tirto.id - Dahlan Iskan, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya. Mengenakan kemeja biru tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana berwarna hitam, suara bos Jawa Pos Grup itu terdengar lantang saat membaca nota keberatan atau eksepsi, Selasa 13 Desember 2016. Namun, saat membacakan salah satu bagian eksepsi, suara Dahlan beranjak pelan, lalu terisak.
“Sebenarnya masih ada yang lebih besar lagi pertaruhan harta saya untuk membuat PWU tidak terpuruk. Tapi izinkan... yang satu ini tidak saya ungkap, agar masih ada tersisa pahala untuk saya di sisi Yang Maha Kuasa,” katanya terbata-bata menjelang akhir eksepsi.
PWU kependekan dari PT Panca Wira Usaha, perusahaan daerah milik pemerintah Provinsi Jawa Timur, tempat Dahlan menjabat sebagai direktur utama periode 2000-2010. Dahlan dituduh terlibat dalam korupsi penjualan aset PT PWU.
Kendati menjadi terdakwa, Dahlan tidak ditahan karena alasan kesehatan. Ia hanya dikenakan tahanan kota. Sore hari selepas persidangan, di teras garasi rumahnya—kompleks perumahan mewah Sakura Regency di dekat Universitas Negeri Surabaya—Dahlan berujar bahwa dirinya “sengaja ditarget.”
“Nama baik dan reputasi saya pertaruhkan untuk PWU. Akhirnya, kok, ya masih jadi pesakitan,” katanya kepada Tirto.id.
Selain tim penasihat hukum, yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra, hadir pula sejumlah pengunjung, di antaranya mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad, akademisi Effendi Gazali, dan ekonom Faisal Basri. Ketiganya duduk berjejer di belakang Dahlan. Mereka menunggu hingga persidangan selesai dan menemani Dahlan pulang ke rumahnya.
“Saya datang langsung dari Jakarta,” kata Faisal. “Sebagai teman baik, saya khusus datang untuk memberi dukungan moral kepada Pak Dahlan Iskan.”
Sementara Abraham Samad berkata penegakan hukum harus didasari fakta dan alat bukti. “Kalau penegakan hukum didasari kebencian dan balas dendam, hukumnya nanti akan sewenang-wenang.”
Apa yang disampaikan Samad tak lepas dari pernyataan berulang kali Dahlan sejak diperiksa sebagai saksi hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, akhir Oktober 2016. Pernyataan itu diulanginya lagi dalam eksepsi. Katanya: “Lagi salah mongso (waktu) atau lagi dimongso (dimakan).”
Saat ditanya siapa yang “sengaja” menjeratnya, Dahlan menjawab dengan kalimat bersayap, “Ya yang lagi berkuasalah. Karena kalau tidak lagi berkuasa, kan, pasti tidak mungkin bisa memangsa saya seperti ini.”
Dahlan Iskan Didakwa Rugikan Negara 11 Miliar
Dahlan didakwa melakukan tindak korupsi penjualan 33 aset PT PWU, terutama dua aset di Kediri dan Tulungagung. Peristiwanya terjadi pada 2003, enam tahun sebelum dia menjabat Dirut PLN dan menteri BUMN.
Tim Jaksa Penuntut Umum yang diketuai I Nyoman Sucitrawan meyakini, selaku Dirut PT PWU Dahlan telah menyalahgunakan jabatan atau wewenangnya sehingga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Pada surat dakwaan bertanggal 18 November 2016, jaksa menilai mekanisme penjualan aset PT PWU tidak sesuai prosedur dan nilai jualnya di bawah harga pasar saat itu. Dakwaan yang disampaikan dalam dokumen setebal 22 halaman itu menyebutkan penjualan dua aset PT PWU tidak disertai persetujuan DPRD maupun keputusan Gubernur Jatim yang saat itu dijabat oleh Imam Utomo.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), harga jual aset di Kediri yang seharusnya Rp24 miliar hanya terjual Rp17 miliar. Sementara aset di Tulungagung yang nilainya ditaksir Rp10,08 miliar hanya dijual Rp8,75 miliar. Total kerugian kedua aset itu Rp8,3 miliar. Belum teermasuk biaya pengosongan aset Kediri dan Tulungagung yang tak dapat dipertanggungjawabkan, masing-masing senilai Rp1,55 miliar dan Rp885 juta. Plus penerimaan dari penjualan aset di Kediri yang tidak ada kejelasannya senilai Rp250 juta.
“Akibatnya negara dirugikan (total) Rp11 miliar,” kata Sucitrawan.
Tak hanya itu. Pihak Kejati juga menemukan bukti bahwa dalam proses jual-beli PT PWU di Kediri, Dahlan lebih dulu menyalahi prosedur. Akta jual-beli dilakukan pada 3 Juni 2003, padahal lelang penjualan aset pada 16 Juni 2003. Artinya, nilai dan pembeli sudah ditentukan sebelum proses lelang.
Temuan itu diperoleh berdasarkan keterangan pembeli aset, Oepojo Sardjono dan Sam Santoso, direktur utama dan direktur PT Sempulur Adi Mandiri. “Keduanya mengaku kalau sudah bertemu dengan Pak Dahlan sebelum adanya proses lelang. Dan pertemuan itu juga diakui Pak Dahlan sendiri,” kata jaksa Ahmad Fauzi.
Dahlan didakwa pasal tindak pidana korupsi, dan diancam hukuman seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara dan minimal 4 tahun penjara. Kasus ini sudah lebih dulu menjerat mantan ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana, yang saat jual-beli aset menjabat kepala biro, manajer pemasaran, dan ketua tim pelepasan aset PT PWU. Wisnu ditahan di Rutan Medaeng, Sidoarjo, sejak 6 Oktober 2016.
Pembelaan Tim Pengacara Dahlan Iskan
Tim pengacara Dahlan telah menyiapkan argumentasi hukum untuk membantah dakwaan jaksa. Mereka menilai, objek tanah di Kediri dan Tulungagung sudah bukan aset daerah melainkan aset PT PWU. Adapun aset pemerintah daerah Jatim berupa 127.167.117 lembar saham.
Kepada Tirto.id, mereka membeberkan kronologi pelepasan aset PT PWU, lewat mekanisme pembahasan di DPRD Jatim dan disetujui gubernur Jatim saat itu, Imam Utomo. Permohonan izin pelepasan aset ini mengacu undang-undang perseroan terbatas.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, surat dari Ketua DPRD Jatim jelas menyebut adanya rapat dengar pendapat antara komisi keuangan dengan PT PWU. “Tapi jaksa menganggap itu hanya persetujuan pribadi Ketua DPRD dan bukan lembaga. Mana ada pribadi Ketua DPRD bisa menulis surat?” katanya.
Tuduhan jaksa bahwa Dahlan menjual kedua aset PT PWU di Kediri dan Tulungagung tidak sesuai dengan nilai jual objek pajak saat itu dibantah tim kuasa hukum. Jaksa menilai proses jual-beli aset tersebut tidak pernah melalui tafsiran harga aset.
Versi pengacara Dahlan, pelepasan kedua aset PT PWU dilakukan setelah ada penaksiran harga, dengan menggandeng PT Satyatama Graha Tara, perusahaan konsultan properti yang berbasis di Jakarta. Aset di Kediri, berdasarkan hitung-hitungan itu, senilai Rp13,86 miliar. Adapun nilai aset di Tulungagung Rp8,41 miliar.
Poin lain, yakni harga jual di bawah harga pasar, juga dibantah. Menurut Mursid Mudiantoro, salah satu pengacara Dahlan, hak guna usaha aset di Kediri telah dua tahun mati karena perusahaan tak memiliki uang untuk membayarnya. Sedangkan HGU aset di Tulungagung hanya tersisa setahun, dan pemerintah Kabupetan Tulungagung sendiri mengeluarkan rencana tata ruang wilayah yang melarang berdirinya pabrik di dalam kota. Itulah yang dianggap menguatkan aset untuk segera dijual.
Dahlan Iskan Berharap Putusan Onslag
Seminggu setelah sidang eksepsi, 20 November, jaksa menyatakan “menolak semua” keberatan terdakwa. Mereka tetap melanjutkan proses kasus dugaan korupsi Dahlan Iskan karena meyakini PT PWU merupakan badan usaha milik daerah. Artinya, hasil dan kerugian negara dapat dihitung.
Ketika Dahlan hendak menanggapi jaksa, hakim menolak karena “sudah tidak ada waktu” untuk merespons.
“Karena membutuhkan waktu, sidang selanjutnya, yakni putusan sela, pada 30 Desember,” kata hakim M. Tahsin, sebagaimana dikutip Antara.
Tim pengacara Dahlan sendiri berharap sidang akan berakhir di putusan sela. Namun jika akhirnya dilanjutkan, mereka meyakini Dahlan tidak bersalah.
“Mudah-mudahan dalam putusan akhir nanti, Pak Dahlan bisa dibebaskan, bisa juga onslag. Onslag itu perbuatannya memang ada, tapi bukan tindak pidana,” kata Yusril kepada Tirto.id.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Fahri Salam