tirto.id - Ribuan partisipan komunitas Nesia (Nasional Ekonomi Sosial Indonesia) tampak takzim mendengarkan ocehan Fili Muttaqien, pada Maret lalu. Mereka berkumpul di Hotel Kartika Pontianak, Kalimantan Barat dalam acara bertajuk silaturahmi dan sharing dengan sang ketua umum.
Saat itu, Ketua Umum Nesia, Fili Muttaqien sedang melakukan roadshow ke sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Lampung dan Pontianak. Tujuannya tidak lain untuk menegaskan bahwa Nesia tetap eksis, bahkan pada 2016 ini, komunitas ini telah menyiapkan sejumlah unit bisnis yang dapat dikelola dan dijalankan oleh partisipan dengan menawarkan keuntungan yang menjanjikan.
“Nesia akan terus jalan dan makin besar. Tahun 2016 ini, semua unit bisnis yang sudah dimulai di tahun 2015 maupun yang baru dimulai [pada] tahun 2016 ini akan makin dimaksimalkan. Salah satunya adalah Loketnesia yang makin berkembang,” ujarnya, seperti dikutip laman www.filimuttaqien.com.
Pada awalnya, Nesia memang hanyalah komunitas yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan pelatihan keterampilan. Namun, Nesia memiliki unit bisnis dengan tujuan meningkatkan pendapatan dari anggota perkumpulan. Unit bisnis tersebut antara lain, PT Dream Team International, PT Promo Indonesia Mandiri (promonesia.com), dan PT Loket Indonesia Mandiri (Loketnesia).
Permasalahan muncul saat salah satu unit bisnis Nesia, yaitu PT Promo Indonesia Mandiri atau yang lebih kenal dengan Dream For Freedom (D4F) berusaha mengumpulkan investasi di komunitas sosial keuangan alias money games atau dikenal juga dengan istilah arisan berantai.
Dalam konteks ini, perusahaan meluncurkan empat jenis paket investasi. Modusnya adalah nasabah ditawarkan beberapa paket investasi, seperti paket Silver untuk Rp1 juta, Gold untuk Rp5 juta, Platinum untuk Rp10 juta dan Titanium untuk Rp30 juta.
Dari dana yang diinvestasikan itu, para nasabah diberikan iming-iming keuntungan 1 persen per hari untuk setiap paket. Keuntungan tersebut diberikan 15 hari sekali dan dapat diambil pada hari ke 17. Para nasabah juga dijanjikan bonus apabila berhasil mengajak orang lain untuk ikut investasi yang dikelola oleh D4F ini.
Babak Baru Dream For Freedom
Sejak didirikan pada Januari 2015, D4F ini telah memiliki ribuan anggota dengan paket tawaran investasi kisaran Rp1.000.000 – Rp30.000.000. Namun, terhitung sejak 16 Februari 2016, perusahaan sistem yang bergerak di bawah PT Promo Indonesia Mandiri menyatakan offline, bahkan situs www.d4f-official.com sudah tidak dapat diakses lagi.
Hal tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan sistem antara kontribusi atau keuntungan yang diperoleh dan jumlah anggota baru. Artinya, D4F berada dalam kondisi di mana pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan pemasukan. Hal ini terjadi akibat keuntungan investasi yang dijanjikan pada nasabah di luar kewajaran.
Diperparah lagi dengan pencabutan izin usaha perdagangan (SIUP) PT Promo Indonesia Mandiri yang membawahi D4F oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Jakarta Barat yang berlaku per 23 Juni 2016. Alasan pencabutan tersebut karena D4F dinilai berjalan tidak sesuai dengan SIUP yang diberikan.
Kini, kasus D4F telah memasuki babak baru setelah Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri resmi menahan Fili Muttaqien, tersangka kasus investasi bodong D4F.
“Saudara F sudah kami tahan untuk proses pendalaman kasus tersebut, terkait aset dan sebagainya,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setya.
Menurut Agung, D4F diduga telah menawarkan investasi bodong dengan pemberian bunga satu persen per hari yang diberikan setiap 15 hari sekali. Namun, dalam praktiknya, sistem investasi ini menggunakan skema ponzi atau gali lubang tutup lubang.
“Padahal [uang] member baru menyokong pembayaran bonus member lama,” ujarnya.
Sistem investasi yang dibuat sejak Januari 2015 ini merekrut anggotanya melalui internet dan mengadakan berbagai acara untuk menawarkan paket-paket investasinya kepada para korban.
Penyelidikan ini diawali adanya laporan 73 nasabah atau investor dari D4F tersebut. Korbannya diperkirakan puluhan ribu orang dengan nilai investasi triliunan rupiah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pasal yang dipersangkakan kepada Fili Muttaqien ialah Pasal 105 UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, 378 KUHP, 372 KUHP dan Pasal 3 atau pasal 5 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Motif Investasi Bodong Beragam
Kasus penipuan berkedok investasi yang melibatkan Fili Muttaqien, bukan satu-satunya kasus investasi bodong yang diproses hukum oleh kepolisian. Dalam penelusuran tim riset tirto.id, setidaknya sejak Juli – Oktober 2016 terhitung ada sekitar 13 kasus serupa yang diidentifikasi, bahkan pelakunya telah ditangkap oleh polisi.
Dari 13 kasus yang sedang ditangani aparat penegak hukum, motifnya sangat beragam. Misalnya, kasus yang menjerat Focksy Rapar, di Manado. Ia ditangkap pada 15 Agustus 2016 karena terlibat dalam kasus menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia dengan cara mendirikan usaha dalam bentuk CV Net In.
Motif tersebut berbeda dengan kasus yang menjerat Mulati Cinta Oktamia dari Trading Gold Community (TGC). Dalam kasus ini, ia selalu membuat rencana yang sangat menggiurkan, bahkan ada plan yang nominalnya Rp30 ribu rupiah bisa menghasilkan Rp1 – 2 juta.
Motif berbeda juga terjadi pada kasus yang menimpa Koperasi Pandawa. Dalam konteks ini, Koperasi Pandawa melakukan peghimpunan dana yang bersifat seperti multilevel marketing (MLM). Misalnya, Koperasi Pandawa di Malang mengajak debitor untuk tidak membayar utang-utang mereka. Saat ini, kasus tersebut masih dalam penyelidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain kasus di atas, motif agama juga menjadi salah satu cara pelaku investasi bodong untuk menarik simpati nasabah atau merekrut anggota baru, seperti yang terjadi dalam kasus Manusia Membantu Manusa (MMM) yang marak terjadi di Jawa Timur.
MMM melalui sistemnya menjanjikan uang berlipat ganda dan akan masuk secara otomatis ke rekening member, setelah yang bersangkutan mengirim uang pada member lain yang diperintah sistem.
Dalam hal ini, kata “sodaqoh” selalu dipakai oleh member MMM untuk merekrut anggota baru. Misalnya, si A membantu atau bersodaqoh pada si B sebesar Rp10.000.000, maka si A akan mendapatkan kiriman balik dari MMM sebesar Rp13.000.000 atau 30 persen dari uang yang dikirim ke si B.
Pada awalnya, praktik ini berjalan lancar, tetapi belakangan membuat resah masyarakat karena banyak dari anggota yang uangnya tidak kembali.
Praktik lain yang berkedok agama adalah motif yang dipraktikkan Yayasan Amalillah. Dalam konteks ini, yayasan menjanjikan dana hibah setelah jamaahnya diminta untuk menyetor sejumlah dana. Misalnya, pada Ramadan 2016, masing-masing anggota diminta setor uang sebesar Rp2 juta ke pusat, namun faktanya dana hibah yang dijanjikan tidak pernah turun.
Ironisnya, para pengikutnya itu justru tidak merasa tertipu dengan janji-janji manis tersebut. “Pernah jamaah Amalillah ini dijanjikan sampan [perahu] sebanyak 30 buah. Namun, ternyata bantuan yang datang hanya dua. Itu pun dari Dinas Kelautan Kabupaten Sumenep, bukan Amalillah,” kata sumber tirto.id yang minta dirahasiakan.
Mewaspadai Investasi Bodong
OJK tentu menyadari praktik investasi bodong yang marak terjadi di berbagai daerah. Karena itu, OJK mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan investasi pada entitas yang tidak jelas legalitas dan pengawasannya. Masyarakat juga diimbau agar tidak mudah percaya pada model investasi yang tampak atraktif dan menjanjikan bunga atau keuntungan yang tidak masuk akal.
Selain itu, OJK juga telah meluncurkan Investor Alert Portal (IAP) atau portal website berisi perusahaan investasi keuangan yang tidak terdaftar di OJK sebagai respons atas pertanyaan dari masyarakat terhadap legalitas entitas yang menawarkan investasi.
Peluncuran IAP ini merupakan upaya preventif OJK untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan penawaran investasi yang belum jelas legalitasnya sekaligus mempersempit ruang gerak penawaran investasi yang berpotensi merugikan masyarakat.
Dari sejumlah 430 pertanyaan masyarakat melalui Layanan Konsumen OJK per 11 Juni 2016, OJK telah berkoordinasi dengan Satuan Tugas Waspada Investasi yang antara lain melibatkan Kementerian Perdagangan, Bappebti, serta Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengklarifikasi legalitas atas tawaran investasi dimaksud.
“Terdapat 163 kegiatan investasi dilakukan oleh entitas yang tidak jelas otoritas pengawasnya. Sementara sisanya, tidak dapat ditelusuri lebih lanjut karena tidak memiliki informasi yang cukup terkait dengan penawaran investasinya,” kata Kusumaningtuti S. Soetiono, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Melek Sistem Keuangan
Selain meluncurkan portal website berisi perusahaan investasi keuangan yang tidak terdaftar di OJK, kampanye literasi dan inklusi keuangan juga perlu dipotimalkan agar masyarakat lebih melek sistem keuangan dan investasi, sehingga investasi ilegal atau bodong dapat diminimalisir.
Hal tersebut penting dilakukan, mengingat investasi bodong masih menjadi ancaman nyata. Misalnya, sepanjang kuartal I/2016, OJK mencatat terdapat 400 perusahaan yang tidak memiliki izin menawarkan produk investasi ke masyarakat.
Karena itu, sebagai otoritas yang diberikan kewenangan dalam melakukan literasi keuangan atau membuat masyarakat "melek" atau memahami sektor keuangan dan melindungi konsumen keuangan, OJK komitmen akan tidak tinggal diam.
OJK akan terus memperbaiki sistem pengawasan untuk meminimalisasi pertumbuhan investasi bodong. Saat ini, OJK telah memiliki Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi yang telah menjalin kerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menjelaskan, untuk mengatasi masalah investasi bodong ini, OJK akan kembali duduk bersama Kapolri dan Kepala Kejaksaan Agung. Langkah tersebut dilakukan agar kinerja Satgas yang telah ada selama ini bisa lebih efektif.
Muliaman mengaku, OJK bersama Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung harus berkolaborasi melakukan pengawasan lebih ketat, selain terus memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai investasi ilegal.
Tim tersebut tidak hanya di tingkat pusat, tapi juga ada yang dipimpin OJK daerah, Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi dan lembaga lainnya. Namun, komitmen OJK ini akan sia-sia jika tidak didukung oleh masyarakat. Sudah saatnya masyarakat melek literasi sistem keuangan dan tidak mudah tergiur oleh janji-janji manis yang tidak masuk akal.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti