tirto.id - Kemenangan besar diraih Turki Usmani dalam Pertempuran Kosovo yang terjadi pada 15 Juni 1389 itu. Dinasti Utsmaniyah pimpinan Sultan Murad I memenangkan perang melawan pasukan koalisi yang berkekuatan 60.000 tentara gabungan dari beberapa kerajaan Kristen yang terdapat di kawasan Balkan.
Sang sultan memang tidak terlibat langsung dalam peperangan itu. Namun, ia selalu memantau perkembangannya melalui laporan para jenderalnya. Ketika sudah dipastikan bahwa musuh telah kalah dan menyerah, Sultan Murad I segera menuju area pertempuran keesokan harinya.
Kendati menang, korban jiwa dari pihak Utsmaniyah tidak kalah banyak dengan jumlah tentara salib yang tewas. Mayat-mayat bergelimpangan di medan perang yang berlokasi di tanah lapang yang luas berjarak sekitar 5 kilometer di sebelah barat Prishtina, ibukota Kosovo, itu (Robert Elsie, Historical Dictionary of Kosovo, 2010:155).
Ketika Sultan Murad I sedang berkeliling medan perang untuk mendoakan para prajuritnya yang gugur, mayat seorang tentara Serbia tiba-tiba bangkit. Rupanya, ia pura-pura mati. Prajurit musuh tersebut menyerah dan menyatakan ingin masuk Islam.
Orang Serbia itu memohon agar diizinkan mencium tangan sang sultan. Murad I yang sedang terbawa perasaan pun memerintahkan kepada para pengawalnya untuk melepaskan penjagaan agar calon mualaf itu bisa mendekat untuk bersalaman dengannya.
Terjadilah peristiwa tragis itu tanpa bisa dicegah karena berlangsung sangat cepat. Saat bersimpuh di hadapan sultan yang berjarak sangat dekat, prajurit musuh itu secepat kilat mencabut pisau beracun dan menusukkannya ke perut Murad I (John Fine, The Late Medieval Balkans, 1994:410). Sang sultan pun wafat beberapa saat berselang.
Sultan yang Disayang Tuhan
Sultan Murad I punya julukan terkenal, Hudavendigar. Istilah ini berasal dari bahasa Persia, “Khodavandgar”, atau yang berarti “orang yang disayang Tuhan”. Hudavendigar dilahirkan di Sogut atau Bursa, salah satu kota di wilayah yang saat ini menjadi negara Turki, pada 29 Juni 1326.
Murad adalah putra Urkhan Ghazi atau yang bergelar Sultan Orhan I. Uniknya, ia lahir dari perkawinan Sultan Orhan I dengan Nilufer Hatun, putri seorang pangeran dari Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, yang tidak lain adalah salah satu seteru terbesar Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Salib (Heath W. Lowry, Nature of the Early Ottoman State, 2012:37).
Menggantikan sang ayah yang wafat tahun 1362, Murad dinobatkan menjadi sultan ke-3 sejak Dinasti Utsmaniyah dideklarasikan sebagai kesultanan pada 1299. Sultan Murad I alias Hudavendigar dikenal sebagai sosok yang jenius, piawai meracik taktik, sekaligus seorang pemimpin yang konsisten menyebarkan dakwah Islam di wilayah-wilayah taklukan kerajaannya.
Kesultanan Utsmaniyah di bawah kendali Hudavendigar berhasil menguasai kawasan Anatolia atau Asia Kecil yang merupakan area pertemuan antara benua Asia dan Eropa, meskipun harus bersinggungan dengan Kekaisaran Bizantium dengan pusatnya di Konstantinopel (kini Istanbul) karena jarak yang relatif tidak terlalu jauh.
Tahun 1365, pasukan Utsmaniyah sukses merebut Adrianopel dari Bizantium, kota yang sangat strategis dan terpenting setelah Konstantinopel. Sultan Hudavendigar lalu memindahkan ibukota kerajaannya dari Bursa ke kota yang kelak dikenal dengan nama Edirne ini (Reinhard Stewig, Proposal for Including Bursa, the Cradle City of the Ottoman Empire, 2004:11).
Melawan Koalisi Salib Balkan
Berpusat di Adrianopel, Kesultanan Utsmaniyah semakin memperluas wilayah kekuasaannya dalam waktu yang terbilang cepat. Berturut-turut selama 10 tahun berikutnya, Sultan Hudavendigar mampu menaklukkan Philippopolis (Filibe/Bulgaria), Salonica (Thessaloniki/Yunani), dan beberapa daerah di wilayah Eropa lainnya yang totalnya mencapai luas 95.000 km2.
Meskipun melakukan ekspansi ke wilayah lain, namun Sultan Murad I tidak melulu menggunakan cara militer atau perang. Tak jarang ia memakai cara-cara diplomasi, termasuk dengan ikatan perkawinan (Ahmad Rofi' Usmani, Jejak-Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa, 2016:161).
Namun, bagaimanapun juga, manuver yang dilakukan Dinasti Utsmaniyah di bawah komando Hudavendigar tak pelak membuat kerajaan-kerajaan Balkan di kawasan Eropa bagian tenggara resah. Keresahan itu memuncak ketika pasukan Utsmaniyah bergerak menuju Makedonia.
Maka, berkumpullah perwakilan kerajaan-kerajaan Balkan dan sepakat bergabung untuk membendung rombongan Utsmaniyah yang kian mendekat. Atas restu Paus Urbanus V dari Vatikan, terbentuklah pasukan Koalisi Salib Balkan, tentara gabungan dari kerajaan-kerajaan lokal di Balkan, termasuk Serbia, Bulgaria, Hungaria, Albania, dan Wallachia (kini termasuk wilayah Rumania).
Jumlah personel yang terhimpun dalam pasukan gabungan ini sangat besar. Dari Serbia saja setidaknya punya 70.000 prajurit, belum ditambah pasukan dari kerajaan-kerajaan anggota koalisi lainnya (Ion Grumeza, The Roots of Balkanization: Eastern Europe C.E. 500-1500, 2010:93).
Tanggal 27 September 1371, terjadi perang antara tentara Utsmaniyah melawan pasukan Koalisi Salib Balkan di lokasi bernama Chernomen (kini termasuk wilayah Yunani), dekat Sungai Maritsa atau Marica. Maka, perang ini juga disebut dengan nama Pertempuran Maritsa.
Konon, jumlah prajurit Utsmaniyah yang dipimpin panglima kepercayaan Sultan Hudavendigar, Lala Sahin Pasa, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan gabungan milik Koalisi Salib Balkan (Vladislav Boskovic, King Vukasin and the Disastrous Battle of Marica, 2009:11).
Jumlah tentara yang tidak seberapa itu ternyata justru membuahkan kemenangan bagi pasukan Utsmaniyah. Mereka sebisa mungkin menghindari pertempuran terbuka dan baru melancarkan serangan pada malam harinya ke kamp tempat pasukan musuh berkemah.
Rencana itu berjalan dengan mulus. Beberapa raja dari pihak lawan berhasil dibunuh, termasuk Raja Vukasin Mrnjavcevic dari Serbia beserta saudara kandungnya yang juga seorang jenderal, Ugljesa Mrnjavcevic. Ribuan tentara Koalisi Salib Balkan tewas dihabisi orang-orang Utsmaniyah, sebagian lainnya mati tenggelam di Sungai Maritsa.
Tragedi Setelah Wafatnya Sultan
Setelah kekalahan dalam Pertempuran Maritsa pada 1371, pasukan Koalisi Salib Balkan tidak mundur begitu saja. Mereka tetap menghimpun kekuatan dan kembali terlibat perang melawan Kesultanan Utsmaniyah dalam pertempuran di Kosovo yang terjadi 18 tahun berselang, yang sekaligus menjadi akhir riwayat Sultan Hudavendigar.
Sesaat setelah pisau beracun menusuk perutnya, Hudavendigar atau Sultan Murad I sempat mengucapkan pesan-pesan terakhirnya:
“Kini, perjalananku telah mendekati akhir dan aku melihat di depan mata kemenangan tentara Islam. Janganlah kalian menyiksa para tawanan dan jangan pula kalian sakiti mereka, janganlah kalian perlakukan mereka dengan cara yang tidak baik. Aku tinggalkan kalian dan tentaraku yang menang untuk menuju rahmat Allah. Dia-lah yang akan menjaga negara kita.”
Usai berucap kata-kata terakhir itu, Sultan Murad I menghembuskan nafas penghabisan, tepat pada 15 Juni 1389.
Terjadi peristiwa ironis tak lama sepeninggal Hudavendigar. Bayezid I, putra almarhum sultan, begitu mendengar kabar bahwa ayahnya telah mangkat, ia langsung mencekik adiknya sendiri, Yakub Celebi, sampai mati (Colin Imber, The Ottoman Empire: The Structure of Power, 2009:85)
Dengan demikian, Bayezid I kini menjadi satu-satunya pewaris tahta untuk melanjutkan Dinasti Utsmaniyah setelah rezim Sultan Murad I atau Hudavendigar berakhir meskipun harus menumbalkan nyawa saudara sendiri. Bayezid I bertahta dari 1389 hingga 1402.
Penulis: Iswara N Raditya