tirto.id - Stigma bahwa kebudayaan dan agama mayoritas yang dianut di negara-negara Timur Tengah bersifat represif terhadap perempuan sudah jamak di mata masyarakat berbagai penjuru dunia, terlebih di dunia Barat. Namun, dalam edisi khusus Ekspresi Gender yang dirilis Januari 2017 silam, majalah National Geographic memublikasikan data yang mengindikasikan adanya penurunan kesenjangan gender di negara yang dianggap paling represif terhadap perempuan: Arab Saudi.
Seperti ditulis oleh Kelsey Nowakowski dalam majalah tersebut, di negara Timur Tengah, terdapat penurunan kesenjangan ekonomi antargender yang diasumsikan terjadi akibat kian terbukanya kesempatan perempuan untuk bekerja. Selama dua puluh tahun terakhir, jumlah perempuan yang lulus dari universitas di Arab Saudi meningkat signifikan dan pemerintah sudah menunjukkan dukungan agar mereka mendapat kesempatan kerja. Demikian Nowakowski memberikan penjelasan atas data yang dikutipnya dari Laporan Kesenjangan Gender Global, Forum Ekonomi Dunia.
Penyusutan kesenjangan di Timur Tengah tentu tak lepas dari peran aktif para pejuang hak-hak perempuan di sana. Berjuang lebih keras menentang nilai-nilai tradisional patriarkis yang kerap melibatkan kekerasan dan pembatasan ruang gerak perempuan, sejumlah nama mencuat dalam perbincangan publik dunia. Yang lebih menarik, sebagian dari mereka adalah perempuan-perempuan yang dipersunting penguasa.
Kekuatan dan pengaruh yang dimiliki perempuan-perempuan dari keluarga kerajaan di Timur Tengah rupanya tak cuma ditemukan pada masa modern. Jauh sebelum itu, sejarah mencatat sejumlah nama perempuan yang diperistri penguasa di Timur Tengah dan menggunakan kekuatannya untuk menolak represi penjajah dan menantang tradisi yang telah lama dilanggengkan penguasa. Siapa saja perempuan-perempuan hebat ini?
Sheikha Mozah dari Qatar
Salah satu gambaran ratu Timur Tengah yang gencar menyuarakan isu-isu sosial dapat ditemukan dalam sosok Sheikha Mozah, perempuan yang diperistri mantan penguasa Qatar pada tahun 1977, Emir Hamad bin Khalifa Al Thani.
Perempuan bergelar Her Highness Sheikha Mozah binti Nasser Al Missned ini memperoleh gelar sarjana di bidang Sosiologi dari Qatar University dan Master of Arts di bidang Kebijakan Publik Islam dari Hamad bin Khalifa University’s. Intelegensinya pun mendatangkan gelar doktor kehormatan dari Virginia Commonwealth University, Texas A&M University, Carnegie Mellon University, Imperial College London, dan Georgetown University.
Sheikha Mozah menaruh perhatian tinggi terhadap pendidikan di negaranya dan inilah yang membuatnya menduduki posisi sebagai Chairperson dari organisasi nonprofit Qatar Foundation for Education, Science and Community Development. Di samping bidang pendidikan, Sheikha Mozah juga menjadi petinggi di lembaga-lembaga kesehatan.
Catatan aktivisme Sheikha Mozah tidak terbatas di Qatar saja. Ia sempat merilis banyak proyek global seperti Silatech pada 2008 yang berfokus pada isu pemberdayaan anak muda di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sekjen PBB pun pernah menunjuknya sebagai duta Alliance of Civilizations (AOC). Masih terkait dengan PBB, Sheikha Mozah memperpanjang portfolionya sebagai Steering Committee Member untuk Global Education First Initiative dan UNESCO’s Special Envoy for Basic and Higher Education di mana ia berkontribusi dalam proyek International Fund for Higher Education di Irak.
Dilansir dari situs Bright Side, Sheikha Mozah juga memiliki selera busana yang unik. Ia tidak menolak tradisi berbusana dari negaranya, tetapi juga tidak melupakan sentuhan modern dalam pilihan pakaiannya. Perpaduan antara dua gaya ini yang membuatnya menonjol di dunia fashion. Berkat perannya pula, turban kembali menjadi tren fashion modern. Sheikha Mozah juga diwartakan sering mengunggah foto-fotonya di Instagram hingga mengundang decak kagum para perempuan lantaran gayanya yang eklektik.
Ratu Noor dari Yordania
Beberapa ratu di Timur Tengah berasal dari luar negara tempat dia bertakhta, tetapi salah satu yang paling mendapat sorotan adalah Ratu Noor dari Yordania. Perempuan ini lahir dengan nama Lisa Najeeb Halaby di Washington, AS, dari keluarga Arab-Amerika. Dilansir dari CNN, pada tahun 1978, ia berpindah agama ke Islam dan menikahi Raja Hussein yang kemudian memberinya nama Noor Al-Hussein, berarti “cahaya Hussein”. Latar belakang Ratu Noor yang berasal dari negara non-Arab sempat mendapat antipati dari masyarakat Yordania, tetapi komitmen dan tindak tanduknya dalam berbagai aspek di negara tersebut berhasil memutar balik pandangan mereka.
Tercatat dalam situs Biography, Ratu Noor sempat bekerja di bidang urban planning di AS, Australia, Iran, dan beberapa negara Arab. Semenjak menikah dengan penguasa Yordania, ia dikenal karena aksi filantropisnya, termasuk advokasi anak, perlindungan lingkungan dari perubahan iklim, serta mendukung pemahaman antarbudaya.
Sebagaimana ratu-ratu yang tercatat sebagai perempuan-perempuan hebat dan berpengaruh lainnya, ia dianugerahi berbagai penghargaan dan doktor kehormatan di bidang Hubungan Internasional, Hukum, dan Humaniora. Tidak hanya itu, lulusan Princeton jurusan Arsitektur dan Urban Planning ini juga sempat menulis buku Hussein of Jordan (KHF Publishing, 2000), dan Leap of Faith: Memoirs of an Unexpected Life (Miramax Books, 2003) yang menjadi New York Times #1 best seller dan diterjemahkan ke dalam 17 bahasa.
Ratu Rania dari Yordania
Masih dari Yordania, ratu lainnya yang menyita perhatian publik dunia adalah Ratu Rania. Situs BBC menulis, perempuan keturunan Palestina ini memiliki kepedulian besar terhadap isu hak-hak anak dan perempuan. Salah satu momen yang mengangkat namanya adalah saat ia mengeluarkan pernyataan menolak honour killing, yakni tradisi membunuh perempuan oleh laki-laki dalam keluarga ketika didapati terlibat perselingkuhan atau kehilangan keperawanan sebelum menikah.
Rania menikahi Abdullah bin Al-Hussein pada tahun 1993 dan mereka diangkat sebagai ratu dan raja pada 1999. Semenjak saat itu, pasangan penguasa ini mulai menggunakan pendekatan populis dalam pemerintahan monarki di Yordania. Dalam profil Ratu Rania yang ditulis di situs Jordan Embassy US, ia dikatakan memiliki peran signifikan dalam mempromosikan toleransi dan dialog antarbudaya. Ratu Rania juga tercatat pernah berkampanye di forum-forum internasional seperti Jeddah Economic Forum, The Kennedy School od Government di Harvard University, dan The Skoll Foundation di Inggris. Dalam aspek kesehatan, Ratu Rania pernah dianugerahi Life Achievement Award dari International Osteoporosis Foundation berkat kepeduliannya terhadap penyakit tulang tersebut.
Dilansir dari Forbes, perempuan yang sempat masuk daftar The World’s 100 Most Powerful Women tahun 2011 versi majalah tersebut juga terlibat dalam proyek Girl’s Education Initiative dari PBB yang mencakup perhatian terhadap kualitas ruang kelas, standar pengajaran, akses komputer, dan keterlibatan keluarga dalam pendidikan. Sebagaimana Ratu Noor, Ratu Rania juga sempat menelurkan buku yang menjadi New York Times Best Seller bertajuk The Sandwich Swap pada tahun 2010 untuk segmen anak-anak dan mengadvokasi toleransi budaya.
Dari segi fashion, sama seperti Sheikha Mozah, Ratu Rania juga mencuri perhatian publik luas. Gaya berbusananya dipuja banyak pemerhati fashion dan perempuan-perempuan berbagai penjuru dunia. Situs Hello Magazine misalnya, mengklaim Ratu Rania sebagai salah satu salah satu anggota keluarga kerajaan dengan gaya berbusana paling menawan.
Putri Ameera Al-Taweel dari Arab Saudi
Beranjak ke Arab Saudi, ada menantu keponakan raja Arab, Putri Ameera yang pernah menikahi Pangeran Alwaleed bin Talal pada usia 18 tahun. Kepedulian Al-Taweel dalam bidang kemanusiaan mengangkat namanya di lingkup perbincangan internasional. Perempuan yang meraih gelar Magna Cum Laude di bidang Business Administration dari University of New Haven diwartakan mendukung program-program pengentasan kemiskinan, penanggulangan bencana, dialog antarkeyakinan, dan pemberdayaan perempuan lewat keterlibatannya dalam Alwaleed bin Talal Foundation dan Times Entertainment.
Seperti dituliskan dalam situs Omics International, bersama dengan keluarga kerajaan Inggris, Pangeran Philip, Duke of Edinburgh, Putri Ameera membuka Prince Alwaleen bin Talal Centre of Islamic Studies di University of Cambridge. Dari Pangeran Philip pula, ia memperoleh 800th Anniversary Medal for Outstanding Philanthropy.
Salah satu wacana yang sempat diangkat Putri Ameera terkait perjuangan hak perempuan adalah hak menyetir di Arab Saudi. Perempuan yang meraih penghargaan Woman Personalty of The Year Award dari Middle East Excellence Award Institute ini juga pernah membuat tweet terkait kesetaraan gender yang berbunyi, “Kami ingin hak yang setara, kami ingin(sesuatu) yang telah diberikan Tuhan kepada kami, rasa hormat dan martabat untuk hidup sebagai warga negara yang setara” seperti dikutip Newsweek.
Ketika Kementerian Tenaga Kerja menolak sugesti Women’s Chamber of Commerce untuk meningkatkan kuota perempuan dalam industri manufaktur dan membuat transportasi khusus karyawan, Putri Ameera juga mengekspresikan kekecewaannya melalui Twitter dengan mengatakan, “Sungguh dangkal (tindakan) mengabaikan pemberdayaan perembuan dalam industri dan tidak mendengarkan pakar-pakar perempuan.”
Sikap vokal putri yang tak mengenakan jilbab ini terhadap isu-isu kemanusiaan dan perempuan tak pelak membuat kakak iparnya, Pangeran Khalid, memperingatkan Pangeran Alwaleed untuk mengontrol tingkah laku Putri Ameera di hadapan media. Jika tidak, mereka akan dikenai hukuman tanpa peringatan tambahan lagi.
Zenobia dan Mavia
Jauh sebelum ratu dan putri yang disebutkan sebelumnya menggunakan pengaruhnya untuk berkontribusi terhadap kondisi sosial secara global, ada dua ratu yang dikatakan sebagai pejuang dari Timur Tengah. Kisah mereka merupakan bagian dari sejarah lisan yang kerap kali sulit ditemukan sumber-sumber primernya, tetapi terus hidup dalam legenda masyarakat.
Adalah Zenobia, ratu dari Palmyra (yang kini masuk daerah Syria) yang dikenal berani menentang penjajahan Romawi dan hendak mendirikan kerajaannya sendiri di daerah timur koloni Romawi. Menariknya, perempuan yang hidup pada abad ke-3 ini bersuamikan Odaenathus yang bekerja untuk penguasa Romawi. Sebagaimana ditulis di situs Britannica, tak seperti pasangannya, Zenobia menolak takluk kepada penjajah. Pascakematian suami dan anak laki-lakinya pada sekitar tahun 267-268, ia berhasil menaklukan Mesir dan kemudian beberapa wilayah Asia Kecil hingga akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan atas Romawi. Zenobia dilaporkan meninggal setelah ia tertangkap oleh Aurelius dari Kerajaan Romawi.
Seabad setelah kemunculan Zenobia, ada perempuan pejuang lain dari dunia Arab: Mavia. Ia dipercaya oleh ahli sejarah klasik, Noel Lenski yang menyatakan kepada majalah Archeolog, berasal dari suku nomadik Saracen penganut Islam yang berhabitat di selatan Palestina dan utara Sinai. Sementara situs Ancient Origins menulis, Mavia diyakini sebagai putri Tanukhids, penguasa yang kehilangan dukungan dari suku Arab dan bermigrasi ke utara Peninsula Arab.
Mavia menikahi al-Hawari yang pada tahun 375 menjabat sebagai raja suku Tanukh. Setelah suami Mavia meninggal, Kerajaan Romawi pimpinan Raja Valens yang masih menjajah daerah Arab beranggapan lebih mudah untuk menaklukan dan mengkristenisasi suku Mavia. Namun demikian, Mavia menolak ide tersebut dan berupaya mengalahkan penjajahan Romawi. Beberapa sejarawan berspekulasi Mavia sempat mengonversi keyakinannya akibat tekanan penjajah, tetapi bukti jelas mengenai hal ini belum ditemukan hingga kini.
Berdasarkan cerita turun temurun, Mavia digambarkan sebagai sosok perempuan tangguh yang memimpin para tentara dan dikenal sebagai ahli strategi yang brilian. Situs Inscriber Magazine menuliskan, Mavia menggunakan teknik gerilya dalam mengalahkan pasukan Romawi hingga membuat mereka kewalahan sekalipun jumlah pasukan Romawi lebih besar dari pasukan Tanukh. Ini akibat pengetahuan seputar medan dan kecerdikan pasukan Tanukh yang mengungguli pendatang yang hendak mengekspansi kekuasan di daerah Arab tersebut.
Kisah-kisah perempuan hebat ini mengafirmasi bahwa perempuan di dunia Arab tak lagi semestinya dipandang sebelah mata. Sejarah mencatat pemikiran dan aksi mereka berhasil membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, mulai sosial budaya hingga politik. Popularitas tidak hanya datang akibat mahkota di atas kepala, tetapi juga dari isi kepala dan empati yang dimiliki para perempuan pendamping penguasa di Timur Tengah ini.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani