tirto.id - Pete Willcox terkejut bukan kepalang, ia mendengar dentuman keras saat sedang tidur lelap di geladak kapal. Kondisi kapal yang mendadak gelap gulita dan penuh pecahan logam yang berserakan, membuat Willcox langsung bangun mencari penyebab bunyi keras tersebut. Ia menduga bunyi itu berasal dari tabrakan yang membentur kapalnya. Apalagi di saat yang bersamaan terdengar gemuruh air yang diikuti masuknya air laut ke lambung kapal.
Tak lama berselang, dentuman terdengar lagi dan kali ini lebih besar. Ini mengakibatkan air laut semakin masuk ke dalam kapal serta membuat kapal seketika miring, hampir tenggelam. Sebagai kapten kapal, Willcox memerintahkan seluruh awak kapal untuk segera menyelamatkan diri dengan meloncat ke laut secepat mungkin. Dalam sekejap, kapal yang dikenal sebagai Rainbow Warrior itu karam. Peristiwa tersebut terjadi pada 10 Juli 1985, tepat hari ini 36 tahun lalu, di Pelabuhan Auckland, Selandia Baru.
“Operation Satanic”
Tenggelamnya kapal Rainbow Warrior mengejutkan banyak pihak. Apalagi kapal itu adalah milik Greenpeace--organisasi independen pendukung pelestarian lingkungan yang saat itu sedang melawan negara-negara besar dalam hal uji coba nuklir. Apakah ini murni karena kecelakaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh pihak yang tidak menyukai Greenpeace?
Keesokan harinya, investigasi mendalam langsung dilakukan otoritas setempat. Satu awak kapal bernama Fernando Pereira dinyatakan tewas karena gagal menyelamatkan diri saat kapal hendak karam. Dan terungkap juga bahwa kapal tenggelam akibat ledakan bom. Dari sinilah pencarian tersangka dilakukan.
Berbekal informasi dari anggota Auckland Outboard Boating Club yang melihat gerak-gerik orang mencurigakan di dermaga sesaat sebelum ledakan terjadi, dua hari kemudian dua pelaku penenggelaman kapal ditangkap. Pelaku bernama Alain Mafart dan Dominique Prieur, wisatawan Swiss yang berkunjung ke Selandia Baru untuk berbulan madu.
Pada pemeriksaan lanjutan, terungkap bahwa keduanya menggunakan paspor palsu dan merupakan anggota intelijen dari Direction Générale de la Sécurité Extérieure (DGSE) atau dinas intelijen Prancis. Dalam aksinya, mereka menggunakan perahu curian lalu menyelam untuk menempelkan bom pada lambung kapal. Operasi ini bersandi “Operation Satanic”.
Keterlibatan Prancis dalam inisiden kapal Rainbow Warrior berkaitan erat dengan tindakan Greenpeace beberapa tahun sebelumnya. Sejak berdiri pada 1971, Greenpeace memang giat mengampanyekan anti-nuklir di seluruh dunia sebagai reaksi atas masifnya uji coba nuklir yang dilakukan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, dan Prancis.
Organisasi ini kerap menjadikan kapal sebagai representasi Greenpeace untuk menyebar propaganda anti-nuklir di seluruh dunia. Termasuk kapal Rainbow Warrior yang digunakan Greenpeace untuk tur keliling dunia untuk kampanye anti-nuklir, penyelamatan lingkungan, sekaligus menyelamatkan masyarakat yang terdampak radiasi uji coba nuklir.
Pada tahun 1972, melalui kapal pesiar Greenpeace Vega, organisasi ini berupaya menghentikan uji coba nuklir Prancis dengan mengunjungi langsung tempat peledakan di Kepulauan Mururoa, Samudera Pasifik. Selain itu, pada 1979, kapal Greenpeace juga mencegat kapal Inggris yang membawa limbah nuklir di perairan Atlantik.
Tindakan Greenpeace diapresiasi seluruh dunia dan menjadikan kampanye anti-nuklir semakin populer. Tapi di sisi lain, aksi ini sangat merugikan dan mempermalukan negara-negara yang ditentang Greenpeace, termasuk Prancis: mengalirkan sentimen negatif. Padahal mereka mengklaim, langkah uji coba nuklirnya sebagai keputusan untuk menyelamatkan dunia dalam konteks pertahanan dan keamanan.
Tetapi bagi Greenpeace, meski menyelamatkan umat manusia dari ancaman militer, tindakan tersebut tetap saja merusak lingkungan dan tidak membawa kebaikan bagi umat manusia. Ketidaksepakatan inilah yang membuat banyak negara gerah, sehingga mereka melakukan tindakan spionase terhadap Greenpeace.
Pelakunya: Dinas Intelijen Prancis
Setelah investigasi dilakukan oleh kepolisian, Perdana Menteri Selandia Baru, David Lange, menggelar konferensi pers dan memberikan pernyataan yang menohok. David Lange tampaknya memahami bahwa penenggelaman tersebut adalah upaya penjegalan kampanye Greenpeace oleh otoritas Prancis. Ia mengecam tindakan Prancis dan memandang kasus ini sebagai tindakan terorisme pertama di Selandia Baru, sekaligus tindakan terorisme internasional yang didukung Prancis. Ia menyerukan agar memboikot barang-barang Prancis.
Pernyataan David Lange disambut positif oleh dunia internasional. Bantuan dan simpati untuk Greenpeace semakin melimpah. Negara yang terletak di Tenggara benua Australia itu memang sejalan dengan Greenpeace yang sama-sama menolak uji coba nuklir.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah Prancis juga memberikan pernyataan resmi usai kepolisian memublikasikan hasil investigasinya. Otoritas Prancis menyangkal keterlibatannya dalam penenggelaman kapal. Berbeda dengan Selandia Baru, pemerintahan Prancis justru dihujat habis-habisan setelah pengumuman itu. Pemerintahan Selandia Baru, publik internasional, dan pers mendesak pemerintah Prancis mengakui keterlibatannya. Mereka mendorong Presiden Prancis François Maurice Adrien Marie Mitterrand dan Menteri Pertahanan Charles Hernu bertanggungjawab, serta meminta mereka mundur dari jabatannya.
Menanggapi hal ini, Mitterand berjanji akan melakukan investigasi terkait keterlibatan intelijennya di Selandia Baru. Setelah beberapa minggu, pada 27 Agustus 1985 hasil investigasi keluar. Pemerintah Prancis mengakui keterlibatan intelnya, tetapi bukan perihal penenggelaman melainkan hanya memata-matai kapal tersebut.
Pernyataan ini membuat publik geram dan terus mendesak agar pemerintah Prancis bertanggungjawab. Tidak terima terus-terusan diserang, keesokan harinya Presiden Mitteran dan Perdana Menteri Prancis Laurent Fabius, menantang PM David Lange untuk membuktikan keterlibatan Prancis dalam penenggelaman kapal Greenpeace. Bagi Prancis, memata-matai kapal Rainbow Warrior adalah tindakan yang wajar dilakukan untuk mengantisipasi gangguan dari Greenpeace terhadap kepentingan ujicoba nuklirnya.
Meski demikian, pernyataan-pernyataan ini tidak cukup untuk menahan gelombang protes dan berhasil membuat Menteri Pertahanan Charles Hernu mengundurkan diri. Puncaknya terjadi pada 23 September 1985, PM Prancis Laurent Fabius akhirnya mengakui keterlibatan DGSE dalam penenggelaman kapal.
“Agen DGSE-lah yang menenggelamkan kapal itu. […] Mereka bertindak di bawah perintah,” ujarnya.
Tak lama setelah itu, otoritas Selandia Baru menggelar persidangan untuk mendakwa kedua tersangka. Hasilnya, mereka divonis sepuluh tahun penjara oleh hakim karena terbukti bersalah melakukan penenggelaman kapal dan pembunuhan.
Di sisi lain, tindakan boikot yang dibuat oleh Perdana Menteri Selandia Baru David Lange kepada Prancis dalam konferensi persnya pada bulan Juli, ternyata membawa nasib buruk bagi perekonomian negaranya. Pada Januari 1986, ekspor Selandia Baru ke Eropa mandek akibat memanasnya hubungan dengan Prancis. Kondisi ini dikhawatirkan membuat ekonomi Selandia Baru hancur.
Akhirnya, kedua negara duduk bersama dalam meja perundingan yang difasilitasi PBB. Pada Juli 1986, kedua negara mencapai kata mufakat. Pemerintah Prancis secara resmi meminta maaf kepada Selandia Baru, membayar biaya kompensasi, dan menormalisasi hubungan dagang kedua negara. Sedangkan pemerintah Selandia Baru mengizinkan intel Prancis untuk bertugas kembali di kawasan Pasifik. Perjanjian ini membuat banyak pihak marah karena menilai David Lange tidak konsisten dan hanya gertak sambal. Di sisi lain, Greenpeace juga diuntungkan. Mereka mendapatkan ganti rugi sebesar US$8,1 juta dari Prancis usai bertarung di pengadilan arbitrase internasional.
Editor: Irfan Teguh Pribadi