Menuju konten utama

Jaksa KPK Tidak Terima Salinan Surat Sakit Miryam

Terkait ketidakhadiran saksi kasus korupsi e-KTP Miryam S Haryani karena sakit, JPU KPK belum menerima salinan surat sakit Miryam dan tidak dijelaskan sakit yang diderita Miryam dalam surat tersebut.

Jaksa KPK Tidak Terima Salinan Surat Sakit Miryam
Tiga penyidik KPK Novel Baswedan (kedua kanan), Ambarita Damanik (kiri) dan M Irwan Santoso (kanan) tiba untuk menjadi saksi kasus tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (E-KTP) dengan terdakwa Sugiharto dan Irman di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (27/3). SANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Terkait ketidakhadiran saksi kasus korupsi e-KTP Miryam S Haryani karena sakit, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) belum menerima salinan surat sakit Miryam dan tidak dijelaskan sakit yang diderita Miryam dalam surat tersebut.

"Kami tidak menerima surat sakitnya langsung ke panitera, bisa saja memang. Tadi kami sudah lihat surat sakitnya itu dikeluarkan dari RS Fatmawati, dan kita sudah lihat nama dokternya. Nanti kita konfirmasi ke dokter yang mengeluarkan surat tersebut akan kami tanya sakitnya apa," kata Ketua JPU KPK Irene Putri.

Saksi kasus korupsi e-KTP Miryam S Haryani seharusnya menghadiri sidang lanjutan e-KTP pada Senin (27/3/2017). Namun, Miryam mangkir di persidangan korupsi e-KTP dengan alasan sakit selama dua hari di RS Fatmawati dan dalam surat keterangan dokter di RS itu tidak dijelaskan keterangan soal sakit yang dialami Miryam.

"Yang Mulia, kami setuju persidangan ini kita tunda persidangan. Karena yang bersangkutan tidak hadir. Apalagi di persidangan ini hanya mengkonfrontir keterangan Novel Baswedan," jelas Jaksa Abdul Basir.

Namun, Jaksa mengaku tak memiliki salinan dari surat sakit tersebut. Oleh karena itu, Jaksa berharap mendapat surat keterangan sakit Miryam, sebab surat itu hanya diberikan kepada Majelis Hakim saja, tetapi tak diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum.

"Kami berharap mendapatkan surat itu, Yang Mulia," jelas Abdul Basir.

Kepada Majelis Hakim, Jaksa Abdul Basir berharap saksi kasus korupsi e-KTP, Miryam S Haryani bakal kembali dihadirkan di persidangan hari ini, Kamis (30/3/2017). Dia juga berharap kepada Miryam agar wajib membawa surat keterangan dokter, pada sidang Kamis pekan depan.

Jaksa Irene Putri menilai kehadiran Miryam di persidangan itu penting sebab dalam persidangan ini memiliki agenda mengkonfirmasi pencabutan BAP Miryam karena semua pengakuannya di bawah ancaman penyidik KPK pada sidang Kamis pekan lalu.

Ketua JPU KPK Irene Putri menuturkan pihaknya baru mengetahui saksi tidak hadir, lantaran tidak menerima surat keterangan tersebut.

"Sakit, saya enggak tahu sakit apa itu di surat keterangan itu ditulis 2 hari (istirahat)," ujar Irene, Senin (27/3/2017).

Dia menambahkan, dalam surat keterangan tersebut rentang waktu Miryam untuk beristirahat hanya dua hari terhitung sejak Minggu (26/3/2017). Oleh karena itu, Irene beserta JPU KPK lainnya optimistis yang bersangkutan mampu penuhi panggilan persidangan Kamis nanti.

"Di surat keterangan sakit hanya 2 hari. Artinya hari ini sama besok, mudah-mudahan dia hari Kamis bisa hadir," terangnya.

Hal tersebut juga dikatakan oleh John Halasan Butar Butar agar Miryam bisa hadir pada sidang e-KTP pada sidang selanjutnya.

"Saya juga berharap yang bersangkutan hadir dalam sidang e-KTP Kamis depan. Saya meminta kepada JPU untuk menghadirkan 6-7 saksi yang dibutuhkan termasuk tiga penyidik KPK, Miryan dan sidang lainnya," pinta Jhon Halasan Butar Butar.

Perlu diketahui, tiga penyidik KPK yang akan dihadirkan oleh Jaksa adalah Ambarita Damanik, Novel Baswedan, dan M Irwan Susanto. Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,9 triliun tersebut.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

Selain itu, dalam proyek ini sekiranya ada 70 orang pihak disebut menikmati aliran dana pengadaan e-KTP tahun 2011-2012 dari anggaran Rp 5,95 triliun. Antara lain Kemendagri, DPR dan pihak pemenang konsorsium.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri