tirto.id - Pembelaan diri dari tindak kejahatan yang dialami seseorang masih mendapat perlindungan dalam hukum menurut syarat tertentu.
Kejahatan tidak selamanya mulus dilakukan oleh pelaku. Kadang kejahatan tersebut justru berbuntut dengan tewasnya sang pelaku. Korban melakukan perlawanan pada pelaku sebagai wujud pembelaan diri.
Hal serupa pernah terjadi dalam proses pengadilan di Kabupaten Malang. Pada 14 Januari 2020, pelajar 17 tahun bernama ZL divonis pembinaan selama 1 tahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam.
Kronologi kejadiannya, saat itu ZL bersama pacarnya pergi bersama naik motor pada 8 September 2019.
Di tengah jalan sekitar ladang tebu yang sepi, mereka dibegal sejumlah orang. Pelaku hendak merampas barang berharga, termasuk akan melakukan rudapaksa pada pacar ZL.
ZL yang marah dengan aksi nekat pelaku, seketika melakukan perlawanan untuk membela diri. Dalam perkelahian tersebut menyebabkan pembegal bernama Misnan tewas.
Jika terjadi kasus demikian, apakah diatur mengenai pembelaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
Bunyi Pasal 49 KUHP
Persoalan terkait pembelaan diri dalam tindak pidana sebenarnya telah diatur pula dalam KUHP. Aturan yang terkait ada di Pasal 49. Dikutip dari laman Kejari Sukoharjo, bunyi pasal tersebut yaitu:
Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Batasan pembelaan diri Pasal 49 KUHP
Mengutip laman Unpar, dalam Pasal 49 KUHP menjelaskan tentang pembelaan diri (noodweer) dan pembelaan diri luar biasa (noodweer excess).
Unsur pembelaan diri tercermin pada Pasal 49 ayat (1). Lalu, pembelaan diri luar biasa ada di Pasal 49 ayat (2).
Perbedaan unsur pembelaan di antara dua ayat tersebut terletak pada adanya goncangan jiwa yang hebat di pembelaan diri luar biasa.
Goncangan jiwa yang hebat dimaknai dengan keadaan batin atau jiwa seseorang yang tidak tetap. Dirinya mendapati perasaan gelisah, takut, tidak aman, hingga cemas dengan tingkatan tinggi sehingga mengganggu jiwa dan batinnya.
Batasan dari suatu pembelaan telah dilampaui ketika pembelaan yang sebenarnya sudah selesai, namun orang tersebut tetap menyerang pelaku penyerangan. Dia tetap bertindak melakukan pembelaan meski penyerang sudah tidak lagi melakukan aksi serangannya.
Penentuan pertanggungjawaban seseorang atas hal itu ditinjau dari keadaan jiwanya dan meninjau kaitan antara perbuatan dengan kejiwaan pelaku.
Pada pembelaan diri luar biasa dan pelaku menghadapi guncangan jiwa yang hebat, perbuatannya tetap dianggap melawan hukum. Namun, dirinya tidak dijatuhi pidana karena alasan guncangan jiwa menjadi penyebab dihapuskannya kesalahan terdakwa.
Tindak pidana yang memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (2) sebagai pembelaan diri luar biasa, pembelaan yang dilakukan terdakwa dan melampaui batas menjadi dasar alasan pemaaf. Bagi dirinya, kesalahan tersebut dapat dihapus.
Kendati demikian, aparat penegak hukum akan meninjau setiap kronologi kejadian dengan memerhatikan unsur-unsur pembelaan diri yang ditentukan Undang-Undang terkait peristiwa-peristiwa yang muncul.
Jika dalam pembelaan tersebut terdapat cara perlindungan lain dalam mengatasi serangan atau ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara terberat yang bisa mengorbankan nyawa seseorang. Para penegak hukum mesti jeli dalam menerapkan Pasal 49 KUHP ini.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yandri Daniel Damaledo