tirto.id -
Arti bait di atas kira-kira begini: “Cewek seharusnya kawaii (imut), bodoh waktu di sekolah pun tak apa-apa.” Itu adalah bagian dari lirik lagu “Einstein Yori Dianna Agron” atau “Lebih Baik Jadi Dianna Agron daripada Einstein”, dirilis pada 2016 oleh HKT48, cabang lokal dari grup idol perempuan asal Jepang, AKB48. Penulisnya adalah Yasushi Akimoto, pria kelahiran 1958 yang juga pendiri grup dan menyukseskannya sampai tingkat dunia.
Dalam lagu tersebut Akimoto menggambarkan remaja perempuan periang, tanpa beban, dan terinspirasi jadi bintang Hollywood alih-alih ilmuwan. Tentu tidak ada yang keliru dengan lagu yang menceritakan seseorang yang bercita-cita jadi artis. Jadi bermasalah karena “Einstein Yori Dianna Agron” menggambarkan perempuan yang masa bodoh terhadap ilmu, menganggap pintar itu tak berguna, dan merasa satu-satunya yang dibutuhkan adalah penampilan fisik.
“Sekeras apa pun belajar, tak ada gunanya jika tak ada yang mencintaiku... Meskipun aku tak punya banyak pengetahuan umum, itu tak masalah karena aku jago dandan... Penampilan penting di mata orang...”
Lirik Akimoto membuat gusar Masami Ohinata, psikolog yang menjabat Rektor Universitas Keisen, Tokyo. Menurut Ohinata, lagu tersebut seakan-akan membawanya ke masa lalu sekaligus mengingatkannya pada buku di Norwegia satu abad silam yang berisi daftar pertanyaan yang tidak perlu diajukan kepada anak perempuan semata karena mereka dianggap terlalu bodoh untuk bisa menjawabnya.
Komentar seksis dan meremehkan perempuan seperti pada lagu tersebut memang mudah ditemui di Jepang. Selain awam, hal seperti itu juga keluar dari orang yang punya jabatan penting. Misalnya Yoshiro Mori (84), eks perdana menteri yang diangkat jadi ketua panitia Olimpiade Tokyo 2020. Ia pernah mengatakan perempuan terlalu banyak omong sehingga rapat-rapat cenderung memakan waktu lama. Ia kemudian dihujat publik dan undur diri dari kepanitiaan.
Selain merendahkan, ada pula pandangan yang meminta perempuan tidak menonjolkan kepintaran. Misalnya anggapan konyol bahwa “perempuan [lulusan] Universitas Tokyo tidak akan bisa menikah”. Hal ini dialami oleh Yoshirin Yao. Ketika mengumumkan kepada saudara-saudaranya bahwa ia diterima di kampus elite tersebut, alih-alih diapresiasi, Yao malah mendapat respons seperti ini: “Apabila saat kuliah kamu bertemu laki-laki yang baik hati, kalian boleh langsung menikah.”
Pengalaman Yao tersebut disampaikan kepada NHK pada Oktober silam. Ketika itu NHK melaporkan bagaimana upaya kampus nomor satu Jepang tersebut menarik minat calon mahasiswa perempuan. Disebutkan bahwa jumlah mahasiswi di sana hanya 24,5 persen (dan hanya 19,7 persen di jenjang S1). Persentasenya jauh di bawah kampus top dunia lain seperti Oxford dan Cambridge (masing-masing 47 persen), Harvard (50 persen), dan Yale (51 persen).
Lingkungan kampus yang didominasi laki-laki ini membuat mahasiswi tidak nyaman. Seorang mahasiswi bernama Yura Ha mengatakan mahasiswa selalu bisa mengontrol arah diskusi di kelas. “Karena perempuan selalu jadi minoritas, rasanya sulit kalau mau berpendapat, dan ketika saya mengungkapkan sesuatu, saya khawatir itu akan dianggap opini yang mewakili semua mahasiswa perempuan,” ujar Ha.
Situasi timpang ini terjadi secara sistematis alias memang disengaja di sejumlah universitas. Pada 2018, misalnya, terkuak bahwa Tokyo Medical University selama bertahun-tahun memang membatasi mahasiswi baru hanya 30 persen—padahal nilai ujiannya cukup. Mereka memanipulasi skor sehingga peserta perempuan bisa dieliminasi tanpa terlihat mencurigakan. Kecurangan ini dilakukan sedikitnya oleh 10 universitas. Beberapa di antaranya dituntut oleh sejumlah calon mahasiswa perempuan ke pengadilan.
Dalam pandangan sempit segelintir elite universitas, rasanya sia-sia belaka mendidik perempuan jadi dokter. Mereka berargumen melakukan ini karena banyak dokter perempuan berhenti praktik setelah melahirkan karena mau mengurus anak.
Sekilas tentang Pendidikan Perempuan
Usaha pemberdayaan perempuan Jepang lewat pendidikan melewati proses panjang dan berliku. Pada mulanya pendidikan tinggi untuk perempuan bukanlah perhatian utama pemerintah. Perguruan tinggi milik Kaisar—jaringan kampus tertua pemerintah Imperial University, salah satunya Universitas Tokyo—awalnya hanya mewadahi pelajar laki-laki. Perempuan baru bisa menempuh kuliah di universitas pemerintah pada 1913, atau hampir tiga dekade setelah Universitas Tokyo berdiri, catat Naonori Kodate dan Kashiko Kodate dalam buku Japanese Women in Science and Engineering: History and Policy Change (2015).
Sebelum itu pemerintah hanya membuka kesempatan perempuan mengenyam pendidikan yang levelnya di bawah universitas, seperti sekolah menengah atas, college, atau vokasi. Mereka meliputi Tokyo Women’s Normal School (1875) dan Women’s Higher Normal School di Nara (1908). Sampai Perang Dunia II usai, keduanya berperan besar sebagai institusi di bawah pemerintah yang menawarkan pendidikan tertinggi untuk perempuan.
Masih dikutip dari buku karya Kodate, pendidikan tinggi juga disokong oleh aktor-aktor swasta, misalnya dokter perempuan Yayoi Yoshioka yang mendirikan sekolah kedokteran khusus perempuan pada 1900 (sekarang bernama Tokyo Women’s Medical University).
Di samping itu, ada pula peranan misionaris Barat yang masuk ke Jepang seiring negeri tersebut membuka diri pada masyarakat dan budaya Eropa-Amerika Utara sepanjang era Kekaisaran Meiji (1868-1912). Salah satu produknya adalah Ferris University di Yokohama, atau awalnya bernama Ferris Jogakuin. Institusi pendidikan swasta khusus perempuan pertama di Jepang ini didirikan sebagai sekolah seminari pada 1870 oleh Mary E. Kidder, misionaris asal Vermont, Amerika Serikat.
Reformasi pendidikan baru berjalan tak lama setelah Jepang kalah perang dan otoritas AS-Sekutu menyusun konstitusi baru. Sejak 1948, perempuan diperbolehkan mendaftar ke universitas mana saja yang mereka inginkan, termasuk bekerja di kantor-kantor pemerintah sampai lembaga riset pertanian dan perikanan milik negara.
Semenjak itu pula sekolah tinggi dan universitas khusus perempuan semakin bermekaran, terutama yang berstatus swasta. Japan Today mencatat terdapat sedikitnya 77 universitas khusus perempuan atau nyaris mencapai 10 persen dari total institusi pendidikan tinggi. Rasio tersebut lebih besar dibanding sekolah khusus perempuan di Korea Selatan dan AS yang berkisar 1-3 persen. Salah satunya bernama Kobe Women’s University dan Kobe Women’s Junior College.
Ketika berdiri pada 1945, Kobe Women’s University membuka kelas menjahit, lalu mulai menawarkan ilmu ekonomi rumah tangga, gizi, hingga tahun ini membuka jurusan baru, psikologi.
Rektornya, Nobutaka Kurihara, dalam wawancara dengan Japan Today tahun lalu bercerita bahwa pendirian yayasan tidak bisa dilepaskan dari konteks pasca-Perang Dunia II. Kurihara mengungkapkan, setelah perang usai, banyak perempuan yang menjadi janda karena suaminya gugur di medan pertempuran. “Tujuan utama institusi kami adalah untuk mendidik mereka agar dapat bekerja dan memberi makan anak-anaknya, sekaligus melatih perempuan jadi guru yang bisa pulang ke kampung halamannya untuk mendidik warga setempat.”
Perjalanan panjang mereka hanyalah satu dari sekian banyak bukti tentang usaha untuk mendukung proses belajar perempuan Jepang agar mereka bisa berdaya, mandiri dan aktif di pasar kerja.
Pemerintah dan Pemberdayaan Perempuan
Tidak heran pula jika kemudian minat perempuan untuk mengenyam pendidikan kampus tetaplah tinggi meski iklim meremehkan cukup kuat. Dalam satu dekade terakhir, jumlah perempuan yang masuk universitas mengalami kenaikan. Angkanya mencapai satu juta pada 2004 dan pada Mei 2021 nyaris menembus 1,2 juta. Persentasenya sekitar 45 persen dari total mahasiswa atau tertinggi sepanjang sejarah Jepang.
Pun demikian di dunia kerja. Jumlah staf dosen perempuan juga mencatat rekor sebanyak 50 ribu orang—naik sekitar seribu dari tahun sebelumnya. Selama dua dasawarsa belakangan, persentase tenaga kerja perempuan usia 15-64 juga meningkat dari 57 persen (2001) jadi nyaris 71 persen (2020), sementara tenaga kerja laki-laki berkisar 80-84 persen.
Apa yang membuat perempuan tetap aktif meski penerimaan awam tampaknya tidak terlalu positif? Salah satu jawabannya adalah sikap pemerintah yang terlihat bersungguh-sungguh mendorong pemberdayaan perempuan.
Salah satu langkah paling awal adalah mendirikan Biro Kesetaraan Gender pada 2001. Dua tahun kemudian, di bawah administrasi Perdana Menteri Junichiro Koizumi, Jepang menargetkan 30 persen perempuan bisa menjabat posisi pemimpin pada 2020—cita-cita yang ikut digaungkan oleh PM Shinzo Abe setelah terpilih pada 2012.
Abe bahkan terkenal dengan jargonnya, “womenomics”, yang menekankan pentingnya lebih banyak perempuan bekerja. Keseriusan ini ditunjukkan administrasi Abe dengan mengeluarkan UU No. 64 tahun 2015 yang berisi serangkaian kebijakan pendorong partisipasi perempuan di ranah profesional. Di samping itu, mereka juga meningkatkan kapasitas fasilitas childcaresebab mengasuh anak kerap jadi salah satu alasan perempuan tidak kembali bekerja setelah melahirkan.
Perusahaan pun cenderung merespons partisipasi perempuan secara positif. Menurut lembaga konsultan McKinsey & Company, perusahaan-perusahaan besar sudah menawarkan kebijakan cuti dan mekanisme kerja yang cukup fleksibel. Mereka mengutip temuan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan pada 2019 yang menyatakan 99 persen perusahaan dengan 500 pegawai lebih sudah menyediakan cuti pengasuhan anak. Persentase kantor yang menerapkan kebijakan kerja jarak jauh juga menunjukkan tren naik (diterapkan oleh 23 persen kantor dengan 500 karyawan lebih dan 47 persen kantor dengan seribu karyawan lebih).
McKinsey mendapati 70 persen responden sudah memanfaatkan cuti pengasuhan anak dan program kerja jarak jauh. Sebanyak 90 persen responden juga mengaku puas dengan nilai tambah yang diberikan perusahaan.
Temuan menarik lain adalah alasan di balik keengganan para pekerja, baik laki-laki dan perempuan, untuk dipromosikan ke jabatan lebih tinggi. Jawabannya justru bukan terkait keterbatasan benefit atau fasilitas cuti pengasuhan anak, melainkan lebih ke beban kerja. Kebanyakan merasa tidak mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar, di samping merasa kesulitan untuk menjaga keseimbangan dunia kerja dan keseharian (work-life balance).
Perempuan Masih Rentan di Dunia Kerja
Di balik berbagai upaya pemerintah dan korporasi untuk menyokong kinerja kaum perempuan, mereka toh masih mengalami hambatan dalam mencapai kemapanan dalam karier. Bahkan administrasi Abe terpaksa mengundur target 30 persen pemimpin perempuan hingga satu dekade lagi.
World Economic Forum (WEF) menyebut Jepang berada di peringkat ke-120 dari 156 negara, terendah di antara negara ekonomi mapan G7, dalam indeks ketimpangan gender 2021. Di sektor pemberdayaan politik, Jepang bahkan menempati ranking 147, hanya sembilan poin di bawah Arab Saudi. Hanya 9,9 persen perempuan yang duduk di parlemen. Persentasenya sama untuk jabatan menteri.
Jepang menempati urutan ke-117 dalam partisipasi ekonomi. WEF mendapati tak sampai 15 persen jabatan senior dipegang oleh perempuan. Fakta menarik lain adalah perempuan yang bekerja paruh waktu jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dibanding laki-laki dan gajinya 43 persen lebih rendah daripada laki-laki.
Poin-poin itu—pekerjaan tidak tetap, benefit, dan jaminan keamanan lebih rendah—menjelaskan mengapa perempuan Jepang jadi kelompok demografi yang lebih rentan terdampak oleh pandemi Covid-19. Nobuko Kobayashi dari lembaga konsultan Ernst & Young menyampaikan kepada Forbesbahwa kebanyakan perempuan Jepang bekerja di “sektor tatap muka” termasuk ritel, jasa, dan pariwisata yang paling dihantam kebijakan pembatasan sampai lockdown.
Kobayashi juga berkomentar betapa pada akhirnya “perempuan hanyalah kekuatan pelengkap.” Menurutnya, terlepas jumlahnya yang banyak, perempuanlah yang lebih dulu mundur ketika menghadapi perkara-perkara sensitif di rumah tangga, di samping tidak punya cukup daya untuk pengambilan keputusan. “Mereka tidak berada dalam lingkaran dalam dan tradisi laki-laki yang mendominasi tetap bertahan karena laki-laki tidak mau mengakhiri sistem tersebut,” ujar Kobayashi.
Dunia kerja yang didominasi laki-laki bisa ditelusuri asalnya sejak era “Economic Miracle” yang berlangsung setelah Perang Dunia II sampai menjelang akhir Perang Dingin. Melansir artikel Hifumi Okunuki, dosen dari Sagami Women’s University, sebelum 1985 banyak perusahaan yang berpegang pada statistik untuk menjustifikasi diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja. Pada masa-masa itu statistik memang menunjukkan perempuan cenderung bekerja dalam jangka waktu lebih pendek karena mengandung, melahirkan, dan mengurus anak.
Okunuki mengambil contoh kasus perusahaan Tokyu Kikan Industry pada 1969. Mereka membela kebijakan pensiun untuk staf perempuan pada usia 30, sedangkan laki-laki 55. Menurut mereka, masuk akal untuk memensiun staf perempuan lebih dini dan tidak menaikkan gaji karena mereka “dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan bantu-bantu yang tidak memerlukan keahlian khusus atau pengalaman” sebagaimana staf laki-laki.
Praktik ini mulai ditinggalkan setelah larangan diskriminasi gender dari tahapan perekrutan sampai pensiun diterapkan lewat UU Kesetaraan Kesempatan Kerja 1985. Sistem pensiun yang disesuaikan gender juga dilarang sejak 1981 berdasarkan putusan Mahkamah Agung dalam gugatan terhadap perusahaan Nissan Motor.
Singkat kata, pemerintah Jepang sudah punya dasar hukum cukup untuk memberdayakan perempuan sejak empat dekade silam. Maka sungguh disayangkan jika hari ini masih ada sikap meremehkan perempuan, mulai dari lagu seksis, ejekan cerewet, sampai seleksi diskriminatif masuk universitas.
Editor: Rio Apinino