tirto.id - Sosok Salman Nuryanto menyedot perhatian publik pada 2016. Mantan tukang bubur ayam ini jadi orang paling dicari setelah terbongkarnya kasus investasi ilegal Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Pandawa Mandiri Grup.
Pada sebuah video yang diunggah akhir Februari 2017 dengan judul " Hebat! Pengakuan Bos Pandawa Mantan Tukang Bubur Lulusan SD Yang Sukses Tipu Lulusan Sarjana." Salman menceritakan sekilas awal didirikannya KSP Pandawa Mandiri Grup di Depok, Jawa Barat.
Sebelum mendirikan koperasi, ia mengaku sering meminjam modal ke koperasi. Ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan koperasi sendiri. Dengan modal awal Rp10 juta, ia mulai memberikan pinjaman kepada para pedagang.
“Kalau dulu, pinjemin pedagang itu Rp1 juta. Setelah 30 hari, kami dapat Rp1,2 juta. Jadi kalau yang nitip ke saya Rp1 juta, berarti Rp100.000 itu untuk nitip modal (10 persen), dan Rp100.000 lagi untuk saya dan karyawan,” katanya.
Dengan imbal hasil 10 persen per bulan, jumlah sebesar itu memang sangat menggiurkan. Sehingga orang tergoda, jumlah nasabah dan nilai modal yang dititipkan di KSP Pandawa Mandiri Grup pun makin hari makin banyak. Namun bukannya disalurkan untuk kredit usaha, uang nasabah justru dipakai untuk aset kepentingan pribadi, seperti membeli rumah, tanah hingga kendaraan beroda empat.
Pada akhirnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghentikan aktivitas Pandawa pada 11 November 2016. Perusahaan itu masuk dalam daftar entitas investasi ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat.
Indonesia sebenarnya memiliki sejarah cukup panjang mengenai investasi bodong atau ilegal—istilah bodong mengalami penyimpangan makna dari istilah untuk pusat yang tersembul (KBBI). Kerugian yang ditimbulkan dari investasi bodong tak sedikit. OJK mencatat nilai kerugian dari investasi bodong mencapai Rp106 triliun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Investasi bodong seakan sulit dibasmi. Meski banyak yang terungkap, investasi bodong baru kerap muncul kembali. Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini, besar kemungkinan jumlah investasi bodong semakin menjamur.
Berdasarkan daftar investasi yang dipublikasikan OJK, temuan investasi bodong sejak 2016 sampai dengan 2018 mengalami tren menurun. Pada 2016, OJK mencatat ada 72 investasi bodong yang berhasil diungkap. Pada tahun berikutnya, temuan investasi bodong oleh OJK itu menurun 29 persen menjadi sebanyak 57 kasus investasi bodong. Namun, pada tahun ini, temuan OJK akan meningkat. Ini karena sepanjang Januari 2018 saja sudah ditemukan 21 kasus investasi bodong.
“Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi, investasi bodong itu akan semakin marak ke depannya, karena orang makin mudah menawarkan investasi ilegal,” kata Tongam Lumban Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi kepada Tirto.
Satgas Waspada Investasi atau satgas yang menangani dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi merupakan satgas yang berada di bawah OJK. Satgas itu beranggotakan 13 kementerian/lembaga, yakni OJK, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Koperasi dan UKM, Kejaksaan, Kepolisian, Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Juga ada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Kementerian Agama.
Persoalannya di tengah catatan investasi bodong yang setiap tahun selalu ada, dan tahun ini berpotensi makin banyak, tapi tetap saja ada sebagian anggota masyarakat yang masuk perangkap. Bila masyarakat jeli, investasi bodong mudah terdeteksi dari iming-iming imbal hasil yang tak wajar dibandingkan imbal hasil investasi konvensional seperti emas, saham, reksa dana, dan lainnya.
Apa ciri-ciri investasi bodong yang bisa dikenali sejak awal?
Untuk melihat apakah investasi dianggap bodong atau ilegal itu cukup mudah. Pertama, tidak memiliki izin usaha dari OJK. Kedua, imbal hasil yang ditawarkan sangat tinggi ketimbang yang ditawarkan pasar.
“Untuk itulah, ketika akan berinvestasi selalu ingat 2L (Legal dan Logis). Apabila jargon ini dapat selalu diperhatikan nasabah, maka sebenarnya investasi-investasi bodong itu akan mati dengan sendirinya,” tutur Tongam.
Namun, kondisi di lapangan justru berbeda, masih banyak warga yang tertarik dengan investasi bodong ini. Selain warga dengan tingkat literasi keuangan yang rendah, warga dengan tingkat literasi keuangan tinggi pun mudah tergoda.
Kasus KSP Pandawa Mandiri Grup di Depok, Jawa Barat adalah contohnya. Catatan Tongam, sebanyak 75 persen dari nasabah KSP Pandawa Mandiri Grup sebenarnya memiliki tingkat literasi keuangan yang cukup, dan mengetahui risiko dari suatu investasi.
Namun nyatanya, masih ada saja yang menjadi korban dari investasi bodong. Bisa dibilang, keinginan orang untuk mendapatkan keuntungan cenderung membuat masyarakat tidak bisa berpikir rasional.
Apalagi, jika ada teman dan keluarga yang mendapatkan imbal hasil dari investasi tersebut. Dari awalnya skeptis, lama-lama tergoda juga karena kata bukti telah menghasilkan di awal-awal. Siklus ini pun akan terus berulang.
Selain kasus Pandawa Grup Depok, sebanyak 11 entitas penawar investasi bodong lainnya juga sedang diusut kepolisian, yakni PT Cakrabuana Sukses Indonesia, Dream For Freedom, dan PT Compact Sejahtera Group. Juga ada UN Swissindo, PT Crown Indonesia Makmur, PT Inti Benua Indonesia, Royal Sugar Company, Talk Fusion, First Travel, PT MI One Global Indonesia, dan Wein Group Kupang.
Kasus lainnya First Travel juga menjadi sorotan. Saat ini, pengadilan masih mendengarkan keterangan saksi. Terdakwa kasus dugaan penipuan First Travel di antaranya Direktur Utama Andika Surachman, Direktur Anniesa Hasibuan dan Direktur Keuangan Kiki Hasibuan.
Menghindari Investasi Bodong
Untuk menghindari tipu-tipu dari tawaran investasi bodong cukup mudah, tapi seringkali hal itu tidak dilakukan oleh nasabah. Salah satu cara yang paling mujarab untuk mengetahui investasi bodong atau tidak adalah dengan bertanya ke OJK.
OJK merupakan otoritas pemerintah yang mengeluarkan izin usaha terhadap suatu entitas yang memiliki kegiatan menghimpun dana. Apabila tidak mendapatkan izin dari OJK, sudah dipastikan investasi itu adalah ilegal alias bodong.
“Jangan sungkan, untuk tanyakan langsung ke OJK. Di pasar modal, produk investasi harus punya izin dari OJK. Calon investor harus berani menanyakan legalitas itu,” ujar Sriwidjaja Rauf, Direktur Reliance Sekuritas Indonesia kepada Tirto.
Selain izin dari OJK, calon investor harus mau memahami dan mempelajari produk investasi yang akan dibeli. Ingat, semakin tinggi imbal hasil yang ditawarkan, maka semakin tinggi pula risikonya.
Biasanya, investasi-investasi bodong itu menawarkan imbal hasil yang tinggi, namun dengan tingkat risiko yang rendah. Apabila ditawarkan produk investasi seperti itu, maka sebaiknya calon investor mencari produk investasi lainnya.
Terakhir, investor juga jangan menerapkan strategi menyimpan telur dalam satu kerajang. Artinya, ketika berinvestasi, investor jangan menyimpan dananya di satu produk investasi saja. Lebih baik, dana tersebut disebar juga ke produk investasi lainnya guna meminimalkan risiko.
Untuk mencegah korban investasi bodong memang tidak mudah. OJK wajib secara terus menerus memberikan edukasi mengenai literasi keuangan kepada warga. Di samping itu, warga juga harus peka dengan lingkungan sekitar, apabila ada investasi yang mencurigakan, langsung dilaporkan otoritas. Investasi memang punya risiko, tapi sampai tertipu investasi bodong adalah sesuatu yang konyol.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra