tirto.id - Dalam dua tahun terakhir, seiring menguat dan meluas pengaruh Hizbut Tahrir Indonesia ke kampus, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta membuat aksi kecaman terhadap HTI.
Pada 17 Juni 2016, ratusan mahasiswa dan alumni kampus ini menggelar aksi menolak keberadaan HTI di sana. Aksi di depan Rektorat ISI itu didukung oleh petinggi kampus.
Aksi serupa muncul pada 22 Mei 2017. Kelompok atas nama Kesatuan Aksi Alumni-Mahasiswa Institut Seni Indonesia mendeklarasikan petisi yang mendesak pemecatan dosen, karyawan, dan mahasiswa ISI Yogyakarta yang menjadi simpatisan, anggota, dan pengurus HTI. Aksi ini juga mendukung rencana pemerintah membubarkan HTI.
Tindakan ini sebagian didorong rasa terkejut bahwa bahkan di kampus yang didominasi komunitas seniman dan tak punya kedekatan dengan sejarah panjang tradisi gerakan Islam kampus, bisa "disusupi" oleh organisasi politik yang mengusung ide khilafah.
Meski demikian, Pembantu Rektor ISI Bidang Kemahasiswaan, Anusapati, mengatakan tipis kemungkinan Rektorat ISI menuruti desakan tersebut. Langkah itu, katanya, terlalu jauh.
“Mereka juga, kan, teman-teman kita sendiri. Kalau statusnya PNS juga jadi urusan pemerintah pusat,” ujarnya di Gedung Rektorat ISI Yogyakarta, Kamis kemarin.
Anusapati menegaskan Rektorat ISI lebih berfokus membatasi kegiatan HTI agar pengaruh pahamnya tidak meluas di kalangan mahasiswa.
“Sebenarnya, setelah ada keputusan pemerintah, langkah kami pada 2016 mendapatkan dasar lebih kuat. Tapi, sampai sekarang, kami belum membahas rencana baru terkait HTI di ISI,” katanya.
Baca Laporan khusus Tirto hari ini mengenai perkembangan terbaru HTI, termasuk beredarnya dokumen kepengurusan HTI yang bisa memicu diskriminasi: Pengikut HTI dalam Bayang-Bayang Pengawasan
Anusapati membenarkan sejumlah dosen ISI menjadi anggota HTI. Sebagiannya menjadi pengurus lembaga seni bernama Khilafah Arts Network (KHAT), yang berdiri di Yogyakarta pada medio 2016.
Deni Junaedi, yang menolak diwawancara, adalah ketua Khilafah Arts Network. Dalam satu tulisan yang membahas retrospeksi karyanya lewat KHAT, Deni berkata ia aktif dalam organisasi politik HTI sejak 2008.
Anusapati menjelaskan, sebelum ada aksi penolakan HTI pada 2016, Rektorat ISI telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Rektor tentang larangan organisasi masyarakat “berpaham radikal” dan partai politik masuk ke kampus. SK Rektor itu terbit pada 16 Juni 2017.
“Kami tidak secara khusus menyebut melarang HTI, sebab tak ada dasarnya. SK Rektor itu secara umum melarang semua ormas berpaham radikal masuk ke kampus kami,” kata Anusapati.
Namun, Anusapati membenarkan sasaran SK Rektor itu mengarah pada HTI. Aturan ini muncul sebab pimpinan kampus ISI mengklaim telah menerima "banyak laporan" yang mengeluhkan aktivitas HTI.
“Mereka menjaring banyak mahasiswa baru. Kami tak mau mahasiswa baru terkena brain wash paham mereka,” ujarnya.
Anusapati menambahkan, setelah SK Rektor itu terbit, Rektorat ISI merombak kepengurusan masjid kampus. Ini lantaran mereka menerima "banyak keluhan" soal masjid kampus ISI menjadi markas kegiatan HTI.
Selain kerap menjadi lokasi penyebaran buletin dan diskusi soal gagasan HTI, para khatib Jumat di masjid kampus ISI terindikasi berafiliasi dengan organisasi politik tersebut.
“Setelah kepengurusan masjid dirombak, tak ada lagi selebaran, diskusi, dan materi khotbah berisi gagasan mereka. Kami membatasi kegiatannya saja. Kalau pemikiran, tak mungkin dibatasi,” katanya.
Anusapati mengatakan Rektorat ISI berupaya hati-hati dalam membatasi pengaruh HTI agar "tidak mengarah pada upaya memberangus kebebasan." Karena itu, mayoritas bentuk pembatasan kegiatan disandarkan dari adanya laporan.
Misalnya, pada 2016, Rektorat ISI menyadari basis HTI di kampus berakar pada organisasi intrakampus bernama Keluarga Mahasiswa Islam (KMI) ISI. Tahun lalu, organisasi itu mengalami pergantian pengurus. Hingga sekarang, Rektorat ISI menolak mengesahkan kepengurusan baru ini.
“Soalnya ada masalah. Pemilihan kepengurusan baru itu diprotes mahasiswa lain, BEM juga menolaknya. Jadi kepengurusan baru tidak kami sahkan dulu,” kata Anusapati.
Ia menduga KMI ISI sejak lama menjadi alat HTI membangun basis simpatisan di ISI. “Sepertinya sudah mengakar, dari angkatan-angkatan sebelumnya,” tambahnya.
SK badan hukum HTI dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM pada Rabu lalu, 19 Juli, menyusul terbitnya Perppu Ormas 2/2017 pada pertengahan pekan lalu. Kepolisian mengatakan melarang kegiatan dakwah HTI, termasuk aktivisnya tidak boleh lagi memakai nama, lambang, bendera atau atribut HTI.
"Kalau dakwahnya jelas-jelas anti-Pancasila, anti-NKRI, akan kami tertibkan dan amankan," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto.
Pihak HTI tengah menimbang untuk melakukan gugatan hukum setelah organisasinya dibubarkan.
Menjelang dan setelah HTI dibekukan, beredar dokumen yang belum sepenuhnya terverifikasi yang memuat daftar nama pengurus, anggota, dan simpatisan HTI dari kalangan aparatur sipil negara, termasuk dari akademisi, di 34 provinsi. Dokumen itu salah satunya mencantumkan dua nama dosen dari ISI Yogyakarta.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam