Menuju konten utama

Isi Pasal 48 KUHP Tentang Daya Paksa dalam Pidana

Isi Pasal 48 KUHP Tentang Daya Paksa dalam Pidana dan bagaimana penjelasannya? 

Isi Pasal 48 KUHP Tentang Daya Paksa dalam Pidana
Ilustrasi Penegakan Keadilan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pasal 48 yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang daya paksa (overmacht) dalam pidana. Pasal tersebut kerap dijadikan dasar hukum dalam memutuskan suatu perkara kejahatan di Indonesia.

Hal ini sesuai dengan fungsi dasar dari KUHP sendiri. KUHP merupakan sekumpulan dasar hukum yang digunakan untuk menegakkan hukum pidana di Indonesia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum.

Menurut Soedarto, KUHP mengandung dua isu kepentingan, yakni memuat lukisan perbuatan yang diancam pidana dan menetapkan serta mengumumkan konsekuensi yang nantinya diterima oleh terhukum.

Adapun, hukum pidana merupakan bentuk upaya terakhir (ultimatum remedium) dalam penyelesaian sebuah perkara yang mengandung sanksi bersifat memaksa. Jika masyarakat melanggar hukum pidana yang tertuang dalam KUHP, maka akan dijatuhi sanksi pidana.

Salah satu hal yang diatur dalam KUHP adalah kasus yang mengangkat isu tentang daya paksa dalam pidana yang bunyinya tertulis pada pasal 48.

KUHP sendiri telah ada sejak masa kolonial Belanda di Indonesia yang sebelumnya bernama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI). Peraturan WvSNI dibentuk pada tanggal 15 Oktober 1915 dan diberlakukan pertama kali pada 1 Januari 1918.

Kemudian pada 26 Februari 1946 setelah kemerdekaan Indonesia, peraturan ini baru diubah menjadi KUHP lewat UU No. 1 Tahun 1946. Lantas, bagaimankah bunyi pasal 48 KUHP yang mengusung isu tentang daya paksa dalam pidana?

Isi Bunyi dan Penjelasan Pasal 48 KUHP Tentang Daya Paksa dalam Pidana

Daya paksa merupakan konsep yang sudah umum dalam hukum pidana di Indonesia, hal ini terlihat pada KUHP yang telah menyantumkan hal tersebut di dalamnya.

Menurut Memorie van Toelichting, daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, atau paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan.

Dilansir dari laman Yuridis.id, berikut merupakan isi bunyi dari pasal 48 KUHP yang membahas tentang daya paksa yang dalam hukum pidana:

“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

Jika dilihat pada rumusan dari pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa daya paksa dapat menjadi salah satu alasan dalam hal penghapusan pidana. Namun, tidak secara langsung daya paksa menjadi alasan penghapus pidana.

Sebab, terdapat beberapa batasan yang harus dipenuhi supaya suatu daya paksa dapat menjadi alasan penghapus pidana.

Adapun daya paksa yang dapat diterima menjadi alasan penghapus pidana ialah daya paksa yang berasal dari kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak dapat dilawan.

Berkenaan dengan kekuatan yang lebih besar tersebut, sebagaimana yang dikutip dari lamanLBH Pengayoman Universitas Katholik Parahyangan, daya paksa yang dapat diterima sebagai alasan penghapus pidana apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Paksaan Mutlak (vis absoluta)

Pada kasus ini pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepadanya. Hal ini berarti pelaku tersebut melakukan sesuatu yang tak dapat dihindari.

Menurut Adi Hamzah, daya paksa mutlak bukanlah daya paksa yang sesungguhnya. Hal ini masuk akal karena dengan adanya paksaan mutlak, sebenarnya orang tersebut tidak melakukan tindak pidana.

Dengan demikian, dalam kasus ini Pasal 48 KUHP tidak perlu diterapkan. Misalnya ialah orang yang melakukan tindak pidana, namun ia hanya menjadi “alat”.

2. Paksaan Relatif (vis compulsiva)

Dalam paksaan yang bersifat relatif, seseorang mendapatkan pengaruh yang tidak mutlak. Namun, walaupun orang tersebut dapat bertindak hal lain, ia tidak bisa diharapkan untuk melakukan tindakan lain dalam menghadapi keadaan serupa.

Hal ini berarti orang tersebut berkesempatan untuk memilih tindakan yang hendak dilakukan meski pilihannya cukup banyak dipengaruhi oleh pemaksa.

Dalam paksaan mutlak, segala tindakan dipengaruhi oleh orang yang memaksa.Sedangkan pada paksaan relatif, perbuatan masih dilakukan oleh orang yang dipaksa berdasarkan pilihan yang ia buat.

3. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Keadaan darurat berkembang berdasarkan putusan Hoge Road pada 15 Oktober 1923 yang dinamakan sebagai Opticien Arrest.

Berdasarkan putusan tersebut, keadaan darurat dibagi menjadi tiga kemungkinan, di antaranya:

• Adanya benturan antara dua kepentingan hukum

• Adanya benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum

• Adanya benturan antara dua kewajiban hukum

Pada dasarnya dalam keadaan darurat, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang terjadi atas pilihan yang ia buat sendiri.

Baca juga artikel terkait KUHP atau tulisan lainnya dari Yunita Dewi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yunita Dewi
Penulis: Yunita Dewi
Editor: Yandri Daniel Damaledo