tirto.id - Lebih dari tiga tahun lampau, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan Jakarta, Patrialis Akbar pernah melontarkan harapannya. Ia meminta masyarakat agar tak kehilangan kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, MK harus tetap menjadi tempat mencari dan menuntut keadilan.
“Jangan jadikan kejadian ini untuk hancurkan MK. Kejadian ini tidak tertutup kemungkinan terjadi di manapun,” kata Patrialis, Kamis 3 Oktober 2013, seperti diwartakan Tempo.
Sebagai salah satu hakim konstitusi, dia merasa punya kewajiban menyelamatkan citra institusinya yang tengah merosot. Sehari sebelumnya, Ketua MK Akil Mochtar baru saja diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan di kediamannya di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan.
Patrialis bilang para hakim MK—tentu saja termasuk dirinya—akan berjanji menjaga integritas diri. Ia berkomitmen menjunjung reputasi MK yang dicap sebagai perwakilan Tuhan. “Ini pembelajaran yang sangat berharga baik untuk MK, hakim konstitusi, pegawai MK, dan pihak-pihak yang berperkara di MK,” kata Patrialis menegaskan janjinya.
Namun, 3 tahun kemudian, giliran Patrialis yang justru diciduk KPK. Ia diduga menerima suap berkaitan dengan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kontroversi Karier Hakim Patrialis
Jauh sebelum menjabat sebagai hakim MK, dia lebih dulu berjibaku dengan kerasnya kehidupan ibukota. Lahir 31 Oktober 1958 di Padang Sumatera Barat, Patrialis muda memutuskan pergi merantau ke Jakarta. Berbekal ijazah STM dan surat keterangan sebagai anak seorang veteran, Patrialis mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Cita-citanya ingin menjadi pengacara.
Alih-alih mendapat kemudahan, seorang pegawai tata usaha UI malah membuang surat keterangan anak veteran yang dibawa Patrialis ke tempat sampah. Peristiwa itu begitu membekas dalam ingatannya.
“Saat itu, sebagai seorang pemuda, saya merasa heran dan merasa sedih. Hal itu terjadi pada tahun 1977. Saya anak dari kampung dan baru datang ke Jakarta, lalu mendapat perlakuan seperti itu,” kata Patrialis seperti dilansir situs resmi MK.
Namun, Patrialis tak patah asa. Atas saran dari sang kakak Patrialis mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di kampus ini, ia tak hanya menjadi mahasiswa, tapi kemudian juga dipercaya menjadi pengajar.
“Saya langsung menjadi asisten dosen filsafat hukum di Ilmu Filsafat Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di situlah saya menggali ilmu,” kenangnya.
Di tengah kesibukan menjadi dosen, Patrialis mulai merintis karier sebagai pengacara. Karier hukumnya kian cemerlang saat dia terpilih sebagai anggota DPR periode 1999-2004 dan 2004-2009 untuk daerah pemilihan Sumatera Barat mewakili Partai Amanat Nasional.
Di parlemen, Patrialis pernah duduk di Komisi II dan Komisi III. Di kalangan pewarta Senayan, Patrialis dikenal akrab dengan wartawan. Dia termasuk narasumber yang gampang diwawancara. Selain kritis, Patrialis juga dikenal vokal menyuarakan pemberantasan korupsi. Sekali waktu, dia berujar setuju dengan wacana hukuman mati bagi para koruptor.
Pada Oktober 2009, karier hukum Patrialis kian moncer. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkatnya menjadi Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu jilid. Dia menggantikan Andi Matalatta.
Sejak duduk sebagai pejabat eksekutif, alih-alih mengeluarkan kebijakan yang mendukung semangat pemberantasan korupsi, Patrialis justru sering dikecam karena dianggap lembek terhadap koruptor.
Dia dikenal doyan mengobral remisi kepada para koruptor. Sejumlah koruptor yang pernah merasakan manisnya remisi Patrialis ialah mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, mantan wakil walikota Medan Ramli Lubis, mantan Sesditjen Depnakertrans Bachrun Effendi, mantan Dirjen AHU Kemenkum HAM Zulkarnaen Yunus, dan mantan Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo.
Patrialis pernah menyetujui larangan peredaran buku Gurita Cikeas yang ditulis George Junus Aditjondro. Dia juga dianggap lalai mengawasi sel tahanan para koruptor yang sarat kemewahan. Salah satu yang paling menyita perhatian publik adalah fasilitas mewah di dalam sel Artalyta Suryani.
Saat SBY merombak kabinet pada 2011, Patrialis ikut tergusur. Posisinya sebagai menteri digantikan Amir Syamsuddin. Sejak itu, nama Patrialis seperti hilang dari peredaran. Namun, SBY ternyata menyiapkan rencana lain buat Patrialis. Rencana itu terungkap lewat Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013.
Keppres itu berisi pemberhentian dengan hormat Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi. Presiden lalu mengangkat kembali Maria dan menunjuk Patrialis sebagai pengganti Achmad Sodiki.
Penunjukan Patrialis menuai kecaman. Sejumlah aktivis dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Corruption Watch yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK melayangkan somasi kepada pemerintah. Mereka meminta presiden membatalkan penunjukan Patrialis sebagai hakim konstitusi.
Koalisi menilai penunjukan Patrialis menyalahi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan hakim secara transparan dan melibatkan partisipasi publik. Koalisi juga menganggap rekam jejak Patrialis sebagai Menkumham tidak cakap. Hal lain yang juga menjadi kekhawatiran adalah integritas Patrialis yang belum tujuh tahun hengkang dari dunia politik karena pada 2004-2009 masih menjabat Ketua Fraksi PAN MPR.
Namun, SBY bergeming. Selasa 13 Agustus 2013, Patrialis, Maria Fari Indrati, dan M Akil Mochtar mengucap sumpah di Istana Negara sebagai hakim konstitusi. Nama yang terakhir dipercaya menjadi Ketua MK.
Usai mengucap sumpah, Patrialis menjawab keraguan yang dialamatkan kepadanya. Dia berjanji akan melepaskan diri dari kepentingan politik selama menjadi hakim konstitusi.
“Jangan mendikotomikan antara orang parpol dan tidak. Apa ada jaminan orang bukan parpol melakukan hal dengan bagus atau konsisten? Itu subjektif. Makanya saya punya komitmen, dan itu tidak boleh ditawar-tawar. Hakim itu bukan tanggung jawab dunia, tapi akhirat,” kata Patrialis seperti dikutip Vivanews.
Sikap pemerintah yang tetap melantik Patrialis membuat aktivis koalisi geram. Mereka kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini dikabukan. PTUN Jakarta dengan membatalkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, pemerintah juga tidak tinggal diam. Lewat Menkumham Amir Syamsuddin presiden mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Banding pemerintah dikabulkan. Sejak itu Patrialis duduk tenang sebagai hakim konstitusi hingga akhirnya KPK mencokoknya hari ini.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani