Menuju konten utama

Emas, Investasi Tak Produktif dan Minim Imbal Hasil

Emas bukanlah aset yang produktif. Sebagai instrumen investasi, ia tak membantu memutar roda ekonomi. Tetapi sejak dahulu kala hingga kini, emas masih diminati.

Emas, Investasi Tak Produktif dan Minim Imbal Hasil
Pedagang melayani pembeli di pusat penjualan emas di Lhokseumawe, Aceh. ANTARA FOTO/Rahmad

tirto.id - “Emas digali dari dalam tanah di Afrika atau beberapa kawasan lain. Lalu kita melelehkannya, menggali lubang lain, menguburnya lagi dan membayar beberapa orang untuk berdiri menjaganya. Siapapun yang menonton ini dari Mars akan menggaruk-garuk kepala mereka.”

Kutipan itu diucapkan Warren Buffet, konglomerat Amerika Serikat. Warren memang punya pandangan sinis terhadap investasi emas. Menurutnya, berinvestasi pada emas adalah sebuah pilihan tolol.

Orang-orang membeli emas, lalu menyimpannya sebagai tabungan. Emas itu mengendap di lemari, brankas, atau tempat-tempat penyimpanan emas. Bayangkan jika uang untuk membeli emas itu digunakan berdagang atau berbudi daya ikan, atau menanam kangkung. Ia akan menghidupi banyak orang dan memberikan keuntungan sekaligus.

Begitu kira-kira alasan Warren membenci investasi emas. Ia lebih suka investasi pada saham, obligasi atau surat utang, atau reksa dana. Sebab uang-uang itu akan digunakan untuk hal yang produktif, dan dalam skala yang lebih besar. Sebab membeli emas berarti membiarkan uangnya mengendap dan tak berguna bagi orang lain.

Dari segi imbal hasil, dibandingkan saham dan obligasi, emas juga tak begitu menjanjikan. Investopodia mencatat, dalam 30 tahun terakhir, harga emas telah melonjak 335 persen. Dalam periode yang sama, Dow Jones Industrial Average (DJIA) telah tumbuh 1.255 persen dan Fidelity Investment Grade Bond Fund (GBNDX) telah tumbuh 672 persen.

Begini ilustrasi sederhananya. Misalkan pada kuartal I 2007, investor A menginvestasikan uang Rp200 juta untuk membeli emas. Sementara investor B menginvestasikan uang dengan nilai yang sama untuk membeli saham.

Pada kuartal II tahun ini, nilai investasi investor A berkurang menjadi Rp193,88 juta. Sementara mereka yang membeli saham, nilai uangnya bertambah menjadi Rp233,68 juta.

Tahun 2008, harga saham anjlok karena krisis global. Investor B tentu terkena imbas anjloknya harga saham. Nilai uangnya yang tadinya Rp200 juta menjadi hanya Rp148,06 juta. Sedangkan uang investor A terus bertambah menjadi Rp308,94. Ketika dolar melemah, harga emas akan naik.

Kedua investor tadi tak menarik uangnya dan membiarkannya tetap pada instrumen investasi semula. Harga saham berangsur membaik, harga emas juga tak memburuk. Hanya saja, karena ia adalah instrumen investasi pasif, harganya tak naik signifikan.

Pada kuartal I 2013, nilai uang investor A bertambah menjadi Rp510,24 juta. Nilai uang investor B, yang pada 2008 sempat anjlok, melonjak lebih tinggi menjadi Rp539,73 juta. Sampai akhir tahun 2014, ketika dolar menguat, nilai uang investor A turun menjadi Rp484,49 juta. Sementara uang investor B terus naik menjadi Rp570,96 juta. Ada selisih Rp86,47 juta antara keduanya.

Kedua investor ini menghadapi dua risiko yang berbeda. Harga saham memang cenderung lebih fluktuatif, ada masanya nilai uang investor B berkurang. Tetapi sejarah membuktikan hal itu tak berlangsung lama. Harga saham akan berangsur membaik, kecuali kalau perusahaannya memang bangkrut dan melakukan fraud.

Investor A juga memiliki risiko kecurian emas yang barangkali disimpan di rumahnya. Jika ia menitipkan emasnya di tempat penyimpanan yang aman, dia harus membayar iuran lagi, dan ini tentu akan mengurangi imbal hasil yang didapatnya.

Investasi Emas Batangan

Meski begitu, investasi emas masih banyak peminat. Rizka Argadianti Rachmah, warga Depok, salah satunya. Sejak dua tahun lalu, Rizka rajin investasi emas. Niat awalnya hanyalah untuk menabung. “Soalnya kalau nyimpan uang, jadi sering terpakai. Jadinya milih nyimpan emas, soalnya belum ada uang untuk investasi properti,” kata Rizka kepada tirto.id, Selasa (8/11).

Ia mengaku malas mempertimbangkan instrumen investasi lainnya seperti saham, reksa dana, atau obligasi. Dia memilih emas, karena cara investasinya tidak begitu merepotkan.

Selain menjadi perhiasan atau elemen perangkat elektronik, emas memang tak memiliki nilai dasar. Ia berharga karena orang-orang berpikir bahwa ia berharga. Membeli tanah dan menanamnya dengan umbi-umbian lebih mempunyai nilai. Atau jika tak punya waktu untuk mengolah tanah, mintalah orang lain untuk mengelolanya. Lalu nikmatilah hasil penjualan umbi-umbian setiap panen.

Kalaupun ingin sekali menyimpan emas sebagai investasi, lakukanlah diversifikasi. Sebarlah investasi pada instrumen-instrumen yang produktif lainnya.

Baca juga artikel terkait INVESTASI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti