Menuju konten utama

Jakarta Padam: Andai Energi Bersih Dikembangkan secara Serius

Listrik berenergi bersih cukup memakan modal besar di awal. Namun, keuntungan jangka panjang dan ekologisnya layak diperhitungkan.

Jakarta Padam: Andai Energi Bersih Dikembangkan secara Serius
Petugas melakukan perawatan instalasi penyuplai energi listrik hasil dari panel surya di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Berdasarkan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) dengan potensi tiga gigawatt untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan pengembangan lebih dari 1.000 megawatt yang terdiri dari inisiasi swasta dan PLN sendiri. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Pemadaman listrik yang terjadi di Jabodetabek, sebagian Jawa Barat, dan Jawa Tengah membikin sebagian besar aktivitas di kota-kota besar tersebut—terutama Jakarta—lumpuh. Lalu lintas di jalan semrawut lantaran lampu lalu lintas ikut mati, pusat industri dan bisnis pun turut merugi.

Banyak ibu mengeluhkan pasokan ASI-nya rusak karena lemari pendingin tak bisa digunakan. Sinyal berbagai provider komunikasi juga lenyap, membikin berbagai aktivitas daring terkendala, termasuk pemesanan transportasi online.

Lumpuhnya berbagai aktivitas tersebut tak perlu terjadi, andaikan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) diberdayakan sebagai cadangan listrik negara. Hingga saat ini, ketika negara-negara luar mulai beralih ke pembangkit listrik EBT, Indonesia masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga fosil untuk menyediakan kebutuhan listrik negara.

Memang negara ini sudah menyediakan EBT di beberapa daerah, tetapi lingkupnya masih sangat kecil, dan banyak yang malah mangkrak tak terurus.

Padahal, menurut World Wild Life (WWF), ada dua masalah besar yang melekat pada sistem pembangkit listrik berbahan dasar fosil. Pertama, pembangkit jenis ini sangat tidak efisien, ia menghabiskan 70 persen bahan bakar, artinya, cadangan SDA tidak diperbaharui akan semakin menipis dan habis. Sistem tersebut juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan polusi signifikan yang berdampak pada kesehatan.

Persoalan kedua menyoal rantai transmisi dan distribusi, masyarakat yang berada di luar wilayah transmisi dan distribusi pembangkit, terancam tidak mendapat pasokan listrik. Kendala itu tak akan ditemui jika kita beralih menggunakan EBT. Selain ramah lingkungan, sistem EBT bisa digunakan dalam skala kecil dan tentu saja jadi solusi saat listrik padam.

“EBT bisa diberdayakan secara lokal untuk menghindari biaya transmisi dan jaringan distribusi, solusi untuk jangka panjang,” tulis WWF.

Agus Sari adalah contoh dari sedikit masyarakat yang telah beralih ke energi bersih. Rumahnya di Sentul, Bogor memang terkena pemadaman listrik. Namun, setidaknya dalam skala kecil, dampaknya tak berarti buatnya. Sejak lima tahun lalu, Agus yang merupakan aktivis lingkungan dan pengelola lanskap keberlanjutan ini sudah menggunakan panel surya sebagai sumber listrik utama.

“Awalnya memang motivasi lingkungan hidup, tapi begitu dipasang, nyatanya lebih murah,” kata pria yang pernah menjabat Deputi Bidang Perencanaan dan Pendanaan di Badan Pengelola Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP REDD+) di era Presiden SBY.

Lima tahun lalu, Agus memasang panel surya dengan daya 5000 watt pik. Jika dikonversikan, jumlah tersebut memenuhi 30 persen kebutuhan listrik harian. Namun, saat ini, kebutuhan listriknya sudah disokong penuh dari panel surya berkekuatan 9000 watt pik. Dengan menggunakan panel surya, Agus menghemat listrik sekitar Rp300 per kWh.

“Memang mahal di awal, tapi jika dikalkulasi 6-8 tahun sudah balik modal. Seterusnya jadi lebih hemat.”

Menghitung Keperluan EBT Skala Mikro

Prinsip EBT berfokus pada penyediaan energi dari proses alam berkelanjutan, seperti tenaga surya, angin, arus air proses biologi, dan panas bumi. Tenaga surya menjadi EBT yang paling memungkinkan digunakan untuk skala mikro dan individu. Apalagi, pasokan sinar matahari di negara kita selalu melimpah karena terletak di garis khatulistiwa.

Dari laman sebuah perusahaan penyedia panel surya, Solar Surya Indonesia, kita bisa melihat perhitungan kasar jumlah panel surya yang dibutuhkan untuk skala rumah tangga. Anda membutuhkan setidaknya 7 panel surya dengan daya 100 watt per panel dan 6 buah baterai untuk total kebutuhan daya 3480 watt per jam.

Infografik Panel Surya

Infografik Panel Surya. tirto.id/Aquita

Jumlah tersebut setara dengan penerangan rumah dengan 10 lampu CFL masing-masing 15 watt dan waktu penggunaan 4 jam sehari. Lalu televisi 21 inch 5 jam sehari, kulkas 360 liter, komputer 6 jam sehari, dan perangkat lainnya dengan daya 400 watt per jam. Jumlah enam buah baterai didasarkan pertimbangan dapat melayani kebutuhan 3 hari tanpa sinar matahari. Kira-kira,modal awal yang harus dikeluarkan sebesar Rp20-30 juta.

Sementara itu, estimasi penggunaan panel surya untuk lampu jalan pernah dikaji oleh Universitas Sumatera Utara. Biaya investasi awal Penerangan Jalan Umum (PJU) surya dua kali lebih mahal dibanding PJU konvensional. Jika PJU konvensional hanya butuh dana sekitar Rp500-an juta, PJU surya butuh dana sekitar Rp1 miliar. Biaya operasional PJU konvensional juga sangat tergantung dengan Tarif Dasar Listrik, sehingga lebih mahal sekitar 20 persen dibanding PJU surya.

“Ringkasnya, pada tahun ke-6 PJU solar cell lebih hemat dari PJU konvensional,” demikian tulis peneliti.

Sayangnya, hingga saat ini pengguna EBT masih sedikit. Panel surya, misalnya, hanya dimanfaatkan oleh 660 pengguna di Jakarta. Sebanyak 40-50 persen digunakan oleh rumah tangga, artinya ada sekitar 330 pengguna panel surya dari 500 ribu rumah tangga di Jakarta. Sisa pengguna berasal dari sektor komersial, industri dan bisnis.

Kendalanya, dalam skala mikro penggunaan EBT cukup memakan modal besar di awal, sehingga pemerintah perlu mengambil alih penyediaan EBT skala besar, seperti yang dilakukan Cina. Atau, setidaknya mengembangkannya untuk fasilitas-fasilitas publik tertentu seperti lampu merah. Namun, masalahnya, beranikah pemerintah menggusur industri tenaga fosil?

Baca juga artikel terkait MATI LISTRIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Teknologi
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani