tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat 14 laporan penerimaan gratifikasi sejak 24 April hingga 19 Mei 2020. Estimasi nilai gratifikasi mencapai Rp21 juta.
"Pelaporan tersebut berasal dari 5 kementerian yaitu sebanyak 9 laporan, 3 pemerintah daerah masing-masing 1 laporan, dan 2 BUMN/D masing-masing 1 laporan," ujar Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangan tertulis, Rabu (20/5/2020).
Bentuk gratifikasi bermacam-macam, mulai dari parcel makanan, barang pecah belah, hingga uang. Nilai terendah mulai dari Rp100 ribu hingga Rp7,5 juta.
Informasi gratifikasi tersebut dilaporkan melalui berbagai aplikasi, salah satunya Gratifikasi Online (GOL) individu sebanyak 11 laporan. Selebihnya GOL unit pengelola gratifikasi (UPG), surat elektronik UPG dan individu, masing-masing 1 laporan.
"Tujuan pemberian dimaksudkan sebagai tambahan uang dalam menyambut bulan suci Ramadan maupun tunjangan hari raya (THR) Idulfitri," ujarnya.
Pada 13 Mei lalu, KPK menerbitkan Surat Edaran No. 14 Tahun 2020 tentang Pengendalian Gratifikasi Terkait Momen Hari Raya yang isinya mengimbau para pejabat negara di lingkungan kementerian dan lembaga untuk menolak gratifikasi.
Namun menurut Ipi, KPK justru mendapatkan laporan permintaan THR yang dilakukan oleh pejabat eselon kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) di sebuah intansi.
"KPK kembali mengingatkan bahwa permintaan dana atau hadiah sebagai THR oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara, merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi," ujarnya.
KPK juga berharap pejabat atau pegawai di lingkungan kementerian dan lembaga negara yang kadung menerima gratifikasi, harap melapor paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan. Pelapor, menurut Ipi, akan terbebas dari ancaman pidana.
"Sebagaimana pasal 12B UU No 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, yaitu berupa pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," ujarnya.
Jelang Lebaran dan Pilkada
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman berpendapat gratifikasi hari raya idulfitri saat ini perlu diawasi lebih ketat, sebab berdekatan dengan pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2020.
"Hal itu yang mesti diwaspadai pejabat dan KPK," ujarnya kepada reporter Tirto.
Bentuk-bentuk gratifikasi bakal bermacam-macam, tapi ditujukan untuk mendulang suara dukungan. Hal semacam ini, menurut Zaenur, bisa juga disebut sebagai praktik money politics apabila dimaksudkan untuk mempengaruhi elektoral.
"Untuk konteks ini, KPK tidak bisa sendiri. Bawaslu juga mengawasi bentuk-bentuk money politic dukuangan pencalonan," ujarnya.
Secara umum, pejabat dan pegawai di lingkungan kementerian dan lembaga perlu memahami perbedaan pemberian gratifikasi atau bukan. Caranya dengan melihat motif dan posisi penerima saat itu.
"Jika tidak sedang menjabat apakah masih diberikan atau tidak. Kalau tidak menjabat tetap diberikan, maka pemberian itu adalah wajar," ujarnya.
Zaenur mengimbau para pejabat dan pegawai kementerian atau lembaga negara untuk menolak segala bentuk gratifikasi. Jika kadung menerima harap melaporkan ke unit pengaduan yang tersedia di masing-masing lembaga atau langsung melapor ke KPK sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Sementara itu, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mendesak para penyelenggara negara untuk sadar akan bahaya korupsi jenis gratifikasi ini. Sebab selama ini menurutnya, gratifikasi kerap dianggap budaya ketimuran dan bentuk berterimakasih.
"Padahal dalam ketentuannya batasan mengenai gratifikasi telah diatur oleh UU dan peraturan turunan dan surat edaran KPK," ujarnya.
Wawan juga meminta agar para penyelenggara negara memanfaatkan kanal-kanal pengaduan yang telah disediakan KPK, melalui Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) atau melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL).
Ia juga berharap masyarakat dapat turut andil melaporkan, jika menemukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada gratifikasi.
"Upaya yang tekah KPK dan inspektrorat dalam membuat SE dan posko atau UPG hanya akan efektif jika diikuti oleh kesadaran dan kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan setiap gratifikasi yang terimanya," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan