tirto.id - Sepuluh tahun lalu, dengan merogoh Rp1.000, seseorang bisa berselancar internet via ponsel. Kebutuhan internet kala itu memang tak sebanyak sekarang. Opera Mini yang bisa diakses melalui ponsel yang mendukung Java, dan beberapa aplikasi chat sederhana, relatif cukup dipenuhi oleh data 1MB per hari.
Kini, dengan semakin beragamnya layanan dan aplikasi seperti WhatsApp, Instagram, YouTube, dan berbagai aplikasi boros internet lainnya, kebutuhan itu tak lagi mampu dicukupi hanya dengan 1MB per hari. Akibatnya, pengeluaran untuk internet pun meningkat, bahkan hingga ratusan ribu per bulan apalagi adanya pergerakan inflasi setiap tahun.
"Dulu saya dengan paket Rp1.000 untuk 1MB saja sudah cukup, sekarang sebulan harus keluar Rp200 ribu untuk data internet di ponsel," kata Zai kepada Tirto.
Apa yang dialami Zai barangkali juga dialami para pengguna ponsel lainnya. Pengeluaran belanja data internet pun makan bertambah sesuai dengan kebutuhan, dan menjadi bagian dari belanja atau konsumsi masyarakat yang mempengaruhi ekonomi.
Riset yang dilakukan Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (P2EB UGM) bersama Indosat Ooredoo menunjukkan, penambahan pelanggan selular hingga 10 persen, akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,4 persen.
Tingkat kenaikan PDB Indonesia dengan besaran 0,4 persen sesuai riset itu, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata di Asia yang rata-rata PDB meningkat 0,3 persen saat pengguna selular meningkat 10 persen. Sedangkan di ASEAN, PDB akan meningkat 0,2 persen bila pengguna selular meningkat 10 persen dalam setahun.
“Semenjak kehadiran jaringan 3G terjadi perubahan perilaku masyarakat di lapangan [...] Ada perubahan di dalam pergerakan ekonomi dan perilaku masyarakat atas kehadiran internet,” kata Deva Rachman, Group Head Corporate Communication Indosat Ooredoo. “Orang Indonesia dalam sehari pakai gadget sampai 16 jam sehari,” katanya.
Pada 2013, dalam laporan berjudul “Indonesia Digital Landscape” yang dimotori oleh Merah Cipta Media, rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia untuk koneksi internet berada di angka Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per bulan.
Saat ini, merujuk apa yang dipaparkan Numbeo, rata-rata tarif internet per bulan di Indonesia untuk kecepatan 60 Mbps $31,30 per bulan. Bila dirupiahkan, harga rata-rata internet di Indonesia lebih dari sekitar Rp423 ribu per bulan.
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi peningkatan belanja pulsa pada masyarakat Indonesia. Pada 2012, belanja pulsa masyarakat Indonesia hanya berkisar di angka Rp15.009 per kapita. Empat tahun kemudian, angka belanja pulsa masyarakat meningkat signifikan menjadi Rp22.182 per kapita per tahun.
Kajian lain dari Deloitte yang berjudul “The Economic Impact and Distruptions to Internet Connectivity,” terungkap bahwa terhentinya koneksi internet suatu negara akan berbanding lurus dengan penurunan nilai PDB.
Bila suatu negara yang sangat terkoneksi internet mematikan jaringan internet selama satu hari, terdapat kerugian senilai $23,6 juta per 10 juta penduduk pada PDB negeri tersebut. Sementara bagi negara yang kurang terkoneksi internet, matinya jaringan internet selama satu hari berpengaruh terhadap kerugian senilai $0,6 juta hingga $6,6 juta per 10 juta penduduk pada PDB.
Salah satu negara yang pernah merasakan kerugian akibat matinya jaringan internet adalah Mesir. Kondisi politik yang memanas dengan istilah “Arab Spring,” pemerintah Mesir memutuskan koneksi internet selama 5 hari pada 2011. Matinya internet selama 5 hari tersebut menyebabkan Mesir berdampak pada potensi kehilangan perputaran uang $90 juta. Ini setara dengan potensi pendapatan senilai $18 juta per hari, bila dihitung setahun bisa berdampak pada kurang lebih 3-4 persen PDB Mesir.
Penurunan PDB suatu negara pun sesungguhnya tak perlu menunggu kematian temporer jaringan internet. Penurunan kecepatan internet juga memengaruhi PDB suatu negara. Deloitte memaparkan bahwa pengurangan 50 persen kecepatan internet, akan mengakibatkan penurunan 0,15 persen PDB suatu negara. Riset-riset ini menunjukkan bahwa internet sudah sangat melekat bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk urusan bisnis.
Baca juga:Internet "Lemot", Sumber Stress Masyarakat Modern
“Mobile internet (bagi) pelaku ekonomi sangat besar manfaatnya, terutama bagi UKM dan usaha menengah bawah mobile internet (dapat) menurunkan entry barrier (hal-hal penghalang usaha). Dunia usaha memanfaatkan internet untuk akses ke pasar dan telah mengakibatkan kebutuhan tinggi pada internet,” ucap Prof. Bambang Riyanto, Direktur pada P2EB UGM.
Namun, atas angka-angka cemerlang dalam bidang ekonomi suatu negara yang diyakini dipengaruhi perkembangan internet, justru The Brookings Institution punya pandangan lain. Institusi non profit pengawas kebijakan yang berbasis di AS ini menilai bahwa kekuatan internet dalam konteks ekonomi sesungguhnya belum terlalu tinggi dan hebat.
Di AS misalnya, e-commerce, salah satu segmen yang lahir atas kelahiran internet, baru menyumbang nilai transaksi sebesar $20 miliar bagi aktivitas ekonomi AS. Angka tersebut baru menyumbang sekitar 1 persen dari total nilai ritel AS.
Namun, selain dalam bidang ekonomi, kekuatan internet yang mendistrupsi segala sendi kehidupan, telah mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di masyarakat dalam konteks negatif. Paparan yang dilakukan P2EB UGM menyebut bahwa internet sukses menurunkan social skill generasi Z dibandingkan generasi sebelumnya.
Baca juga:Benarkan Internet Melemahkan Kemampuan Berpikir?
“Mungkin (atas kehadiran internet di tengah masyarakat) akan ada perubahan norma,” ucap Bambang.
Pew Research Center, dalam risetnya yang dilakukan di 32 negara maju dan berkembang mengungkapkan bahwa pertumbuhan internet justru mengikis moralitas. Selain itu, Pew Research Center juga mengungkap bahwa internet oleh masyarakat digunakan terutama bukan untuk tujuan produktivitas dalam artian pekerjaan/kegiatan profesional.
Sebanyak 82 persen pengguna internet dewasa, menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Selebihnya ada yang menggunakan untuk sistem pembayaran dan belanja online yang terkait kegiatan ekonomi masing-masing hanya 22 persen dan 16 persen. Ini tentu merupakan catatan lain bagi kekuatan internet yang diyakini menentukan geliat ekonomi di banyak negara termasuk Indonesia.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra