tirto.id - Fikri Arigi (25) kelimpungan dan panik saat ingin berangkat ke daerah Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (4/8/2019) siang. Dari rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan, ia sudah berkali-kali memesan transportasi online GoRide, namun hasilnya nihil.
Siang itu Jakarta sedang tak dialiri listrik. Pun dengan wilayah lain di sekitarnya. Efeknya merembet ke buruknya sinyal ponsel.
"Saya udah panik banget. 20 menit nunggu enggak ada Gojek yang ngambil. Sinyal juga buruk. Padahal saya ada janji jam 2 siang di Cikini," katanya kepada reporter Tirto, Senin (5/8/2019) siang.
Alternatif yang tersedia adalah ojek pangkalan yang saban hari nongkrong di dekat SMP 115 Tebet. Itulah yang akhirnya membawa Fikri ke Cikini bertemu kolega kerjanya--meski dengan ongkos yang lebih tinggi.
"Pulangnya makin parah. Saya pesan Gojek jam 7 malam enggak ada respons sama sekali. Mana gelap di mana-mana. Frustrasi saya."
Fikri lagi-lagi harus merogoh kocek lebih dalam untuk naik ojek pangkalan agar bisa pulang ke rumah.
"Dua kali lipat [ongkosnya]. Lumayan juga, kan. Kesempatan mereka. Yang biasanya saya ke Cikini cuma Rp17 ribu, lha, dia minta hampir Rp40 ribu," katanya dengan nada kesal.
Hal serupa dialami Oliviana Malik (23). Perempuan yang bekerja di salah satu lembaga negara bidang kesehatan tersebut berencana ke daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk bertemu kekasihnya. Namun sore itu pukul 15.30 dia juga tak kunjung dapat ojek online.
"Akhirnya saya naik bajaj, dari rumah di Blok A ke Fatmawati. Lebih mahal banget. Untungnya pulang diantar pacar," kata Oliv sembari tertawa.
Oliv mengatakan, jika biasanya dari rumahnya di Blok A menuju Fatmawati hanya cukup membayar Rp13 ribu dengan Gojek/Grab, kemarin ia harus membayar hingga Rp30 ribu menggunakan bajaj.
Untung
Mohamad Agus (29) adalah pengemudi ojek pangkalan yang rutin nongkrong di jembatan antara RS Cipto Mangunkusumo dan Jalan Kimia ke arah Universitas Bung Karno. Ia salah satu orang yang diuntungkan dalam mati listrik Ahad lalu. Pelanggan yang ia dapat kemarin lebih banyak karena mereka tak bisa memesan ojek online.
"Orang-orang kan keseringan pakai [ojek] online. Pas sama saya mereka bilang ngeluh, sih," katanya kepada reporter Tirto.
Sejak Ahad siang dia banyak mengantarkan keluarga pasien RSCM. Kebanyakan dari mereka meminta diantar ke Terminal Bus Senen.
"Kan kemarin [listrik] mati dari siang, ya. 20an orang [pelanggan] mah ada. Banyak banget. Itu saya sampai jam 9 malam non-stop. Keadaan juga ramai, kan, orang-orang mau naik apa. Ya, adanya saya. Haha. Saya mah nongkrong saja," katanya santai.
"Pokoknya kemarin banyak banget. Alhamdulillah. Pemasukan dua kali lipat dari hari biasa, dah," akunya.
Agus enggan menjawab apakah dia memasang tarif lebih tinggi dari hari biasanya, mengingat tak ada transportasi online yang bisa digunakan.
Keberuntungan serupa dialami Zaki (27). Ia adalah pengemudi ojek yang biasa mangkal di depan DPRD DKI Jakarta dan di sekitar Jalan Jaksa, Jakarta Pusat.
"Banyak banget kemarin. Alhamdulillah, nih, kemarin biasanye kalau weekend gitu emang sedikit, karena kan PNS pada libur. Biasanya cuma 7-9 orang," katanya, Senin malam di Jalan Jaksa.
"Kemarin sampai berapa, ya. Banyak dah, 20an [orang pelanggan] mah ada kali. Deket-deket semua tapi memang," lanjutnya.
Tentu, banyaknya pelanggan yang ia antar berimbas ke isi dompetnya. "Bisa dua kali lipat lah [pemasukkan]," katanya.
Bahkan, Zaki bercerita, ada seorang ibu yang minta diantar ke Bogor karena bingung tak bisa mengandalkan Commuter Line.
"Cuma kejauhan. Biar kata [dibayar] mahal juga jauh banget, belum macet, kan. Ibu-ibunya nyanggupin [bayar harga tinggi]. Mungkin memang dia ngasih harga di bawah Gocar atau Grabcar enggak ngerti gue, cuma kitanya kan kejauhan. Capek juga," katanya.
"Belum tentu ada yang ngambil juga dari sana. Pulangnya dari Bogor saya gimana?" keluhnya sembari tersenyum.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino