Menuju konten utama

Jagoan Hollywood Memilih Donald Trump

Semua pesohor Hollywood mulai dari kelas terpelajar liberal seperti Merryl Streep sampai yang dianggap ceketer macam Kim Kardashian boleh memilih Hillary Clinton. Tapi Clint Eastwood, si jagoan Hollywood, memilih yang berbeda.

Jagoan Hollywood Memilih Donald Trump
Aktor Hollywood Clint Eastwood saat berpidato do kongres Partai Republik. AP/Lynne Sladky

tirto.id - Suatu hari, kata kritikus film Roger Ebert pada 1986, seseorang akan menulis karya ilmiah—yang komprehensif dan taat metodologi—tentang film-film Clint Eastwood, mencari pantulan visi dan gagasan di milieu sinematiknya yang luas, dari puluhan karakter yang pernah ia perankan. Hari yang dijanjikan itu boleh jadi kemarin atau hari ini, tetapi tulisan yang ia maksud tentu bukan tulisan ini.

Di Hollywood, aktor bagus tidak unik. Mereka bertumpuk-tumpuk seperti kangkung air di pasar ikan. Namun, Clint Eastwood istimewa. Jika umumnya aktor "dipilih" untuk suatu peran, seperti logam cair yang dituang ke dalam cetakan, Eastwood "memilih." Ia tidak menyesuaikan diri. Ia bahkan mendapat kepercayaan dari para pemodal buat memesan skenario—kemudian menyutradarai—film-film yang di dalamnya ia mendapat peran utama. Maka, menurut Ebert, setiap shot dalam film-film Eastwood mencerminkan pikiran, keputusan-keputusan, serta seleranya.

Dan dalam pemilu presiden Amerika Serikat yang lalu, selera Eastwood ialah Donald Trump.

Sebagian besar selebritas Holywood, mulai dari Meryl Streep hingga Kim Kardashian, dari Chloë Grace Moretz hingga Robert De Niro, mendukung Hillary Clinton. Mereka mengepul jutaan dolar dan hak pilih untuk kampanye mantan menteri luar negeri tersebut. Tetapi Eastwood tidak sudi ikut-ikutan. "Hillary dapat banyak duit hanya dari menjadi politikus," katanya. Padahal, menurutnya, politik praktis justru merupakan cara buat mengosongkan tabungan.

Dan yang lebih penting: "Kita telah menjadi generasi penjilat bokong, generasi pengecut," katanya. "Kini semua orang berpijak di atas kulit telur." Karena khawatir dianggap rasis, tolol, tak berpendidikan, dan “gemar mencengkeram memek tanpa izin”, misalnya, orang-orang belajar memalsukan diri. Di muka umum, mereka menyatakan persetujuan dengan hal-hal yang boleh jadi mereka tak yakini seecret pun.

Ia bosan menyaksikan kesukaan khalayak terhadap kepatutan politis atau political correctness. Dan Trump, menurutnya, membuang "semangat zaman" itu ke comberan. Eastwood tentu tak selalu menyetujui pandangan Trump, tetapi ia menghormati keterusterangannya.

Pendapat-pendapat Eastwood di atas dipetik dari wawancaranya dengan majalah Esquire yang terbit Agustus silam. Michael Hainey, si pewawancara, tentu menanyakan komentar Eastwood andai Hillary yang menang. Ia menjawab terbata-bata: "Mendengarkan suara Hillary selama empat tahun ialah pekerjaan yang tak gampang. Maksud saya, benar-benar tidak gampang."

Rasa gedeg Eastwood terhadap kepatutan politis bisa jadi mewakili keresahan banyak orang Amerika. Selama ini kepatutan politis sulit dibedakan dengan kepura-puraan: tak ada suara yang tidak enak didengar, tak ada wajah yang tidak rupawan, tak ada agama yang mengajarkan keburukan. Yang benar saja.

Keterusterangan ialah ciri yang berulang pada pelbagai karakter dalam film-film Eastwood. Inspektur Harold Callahan dari seri film Dirty Harry (1971-1988), misalnya, bisa dengan lempang membuka diri di hadapan lawan yang terpojok. “Saya mengerti jalan pikiranmu: 'Apakah dia sudah menembak lima atau enam kali?'” katanya, dalam nada yang hampir terapeutik dan dengan roman muka yang sekalem dangau. “Tapi asal kau tahu, ini adalah Magnum .44, pistol paling dahsyat sedunia. Ia bisa meledakkan kepalamu sampai jadi selumat-lumatnya. Jadi, sila tanyakan kepada dirimu sendiri: 'Apakah nasibku sedang baik?' Ya, apakah nasibmu sedang baik, Bajingan?”

INFOGRAFIK Clint Eastwood

Dalam Gran Torino (2008), Walt Kowalski yang diperankan Eastwood berkata kepada seorang paderi Katolik: “Menurutku, kau adalah perjaka berumur 27 tahun dengan pendidikan kelewat tinggi dan kegemaran menggenggam tangan nenek-nenek serta menjanjikan hidup abadi buat mereka.”

Dan ketika segerombolan preman Asia mengacau di lingkungannya, Kowalski yang merupakan veteran Perang Korea itu keluar rumah sambil menghunus shotgun. Salah seorang preman menyuruhnya pulang. “Ya, aku akan melubangi mukamu, lalu pulang dan tidur seperti bayi,” ujarnya. “Di Korea kami biasa menumpuk bajingan-bajingan sepertimu sampai setinggi lima kaki, menjadikannya ganti karung pasir.”

“Ini naskah yang bagus tetapi tidak patut,” kata Eastwood mengulang keluhan salah seorang rekannya tentang Gran Torino. Setelah bergadang membaca naskah itu, pagi-pagi sekali ia kembali menghampiri si rekan. “Kita akan mulai sesegera mungkin,” katanya.

Film itu dipenuhi tingkah dan ucapan yang menunjukkan rasialisme, misogini, serta wujud pikiran-pikiran tak patut lainnya, tetapi Eastwood mengerti bahwa sebuah film bisa saja bagus dan enak ditonton dan perlu meski menyalahi “moralitas permukaan” yang diimani khalayak—juga sebaliknya. Ia paham bahwasanya tugas utama seorang pembuat film ialah membuat film yang bagus; biarlah kotbah, propaganda, dan hasutan dikerjakan oleh tukang-tukang catut saja.

Maka, J. Edgar (2011), biopic penguasa Biro Investigasi Federal (FBI) J. Edgar Hoover yang disutradarai Eastwood, tidak sibuk mengomentari homoseksualitas Hoover. Ia menggambarkan keadaan itu tanpa balutan gula-gula dan menjadikannya elemen penyusun kepribadian sang karakter.

Hoover dikenang terutama sebagai arsitek pembunuhan John Dillinger, bandit termahsyur yang telah berkali-kali lolos dari jerat hukum. Namun, ia sesungguhnya jauh lebih besar ketimbang reputasi tersebut. Hoover mengepalai FBI selama 47 tahun, menguasai informasi-informasi rahasia tentang orang-orang berpengaruh di negeri itu—termasuk kehidupan seks mereka—dan menjadikannya modal politik. Ada anggapan bahwa ia adalah “orang terkuat nomor 2” di Amerika Serikat pada masa pemerintahan enam presiden (Coolidge, Hoover, Roosevelt, Truman, Eisenhower, Kennedy, Johnson, dan Nixon). Situasi itulah yang ditampilkan Eastwood dalam J. Edgar.

Roger Ebert menyambut keputusan penyutradaraan itu dengan gembira. “Mengingat bahwa skenario film tersebut dikerjakan oleh Dustin Lance Black, penulis skenario Milk, wajar bila orang mengira J. Edgar adalah potret seorang pria gay,” tulis Ebert. “Tetapi tidak. Dan itulah yang membuatnya semakin menarik. Ia adalah potret citra publik yang dipertahankan J. Edgar Hoover sepanjang hidupnya—bahkan dalam situasi privat.”

Clint Eastwood tentu tidak menentang kesetaraan gender dan membenci para pendatang dari Meksiko dan gemar menelan teori konspirasi sebagaimana dugaan banyak orang tentang pemilih Trump. Ia hanya beranggapan bahwa tawaran-tawaran Clinton yang serba patut itu dekat dengan dusta, lalu mengikuti panduan dasar pemilu: hindari yang terburuk.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Film
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani