tirto.id - Jarid Wilson merasa kewalahan menghadapi emosi negatif yang sering muncul ketika anak pertamanya lahir pada tahun 2015. Padahal, ia begitu senang saat mengetahui sang istri sedang mengandung. Kepada Time, Wilson mengaku sedari kecil dirinya ingin menjadi seorang ayah.
Sejak sang buah hati lahir, ia menyaksikan bagaimana sang istri dengan segera dapat menjalin hubungan dengan anak mereka. Sementara itu, Wilson merasa tak mempunyai koneksi seperti yang dimiliki pasangannya. Ia lantas berpikir bahwa dirinya bukanlah ayah yang baik dan tak akan berhasil menjadi seorang bapak.
Pria yang berprofesi sebagai pendeta tersebut pun kerap menjauhkan diri dari keluarga dan sering khawatir berbuat salah. Perasaan itu menghantui Wilson hingga membuatnya depresi. Akhirnya, ia meminta bantuan konselor saat sang buah hati menginjak usia empat bulan.
Serupa dengan Wilson, Bradley (34) mengalami depresi usai anak kedua dan ketiganya lahir. Tapi, pria yang tinggal di Manchester, Inggris tersebut butuh delapan bulan atau lebih untuk menyadari bahwa dirinya mengidap gangguan mental.
“Saat itu anak tertua kami berumur empat tahun. Jadi kami hidup bersama tiga anak, sepasang bayi kembar baru lahir, dengan tekanan besar sebagai orang tua,” ujarnya kepada Telegraph.
Bradley menjelaskan bahwa suasana hati dan berat badannya berubah kala itu. Ia kerap menghindari panggilan telepon, janji bertemu, perayaan hari jadi pernikahan, dan teman. Walhasil, hubungan Bradley dengan sang istri dan keluarga perlahan memburuk. “Saya menjadi gampang marah. Saya berada di posisi yang buruk,” ujarnya.
Kepada Elle, Mark Williams juga menceritakan depresi yang ia derita setelah anak pertamanya lahir pada tahun 2004. Ia mengatakan bahwa dirinya tak merasakan apa yang diucapkan orang, yakni perasaan cinta luar biasa saat perawat menyerahkan sang buah hati di bangsal bersalin.
“Saya hanya ingin memotong tali pusarnya dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin,” jelasnya.
Persoalan seperti depresi pasca-melahirkan sang istri dan masalah keuangan menjadi penyebab pria asal Bridgend tersebut terserang depresi. Ia bercerita bahwa dirinya sering menenggak minuman keras dan berjudi untuk menghilangkan pelik persoalan yang ia alami.
Seperti yang dilaporkan Elle, depresi pasca-melahirkan termasuk dalam gangguan mental yang dialami saat masa kehamilan atau setelah proses persalinan berlangsung. WHO mencatat sekitar 10 persen ibu hamil dan 13 persen ibu melahirkan mengalami gangguan mental, umumnya adalah depresi. Di negara-negara berkembang, persentase ibu hamil dan ibu melahirkan yang mengidap gangguan mental lebih tinggi, yakni mencapai 15,6 persen dan 19,8 persen.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa suami juga menampakkan gejala depresi usai sang istri melahirkan. Penelitian Elia Psouni, dkk dari Lund University menyebutkan bahwa 27 persen dari 447 ayah yang mempunyai anak usia 0 hingga 18 bulan di Swedia mengidap gejala depresi. Sementara itu, kajian Growing Up in New Zealand menyebutkan satu dari 25 laki-laki memperlihatkan gejala depresi pasca-melahirkan.
Babycentre menjelaskan pria yang mengalami depresi pasca-melahirkan menunjukkan gejala-gejala suka menghindari teman atau enggan bersosialisasi, tak nafsu makan, merasa cemas serta khawatir, tidak menampilkan performa bagus di tempat kerja, kesulitan buat tidur, dan tak berkeinginan untuk melakukan hubungan seks. Seperti yang dilaporkan Elle, mereka juga merasa rendah diri dan tidak cukup baik, lesu, serta munculnya pikiran untuk bunuh diri juga melukai diri sendiri atau keluarga.
Menurut Alodokter, munculnya depresi pasca-melahirkan pada pria dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni masalah finansial, keadaan pasangan usai persalinan, dan status baru sebagai seorang ayah. Dalam hal ini, kondisi istri yang mengalami depresi pasca-melahirkan dapat menyumbang stres yang mengakibatkan depresi pada laki-laki. Sementara itu, kebutuhan anak baru lahir yang banyak bisa menyebabkan persoalan keuangan karena tak jarang sang istri mesti berhenti bekerja untuk merawat sang buah hati.
Kondisi kesehatan mental masa lalu, di sisi lain, juga menjadi faktor yang menyebabkan depresi pasca-melahirkan. Psikolog kesehatan mental perinatal Andrew Mayers dari Bournemouth University mengatakan depresi pasca-melahirkan yang dialami para pria berhubungan dengan aspek psikologis dan sejarah seseorang. Oleh karena itu, laki-laki yang pernah mengalami gangguan mental sebelum proses kehamilan atau persalinan dapat terkena depresi pasca-melahirkan.
Kepada The Guardian, peneliti Elia Psouni dari Departemen Psikologi Lund University mengatakan depresi pasca-melahirkan bisa ditangani lewat cognitive behavioural theraphy. Alodokter juga menjelaskan beberapa obat dapat dikonsumsi oleh seseorang yang mengalami depresi pasca-melahirkan.
Namun, Mayers mengatakan bahwa laki-laki jarang meminta bantuan tenaga kesehatan profesional saat mengalami depresi. Hal ini dikarenakan norma sosial di banyak negara mendorong mereka untuk menekan dan tak memperlihatkan perasaan. Padahal menyandang status baru sebagai seorang ayah tidaklah mudah. Mereka mesti memenuhi kebutuhan keluarga dan tak jarang pula mengalami perubahan relasi dengan pasangan dan pengurangan pendapatan.
Mayers menjelaskan dukungan pada ayah yang mengalami depresi sama pentingnya dengan bantuan yang diberikan pada ibu. Hal ini dikarenakan gangguan mental yang dialami orang tua dapat memengaruhi tumbuh kembang emosi dan sikap anak.
Editor: Maulida Sri Handayani