Perempuan
Ilustrasi Mesin Tik dan Pekerja Perempuan. iStockphoto/GettyImages

tirto.id - Jika Anda seorang Sherlockian, maka Anda sudah tentu tahu tentang cerpen bertajuk A Case of Identity. Cerpen yang pertama kali terbit di majalah Strand edisi September 1891 itu barangkali bukan kisah Holmes yang sensasional, tapi beberapa detailnya sungguh menarik. Terutama yang berkaitan dengan mesin tik.

Kala itu Sherlock sedang membongkar kebohongan Mr. Windibank yang menipu anak tirinya sendiri untuk mendapat uangnya. Ia menyamar sebagai Mr. Hosmer Angel dan memacari Miss Mary Sutherland, si anak tiri. Nah, singkat kisah, Holmes berhasil mengungkap penyamaran itu berkat surat yang diketik dengan mesin tik di kantor tempat Mr. Windibank bekerja.

“Setiap mesin tik itu unik, masing masing mempunyai ciri tersendiri sama halnya dengan tulisan tangan manusia. Tak ada dua mesin tik yang hasil tulisannya persis sama, kecuali kalau mesin-mesin itu betul-betul baru. Misalnya, ada yang beberapa hurufnya tak sejelas huruf lainnya, dan ada beberapa huruf yang hanya jelas sebagian,” kata Holmes.

Dari kasus itu pun Holmes dapat ide untuk membuat risalah tentang hubungan mesin tik dan tindakan kriminal. Ketika Sir Arthur Conan Doyle menerbitkan cerpen itu, mesin tik baru beredar secara komersil selama 18 tahun. Entah sudah terpikirkan oleh polisi atau belum, tetap saja itu ide ciamik.

Akan tetapi, ada lagi satu fakta kecil yang mengungkap bahwa mesin tik bukanlah alat kantor biasa: Miss Sutherland dapat mandiri secara ekonomi—dan uangnya jadi incaran Mr. Windibank—berkat profesi juru tik yang ia jalani.

Kisah Holmes tentulah fiksi belaka. Tapi kisah perempuan yang mandiri berkat adanya mesin tik bukan isapan jempol. Miss Sutherland adalah gambaran tepat tentang hal itu. Bisa jadi, ia adalah salah satu dari pekerja-pekerja perempuan terawal yang berhasil masuk ke bidang kerja yang sebelumnya amat didominasi oleh laki-laki.

Peluang Perempuan

Mesin tik berpapan ketik QWERTY dirancang oleh Christopher Latham Sholes dengan bantuan Carlos Glidden dan Samuel W. Soule. Sholes mulai mengutak-atik modelnya pada 1867 dan kemudian memperoleh paten pada 1868.

Selama beberapa tahun kemudian Sholes terus memperbaiki modelnya. Hingga E. Remington and Sons, pabrik senjata dari Ilion, New York, membeli hak produksi mesin tik Sholes seharga $ 12.000. Seturut Ensiclopedia Britannica, mesin tik mulai diproduksi massal pada 1873. Hasilnya, Remington Model 1 mulai masuk pasar setahun kemudian.

Pada 1878 mesin tik model pertama yang hanya memiliki huruf kapital itu disempurnakan. Muncullah Remington Model 2 dengan mekanisme shift-key yang memungkinkan pengetikan huruf kapital dan kecil bergantian. Mark Twain membeli Remington dan menjadi penulis pertama yang mengirimkan naskah buku terketik.

Meski tak langsung laris, perlahan mesin tik mulai mengisi ruang-ruang kantor bisnis di Amerika Serikat. Berkembangnya industri menciptakan banyak pekerjaan terkait dokumentasi dan pembukuan. Mengelola data semacam itu sangat penting tapi memakan waktu.

Mesin tik hadir untuk memenuhi kebutuhan akan kecepatan dalam bidang itu. Tapi, tanpa pernah dinyana sebelumnya, mesin tik ternyata juga memicu beberapa perkembangan lain.

Selepas Perang Sipil (1861-1865), banyak perempuan AS yang kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga gara-gara ditinggal suami, ayah, atau saudaranya. Jumlah mereka juga cukup besar dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Mesin tik adalah salah satu alat yang mempercepat bisnis. Tetapi ia juga punya dampak signifikan pada masyarakat, khususnya untuk perempuan. Permintaan juru ketik menciptakan ruang bagi perempuan untuk bergabung dengan angkatan kerja,” terang antropolog teknologi Genevieve Bell dalam sebuah laporan visual "Why the Typewriter was a Feminist Liberation Machine" yang diterbitkan ABC, Oktober 2017.

Meski bukan faktor tunggal, tak bisa dipungkiri bahwa mesin tik ikut mengubah komposisi angkatan kerja. Mesin tik membutuhkan operator yang tekun dan teliti. Saat itu orang beranggapan hanya perempuanlah yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Meningkatnya permintaan akan juru tik profesional diiringi dengan berdirinya beberapa kursus mengetik. Mulanya oleh agen-agen resmi produsen mesin tik seperti Remington. Lalu pada 1881 Young Women’s Christian Association (YWCA) cabang New York merintis sebuah balai kursus mengetik untuk perempuan.

Genevieve Bell menyebut bahwa YWCA mulanya membeli enam mesin tik untuk kebutuhan kursus. Kelas mengetik pertama yang dibuka YWCA diikuti oleh delapan perempuan. Rintisan YWCA itu kemudian diikuti lembaga-lembaga lain di seantero AS.

Robert A. Waller dalam “Women and the Typewriter During the First Fifty Years, 1873-1923” yang terbit di jurnal Studies in Popular Culture (1986) menyebut bahwa sejak itu beberapa perguruan tinggi juga menambahkan keterampilan mengetik ke dalam kurikulumnya. Hal yang sama juga dilakukan sekolah-sekolah tingkat menengah di AS. Perempuan dengan keterampilan mengetik cepat segera menjadi umum di AS. Apalagi sejak berkembangnya metode “sepuluh jari” dan kontes mengetik cepat pada dekade 1880-an.

“Seorang wartawan olahraga yang antusias mendapati bahwa kontes mengetik maraton selama sejam itu sama menariknya dengan balapan Vanderbilt Cup dengan bau bensin yang tergantikan oleh wangi parfum,” tulis Waller.

Bukti sahih meningkatnya komposisi perempuan di ruang-ruang kantor sejak mula era mesin tik adalah statistik, sebagaimana dicatat Donald Hoke dalam makalah "The Woman and the Typewriter: A Case Study in Technological Innovation and Social Change".

Pada 1870, ketika mesin tik masih berupa purwarupa, tercatat hanya ada tujuh stenografer perempuan di kantor-kantor bisnis di AS. Pada saat bersamaan, ada 147 stenografer pria. Satu dasawarsa kemudian, ketika penggunaan mesin tik meluas, setidaknya ada 2.000 karyawan perempuan dari total 5.000 karyawan di seluruh kantor di AS. Mayoritas perempuan pekerja itu bertugas di bagian administrasi yang memang selalu bersentuhan dengan mesin tik.

“Pada 1889, 63,8 persen dari 33.418 pekerja administrasi yang diklasifikasikan sebagai ‘stenografer dan juru ketik’ adalah perempuan, dan seorang pengamat pada saat itu mencatat bahwa 9 dari 10 pekerjaan administrasi dilakukan oleh perempuan,” catat Hoke.

Secara kasar jumlah pekerja perempuan di kantor bisnis dan pemerintahan pun selalu meningkat. Pada 1900 jumlahnya telah mencapai 200.000 dan lalu pada 1930 meningkat lagi hingga dua juta pekerja. Hoke mengistilahkannya sebagai “feminisasi tenaga kerja kantoran”.

Infografik Mesin Tik dan Feminisme

Infografik Mesin Tik & Feminisme

Jalan Kemandirian

Miss Mary Sutherland dalam kisah Sherlock Holmes adalah salah satu contoh bagaimana mesin tik menjadikan seorang perempuan mandiri. Dikisahkan bahwa kebutuhan total Miss Sutherland selama setahun sekira 60-an poundsterling dan ia juga punya warisan.

“Mr. Holmes, Anda harus tahu bahwa selama saya masih tinggal di rumah, saya tak mau menjadi beban. Jadi merekalah yang memakai uang [warisan] itu selama saya tinggal bersama mereka,” kata Miss Sutherland.

Meski haknya dicaplok sang ayah tiri, ternyata Miss Sutherland masih bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Mesin tik adalah senjata Miss Sutherland untuk meraih kemandirian finansial, alih-alih bergantung pada ayah tiri yang serakah.

Lain itu, mesin tik—meskipun tentu saja bukan satu-satunya faktor utama—juga jadi alat memperjuangkan kesetaraan kesempatan kerja.

Sampai pertengahan abad ke-19, perempuan urban di AS dan Eropa masih identik dengan pekerjaan-pekerjaan domestik seperti pelayan di rumah orang kaya. Di luar itu, kesempatan kerja yang tersedia adalah buruh di pabrik. Mereka juga masih menanggung stigma bahwa pekerjaan kelas rendah berkorelasi dengan moral yang rendah.

Mesin tik dan kemampuan mengetik cepat memberi daya kepada perempuan untuk menerobos kungkungan itu. Kesempatan kerja mereka jadi lebih luas karena kini perempuan bisa masuk ke dalam kantor yang sekian lama didominasi laki-laki.

Seturut catatan Hoke, pada akhir abad ke-19 di kota-kota Amerika utara, pembantu rumah tangga hanya digaji $2,00 hingga $5,00 seminggu. Sementara itu, rentang gaji buruh pabrik perempuan adalah $1,50 hingga $8,00 per minggu. Berbekal kemampuan mengetik, seorang juru tik perempuan bisa memperoleh gaji mulai dari $6,00 hingga $15,00 per minggu.

Sebagaimana Miss Sutherland, kini perempuan yang mandiri secara finansial bukan lagi hal langka. Dengan pekerjaan yang lebih terhormat, para pekerja perempuan juga mulai lepas dari stigma. “Bagi perempuan, pekerjaan mengetik jelas merupakan langkah maju dalam tangga ekonomi dan sosial,” kata Hoke.

Namun, masuknya perempuan ke “benteng patriarki” barulah satu langkah menuju kesetaraan. Meski upahnya jadi lebih tinggi, namun jumlah itu masih lebih rendah setengah hingga dua-pertiga kali dari gaji pekerja pria. Perempuan juga masih ditabukan naik ke jenjang manajerial.

Perjuangan belum berakhir.

Baca juga artikel terkait FEMINISME atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf