tirto.id - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. PP tersebut sudah diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021.
Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Retno Pratiwi mengatakan tujuan JKP adalah “mempertahankan derajat kehidupan seseorang.” “Jangan sampai saat kehilangan [pe]kerjaan, derajat hidupnya juga ikut turun,” katanya dalam suatu diskusi pada Selasa (9/3/2021).
Namun bagi Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, program JKP hanya upaya pemerintah pasang wajah manis di hadapan kaum pekerja setelah meloloskan peraturan induk, UU Cipta Kerja, yang telah ditolak luas oleh masyarakat.
“Jangan UU Ciptaker ini dibuat seolah baik untuk rakyat,” ujar Nining kepada reporter Tirto, Selasa.
Jika dibaca lebih teliti, menurutnya peraturan ini banyak cacatnya. Misalnya Pasal 13 ayat (3) tentang aturan penerima manfaat. Pasal itu menetapkan manfaat JKP hanya dapat diakses pekerja dengan masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar BPJK Ketenagakerjaan minimal 6 bulan berturut-turut.
Hal ini menurutnya membuat pekerja kontrak dan alih daya yang pada dasarnya sudah rentan tak terdaftar. Selain itu pekerja tetap juga mungkin tak dapat jaminan karena “banyak perusahaan yang tidak menjalankan itu [mendaftarkan pekerja ke jaminan sosial].”
Nining menyebut pasal itu manipulatif karena sebetulnya akan banyak pekerja tidak dapat mengakses manfaatnya.
Regulasi mengatur jika peserta JKP berada dalam usaha menengah dan besar, ia mesti telah ikut serta program JKN, JKK, JHT, JP, dan JKM. Sementara pekerja yang berada dalam usaha kecil dan mikro, mesti telah ikut serta program JKN, JKK, JHT, dan JKM. Syarat lain, usia mereka belum 54 tahun.
Di atas kertas pula JKP disebutkan berlaku bagi pekerja dengan status kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) alias kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PWKTT) atau tetap.
Manfaat JKP berupa uang tunai dengan besaran 45 persen dari upah pekerja selama tiga bulan pertama dan 25 persen dari upah selama tiga bulan berikutnya. Nominal batas atas upah mentok di Rp5 juta.
Pemerintah juga menjanjikan kemudahan akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja berbasis kompetensi.
Pekerja yang mengajukan pengunduran diri, pensiun, meninggal dunia, dan cacat sebagaimana diatur pasal 20 ayat (1) dikecualikan sebagai penerima manfaat.
Terkait sanksi, pasal 46 ayat (1) menyebutkan pengusaha yang tidak mengikuti JKP diberikan peringatan tertulis dan tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Iuran diperoleh dengan skema mirip subsidi silang dari iuran jaminan lain. Pasal 11 menyebut iuran JKP ditetapkan 0,46% dari gaji per bulan, yang 0,22% di antaranya dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN dan sisanya 0,14% diambil dari JKK dan 0,1% diambil dari JKM.
Bagi Nining, pemerintah pusat yang turut serta menanggung beban iuran JKP malah membikin perusahaan aji mumpung dan lepas tanggung jawab.
Oleh karena itu, alih-alih JKP, menurutnya solusinya adalah “besarkan saja pesangonnya, jangan pesangon diperkecil dan seolah memberikan angin segar melalui JKP.”
Pemangkasan pesangon—yang dinikmati pengusaha—awalnya maksimal 32 kali upah bulanan dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan menjadi maksimal 25 kali upah dalam UU Cipta Kerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga pernah mengkritisi poin yang sama saat peraturan ini masih draf. Menurutnya pemerintah awalnya berjanji JKP mereka yang menanggung, “kok sekarang malah mengambil atau rekomposisi?”—yang berarti tetap ditanggung pekerja dengan mengurangi pembayaran iuran jaminan lain.
Ia juga mengatakan bukan tak mungkin subsidi 0,22%pada akhirnya dapat dicabut sehingga seluruh iuran ditanggung pekerja.
Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja berharap JKP jangan jadi “populisme belaka.” Caranya yaitu pemerintah mampu menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial dengan adil.
“Banyak kejadian—apalagi saat Covid—orang dipaksa mengundurkan diri bukan di-PHK,” ujar Dinna dalam suatu webinar, Selasa.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino