tirto.id - Kekhalifahan Fatimiyah pada masa Ali azh-Zhahir memang tidak segemilang era-era pendahulunya. Wabah kelaparan yang melanda menimbulkan berbagai dampak negatif. Selain meningkatnya angka kematian dan kemiskinan, tingkat kriminalitas pun turut naik. Belum lagi intrik politik di lingkungan istana yang semakin sering terjadi, juga aksi pemberontakan yang muncul dari sejumlah daerah.
Ali azh-Zhahir mewarisi seabrek kekacauan dari era ayahnya, Abu Ali Manshur al-Hakim, yang memerintah pada 996-1021 M. Baktiar Nurdin (2015) dalam artikel berjudul “Dinasti Fatimiyah dan Perang Salib” menyebutkan, pemerintahan Al-Hakim ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan, termasuk pembunuhan beberapa orang wazir (penasihat kerajaan).
Di era Al-Hakim, juga terjadi aksi penghancuran gereja-gereja Kristen di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Fatimiyah kala itu. Salah satunya adalah Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) di Yerusalem pada 1009. Gereja ini diyakini oleh orang Kristen sebagai lokasi disalibnya Yesus (Ted Byfield, et.al., The Quest for the City: A.D. 740 to 1100, 2004:264).
Setelah Ali azh-Zhahir naik tahta menggantikan ayahnya pada 1021 M, terjalinlah relasi kemitraan dengan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), simbol kekuatan Kristen yang berpusat di Konstantinopel (kini Istanbul, Turki). Dan, Azh-Zhahir adalah khalifah yang memberikan izin dibangunnya kembali Gereja Makam Kudus yang sebelumnya telah dihancurkan Al-Hakim.
Kekhalifahan Syiah Satu-satunya
Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya kekhalifahan Syiah yang pernah ada di muka bumi. Didirikan di Ifriqiya (kini Tunisia) dengan beribukota di Mahdia pada 909 M, kekhalifahan ini sebenarnya merupakan salah satu pecahan dari Dinasti Abbasiyah di Baghdad (Irak) yang saat itu mulai turun pamor (Philip K. Hitti, History of the Arabs, 2010:787).
Pendiri Dinasti Fatimiyah, Abdullah al-Mahdi Billa (Ubaidillah Al-Mahdi), mengklaim dirinya adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Siti Fatimah (putri Nabi) dan suaminya, Ali bin Abi Thalib. Dari nama Fatimah inilah penamaan Kekhalifahan Fatimiyah (al-Fatimiyyun) berasal. Terkadang, dinasti ini juga disebut Bani Ubaidillah, merujuk pada nama pendirinya.
Kekhalifahan Fatimiyah pernah menjadi rival terberat Dinasti Abbasiyah. Terlebih pada masa Khalifah Abu Manshur Nizar al-Aziz (975-996 M). Pada periode ini, pusat pemerintahan pindah ke Al-Qahirat (Kairo) setelah kawasan Afrika Utara, termasuk Maroko, Aljazair, Libya, hingga Mesir, berhasil ditaklukkan (Gerver & Powell, Tolerance and Intolerance: Social Conflict in the Age of the Crusades, 2001:21).
Negara Islam Terbesar di Mediterania Timur
Wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Aziz sangat luas, termasuk membentang dari pesisir Lautan Atlantik hingga Laut Merah, bahkan menyeberang ke Sisilia sampai Italia bagian selatan (Farhad Daftary, The Isma'ilis: Their History and Doctrines, 1992:155).
Palestina, Yaman, Suriah, dan Hijaz juga dikuasai, sementara Mesir menjadi pusat niaga antara Laut Tengah dan Samudera Hindia. Nurdin (2015) menyebut, Khalifah Al-Aziz berhasil menempatkan Kekhalifahan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di Mediterania Timur.
Pencapaian tersebut tidak mengherankan karena Dinasti Fatimiyah memiliki kekuatan militer yang sangat besar. Dalam misi penaklukkan Mesir pada 969 M misalnya, seperti yang tertulis dalam buku Cairo: A Cultural History karya Andrew Beattie (2005:100), 100.000 orang tentara bergerak dari Tunisia melintasi Afrika Utara untuk menaklukkan Kairo.
Kekuasaan Fatimiyah di Mesir mengalami masa jaya di bawah kendali Khalifah Al-Aziz yang mendirikan banyak bangunan megah, termasuk masjid yang sangat besar dan istana mewah yang dapat menampung lebih dari 30.000 orang. Konon, Al-Aziz menghabiskan dana 2 juta dinar untuk membangun istana demi menyaingi istana Abbasiyah di Baghdad.
Mesir kala itu bagai kota modern. Jalan-jalan utama diberi atap dan lampu. Akses perhubungan lancar, keamanan pun terjamin. Perekonomian dari pertanian, perdagangan, maupun industri berkembang pesat. Atas dasar itulah, Hitti (2010:798) menyebut sumbangsih Dinasti Fatimiyah untuk peradaban Islam –terlepas dari perdebatan antara Syiah dan Sunni– sangat besar, baik dalam sektor pemerintahan dan politik, sosial, kebudayaan, hingga ilmu pengetahuan serta teknologi.
Sinyal Redup Dinasti Fatimiyah
Setelah Al-Aziz mangkat pada 996, kejayaan Dinasti Fatimiyah meredup. Prosesi penurunan ini dimulai dari era pemerintahan Al-Hakim yang penuh kekacauan dan teror, termasuk penghancuran Gereja Makam Kudus di Yerusalem pada 1009. Kelak, inilah yang menjadi salah satu alasan meletusnya Perang Salib yang baru dimulai pada 1096 (Hitti, 2010:792).
Penurunan berlanjut pada masa Ali azh-Zhahir yang berkuasa sejak 1021. Azh-Zhahir dinobatkan sebagai Khalifah Fatimiyah ke-7 saat berusia 16 tahun. Ia menggantikan sang ayah, Al-Hakim, yang menghilang tanpa jejak. Di akhir kekuasaannya, Al-Hakim menganut ajaran Syiah yang cukup ekstrem sehingga memilih untuk berkelana.
Akhir riwayat Al-Hakim sendiri masih simpang-siur. Ada yang menyebut Khalifah Fatimiyah ke-6 itu menghilang tanpa jejak, namun ada pula yang meyakini bahwa ia telah dibunuh oleh persekongkolan yang diotaki oleh adik perempuannya, Sitt al-Mulk (Delia Cortese, Women and the Fatimids in the World of Islam, 2006:124).
Dinasti Fatimiyah di Kairo tidak kunjung membaik di bawah kendali Azh-Zhahir. Selain wabah kelaparan yang menimbulkan banyak korban jiwa, aksi kriminalitas pun semakin menjadi-jadi. Selain itu, muncul pemberontakan di mana-mana, yang membuat kepercayaan rakyat kepada sang khalifah merosot.
Khalifah Azh-Zhahir kemudian merangkul Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium yang saat itu dipimpin oleh Romanus III untuk saling bekerjasama (Irpeel Ebenezer, Understanding the Gift of Salvation, 2012:152). Ia juga memberikan perlindungan kepada warga Nasrani dan Yahudi yang bermukim di wilayah Kekhalifahan Fatimiyah.
Antara Toleransi dan Pertahanan Diri
Atas permintaan Bizantium, Azh-Zhahir menyetujui proyek pembangunan kembali Gereja Makam Kudus yang dihancur-leburkan pada era Al-Hakim. Ini adalah situs bersejarah bagi umat Kristen karena diyakini sebagai lokasi penyaliban Yesus dan menjadi tujuan ziarah kaum Nasrani sejak abad ke-4.
Manuver Azh-Zhahir tersebut sebenarnya bagian dari taktik untuk mengamankan dirinya dari kemungkinan terburuk mengingat situasi gawat saat itu. Selain itu, ia memang mengagungkan Yerusalem, kota suci tiga agama serumpun: Yahudi, Kristen, dan Islam. Maka itu, Azh-Zhahir berusaha untuk memulihkan toleransi para leluhurnya (Simon Sebag Montefiore, Jerusalem: The Biography, 2012:256).
Di sisi lain, sebagai “imbalan” atas izin dan persetujuan Azh-Zhahir membangun kembali situs suci di Yerusalem, Kekaisaran Bizantium mempersilakan kepada Kekhalifahan Fatimiyah untuk merenovasi, bahkan mendirikan masjid-masjid baru di wilayah kekuasaan Imperium Romawi Timur.
Hubungan baik dengan Bizantium ini nantinya memang akan kembali rusak seiring pecahnya Perang Salib. Namun, itu setidaknya sedikit memulihkan hubungan ekonomi dan diplomatik yang sempat sangat tegang di era Al-Hakim, dan Kekhalifahan Fatimiyah pada masa Azh-Zhahir berperan sangat penting dalam hal ini (Barry L. Stiefel, Jews and the Renaissance of Synagogue Architecture, 2015:27).
Ali azh-Zhahir meninggal dunia di istananya di Kairo pada 13 Juni 1036, atau 981 warsa silam, ketika baru menginjak usia kepala tiga. Beberapa referensi menyebut mangkatnya sang khalifah karena wabah penyakit yang menyerang Mesir saat itu. Sepeninggal Azh-Zhahir, Dinasti Fatimiyah tidak kunjung bangkit dan akhirnya musnah pada 1171, bahkan sebelum Perang Salib dimulai.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya