tirto.id - Selasa sore (6/12/2016) di pelataran Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung, Jawa Barat, massa Ormas Islam Pembela Ahlu Sunnah (PAS) dan Dewan Dakwah Indonesia (DDI) merangsek masuk ke ruang Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang tengah berlangsung di salah satu ruangan gedung tersebut. Sebagian dari mereka naik ke atas panggung untuk menghentikan peserta yang tengah berdoa bersama.
Ketua PAS Muhammad Roin meminta agar kegiatan KKR segera dihentikan. Ia berdalih kegiatan keagamaan tak boleh digelar di luar gereja. Ia mengacu pada Surat Peraturan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006.
"Ini kan acara keagamaan, kita nggak masalah. Nggak ada pelarangan. Nah untuk melaksanakan Natal sesuai keyakinannya, kita menyarankan kegiatannya dilakukan di tempat semestinya sesuai undang-undang. Ya acara Natal dilakukan di gereja, bukan di Gedung Sabuga," kata Roin di Gedung Sabuga, Bandung, Selasa (6/12/2016).
Pemerintah daerah setempat langsung merespons peristiwa tersebut. Sayangnya, pernyataan para pejabat malah memunculkan kontroversi baru. Misalnya pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) yang menilai pembubaran kegiatan keagamaan hanya sekedar perkara kecil, yang tak perlu dibesar-besarkan.
"Itu kan kejadian kecil yang tidak mengganggu apa-apa saya kira," ucap Aher di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (7/12/2016).
Sementara itu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil merespons peristiwa intoleransi tersebut melalui akun Facebook-nya. Ridwan menyesalkan kehadiran dan intimidasi ormas keagamaan yang tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan peraturan dan semangat Bhineka Tunggal Ika. Ridwan Kamil sempat menggelar pertemuan dengan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB), Forum Silaturahmi Ormas Islam (FSOI), Kemenag Kota Bandung, Bimas Kristen Kemenag Jawa Barat, Polrestabes Bandung, Kejaksaan Negeri Kota Bandung, hingga Komnas HAM.
Ridwan mengeluarkan sikapnya, antara lain menegaskan bahwa kegiatan ibadah keagamaan tidak memerlukan izin formal dari lembaga negara, cukup dengan surat pemberitahuan kepada kepolisian. Ormas PAS dan DDI dianggap ceroboh membaca peraturan, karena SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 hanya memuat terkait tata cara untuk pengurusan izin pendirian bangunan ibadah secara permanen maupun sementara.
Daftar Panjang Intoleransi
Apapun yang menjadi perbedaan respons kedua pemimpin tersebut, kenyataannya Jawa Barat sudah dicap sebagai provinsi yang tak toleran terhadap keanekaragaman. Direktur The Islah Center (TIC), Mujahidin Nur pernah mengatakan, penelitian sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa Barat di urutan pertama provinsi yang paling intoleran.
"Tingginya angka intoleransi di Jawa Barat menjadi kontradiktif dengan kultur dan budaya masyarakat Sunda sebagai 90 persen suku yang tinggal di Jabar yang terkenal sebagai masyarakat yang toleran, optimistis, periang, sopan, dan bersahaja," kata Mujahidin dikutip dari Antara.
Lembaga seperti Setara Institute pada 2015 lalu menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling banyak kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yakni sebanyak 44 kasus. Sementara Wahid Foundation menyebutkan kurang lebih 46 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terjadi di Jawa Barat.
Selain kedua lembaga itu, hasil monitoring dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung sepanjang 2005 hingga 2011 mengungkapkan, terdapat 383 peristiwa tindak kekerasan dan intoleransi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terjadi di Jawa Barat. Beberapa insiden terjadi di Depok, Bekasi, Cianjur, Sukabumi, Cirebon, Bogor, dan Kabupaten Tasikmalaya.
Kenyataan yang terjadi di lapangan bagai bumi dan langit dengan hukum formal yang berlaku. Di Bandung misalnya, pemerintah Kota Bandung telah lama mengeluarkan surat edaran terkait demonstrasi tak boleh dilakukan di tempat ibadah. Peraturan tersebut mengacu pada Pasal 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Hak atas kebebasan menjalankan ibadah telah dijamin Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Bunyi dari Pasal tersebut ialah, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Kemudian dalam bab penjelasan dari Pasal 29 ayat (2) mengungkapkan setiap warga negara memiliki agama dan kepercayaannya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. Dan tidak ada yang bisa melarang orang untuk memilih agama yang diyakininya. Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengamanatkan hal yang sama.
Pada ayat (1), setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lalu dalam ayat (2) pasal tersebut, negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selain itu, Pasal 18 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, bahwa hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut.
Ancaman Bagi Intoleran
Kebebasan beribadah jelas-jelas telah dijamin berlapis dengan berbagai peraturan dan undang-undang. Selain itu, negara juga menyiapkan berbagai ancaman pidana bagi mereka yang melarang atau mengganggu kegiatan keagamaan orang lain.
“Aparat harus lebih tegas kepada kelompok-kelompok intoleran ini, agar tidak terjadi lagi seperti ini. Siapapun yang terlibat termasuk yang memberikan aksi bebas ini harus ditindak,” kata Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP Maman Imanulhaq kepada tirto.id, Jumat (9/12/2016)
Dalam Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ditegaskan bahwa mereka yang intoleran diancam hukuman bui maksimal 1 tahun 4 bulan. Kemudian dalam Pasal 176 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja mengganggu pertemuan keagamaan yang bersifat, umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan atau upacara penguburan jenazah, dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.”
Sementara itu berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, Ormas dilarang menebarkan rasa permusuhan terhadapa suku, agama, Ras dan golongan.
Mengacu pada hal ini, Pemkot Bandung akan memberi sanksi kepada Ormas PAS dengan 2 tahap sanksi sesuai aturan, yaitu tahap persuasif dan tahap pelarangan organisasi. Wali Kota Ridwan Kamil mendesak agar ormas PAS memberikan surat permohonan maaf pada penyelenggara KKR, dalam rentang waktu maksimal seminggu. Di sisi lain Ormas PAS juga diminta mengikuti semua peraturan perundangan-undangan dalam berkegiatan sebagai Ormas.
“Apabila Ormas PAS menolak memberikan surat pernyataan, maka Pemkot Bandung yang secara hukum diberi kewenangan oleh UU 17 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, akan memaklumatkan pelarangan berkegiatan di wilayah hukum Kota Bandung kepada Ormas PAS,” kata Ridwan Kamil.
Perkara intoleransi semacam ini cerminan fenomena egoisme agama yang tidak mengenal kemanusiaan, dan itu terjadi di Bumi Pasundan yang terkenal dengan keindahan alam dan kesantunan masyarakatnya. Ucapan M.A.W Brouwer, budayawan asal Belanda yang paling fenomenal barangkali bisa jadi perenungan.
"Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum"
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Suhendra