tirto.id - Mengabadikan gambar aktivitas anak kerap dilakukan oleh Elisabeth Desy Yosihana (31). Tak jarang, tingkah polah menggemaskan dari sang buah hati itu ia unggah ke facebook.
Kepada saya, Desy mengaku tak pernah khawatir ketika memamerkan foto putra tunggalnya ke aplikasi jejaring sosial itu, sebab dirinya membatasi pertemanan.
“Akun FB maupun IG aku bikin privat, [hanya bisa dilihat oleh] teman. FB sama IG juga aku batasi [untuk] teman-teman yang aku kenal doang, plus saudara,” kata Desy.
Menurut Desy, sikapnya yang tidak menerima pertemanan dari orang tak dikenal bisa menghindarkan anaknya dari bahaya predator anak yang berkeliaran di Facebook. Meski begitu, Desy tak pernah memasang foto telanjang sang buah hati.
“Kasihan anaknya kalau udah besar lihat fotonya telanjang di-upload, pasti [saat dewasa] bakal malu,” ungkap Desy.
Berbeda dengan Putri Tirtasari (30) yang jarang mengunggah gambar putrinya ke Facebook. Intensitasnya mengunggah foto anak tak sampai sebulan sekali.
“Aku memang tipe yang menjaga privasi,” ujar Putri.
Putri menganggap bahwa tak semua dokumentasi patut dipublikasikan. Sebagai orangtua, ia harus menyaring apa yang hendak ia bagikan di media sosial. Apalagi foto telanjang.
“Ngeri sekarang, perdagangan anak, pedofilia, dan sebagainya,” katanya.
Facebook Hapus Foto Telanjang
Foto anak di media sosial memang salah satu masalah di era revolusi digital. Penerimaan atas kebudayaan digital tak serta-merta diikuti sikap bijak menggunakan perangkatnya. Termasuk soal mengunggah foto anak, terutama foto telanjang mereka.
Rabu, 24 Oktober 2018 Facebook mengumumkan bahwa pihaknya telah menghapus 8,7 juta foto pelanggannya, yang menampilkan gambar vulgar anak-anak dengan menggunakan bantuan perangkat lunak.
Dilansir Reuters, perangkat lunak tersebut secara otomatis menandai foto-foto tersebut. Perangkat yang diluncurkan setahun terakhir tersebut akan mengidentifikasi gambar anak-anak telanjang. Selain itu, Facebook juga mengembangkan sistem tersebut untuk menangkap pengguna yang melakukan eksploitasi seksual anak di bawah umur.
Kepala Keamanan Global Facebook Antigone Davis menyampaikan bahwa aplikasi tersebut dipasang sebagai bentuk tanggung jawab Facebook terhadap keamanan anak-anak.
“Kami membagikan beberapa pekerjaan yang telah kami lakukan selama setahun untuk mengembangkan teknologi pencocokan foto, kami menggunakan kecerdasan buatan dan learning machine untuk secara proaktif mendeteksi ketelanjangan anak dan konten eksploitasi anak yang tidak diketahui sebelumnya saat diunggah,” kata Davis, seperti dikutip Reuters.
Teknologi terbaru Facebook tersebut bisa mengidentifikasi konten dengan lebih cepat dan segera melaporkan ke NCMEC, serta akun yang terlibat dalam interaksi tak wajar dengan anak di Facebook, sehingga mereka akan menghapusnya.
Hingga saat ini, Facebook telah menghapus setidaknya 8,7 juta konten yang melanggar kebijakan ketelanjangan anak dan eksploitasi seksual anak. 99 persen diantaranya dihapus sebelum ada yang melaporkannya.
Nantinya, foto-foto yang dihapus tersebut akan diselidiki oleh tim khusus Facebook yang memiliki latar belakang penegakan hukum, keselamatan online, analitik, dan investigasi forensik, dan kemudian melaporkan kepada NCMEC. Selanjutnya, NCMEC akan bekerja bersama badan penegakan hukum di seluruh dunia untuk membantu korban.
“Kami juga berkolaborasi dengan pakar keselamatan, NGO, dan perusahaan lainnya untuk menghentikan dan mencegah eksploitasi seksual anak di semua teknologi online. Misalnya dengan Tech Coalition untuk memberantas eksploitasi anak di dunia online. Internet Watch Foundation dan beberapa pemangku kepentingan We Protect Global Alliance untuk mengakhiri eksploitasi anak di dunia online,” lanjut Davis, masih dikutip Reuters.
Dilansir The Guardian, pada akhir 2017, Facebook pernah meminta penggunanya untuk mengirim foto telanjang mereka dalam upaya mengatasi revenge porn. dalam upayanya itu Facebook berusaha mengubah gambar porno pelanggan menjadi sidik jari digital, sehingga mereka bisa mengidentifikasi dan memblokir upaya untuk mengunggah ulang gambar yang sama.
Carrie Goldberg, seorang pengacara yang tinggal di New York yang ahli dalam privasi seksual, menyampaikan bahwa hadirnya software tersebut tak hanya membantu menyelesaikan masalah revenge porn, tapi juga membantu individu yang memiliki kekhawatiran akan menjadi korban.
“Dengan miliaran pengguna, Facebook adalah sebuah tempat di mana banyak orang tak bertanggung jawab menyerang karena mereka dapat memaksimalkan bahaya dengan menyebar luaskan pornografi tanpa izin kepada mereka yang dekat dengan korban. Jadi, ini berdampak,” ungkap Goldberg, seperti dilansir The Guardian.
Teknologi ini mulanya dikembangkan pada tahun 2009 oleh Microsoft yang bekerja sama dengan Dartmouth dan National Center for Missing and Exploited Children untuk menekan pelecehan seksual anak yang marak terjadi di internet.
Keamanan di Facebook
Diwartakan The New York Times, pasca-penerapan kebijakan tersebut, Facebook diketahui menghapus kiriman dari pembaca yang membagikan platform sosial yakni foto seorang anak yang kelaparan di Yaman.
Dalam artikel tersebut, terdapat beberapa gambar anak yang kurus kering, menangis, dan lesu. Tak hanya itu, dalam unggahan itu, seorang gadis berusia 7 tahun bernama Amal terlihat menatap ke samping, dengan badan yang kurus kering hingga terlihat jelas tulangnya.
Namun, gambar tersebut dihapus oleh Facebook karena dianggap tak sejalan dengan kebijakan aturan mereka, yakni melarang gambar telanjang di Facebook. Seperti dikutip The New York Times, banyak pengguna yang kecewa terhadap kebijakan tersebut. Masalahnya, kebijakan itu juga berlaku untuk foto-foto kemanusiaan.
Pada 2014 lalu, The Guardian pernah mempublikasikan artikel berjudul “Does Sharing Photos of Your Children on Facebook Put Them at Risk?” yang ditulis oleh Linda Geddes.
Dalam artikel tersebut, Geddes menceritakan pengalamannya yang mengunggah foto anak dan anak dari temannya. Sebenarnya, unggahan itu merupakan ungkapan kebahagiaan dari Geddes atas kelahiran putranya. Ternyata, temannya tak setuju dengan unggahan foto-foto itu.
Geddes menyadari bahwa orangtua sering menjadi pelaku terburuk yang membahayakan keselamatan anak mereka.
“Tetapi ada foto yang mungkin tidak akan saya bagikan, foto-foto telanjang anak-anak saya, berpose tidak menarik, atau bidikan kamera yang dengan jelas mengidentifikasi tempat tinggal kita,” ungkap Geddes.
Masih dalam artikel yang sama di The Guardian, Direktur Utama Oxford Internet Institute, Victoria Nash, menyampaikan bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan Facebook, misalnya jumlah informasi yang diberikan seperti tanggal lahir, tempat lahir, nama lengkap anak, atau menandai foto dengan lokasi geografis.
“Masalah kedua lebih pada persetujuan. Jenis informasi apa yang ingin anak-anak lihat tentang diri mereka secara online di kemudian hari?” ungkap Nash.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani