Menuju konten utama

Indonesia Masih Darurat Karhutla

Indonesia masih harus waspada melewati penghujung 2020. Pasalnya, data-data historis memperlihatkan puncak karhutla umumnya terjadi setiap Oktober.

Indonesia Masih Darurat Karhutla
Warga dan personel Manggala Aqni melakukan pemadaman api yang membakar lahan gambut di Kelurahan Tinengi, Kecamatan Tinondo, Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/ManggalaAqni/JJ/foc.

tirto.id - Sejak kebakaran dahsyat yang melenyapkan 2.611.411,44 hektar hutan dan lahan di Indonesia pada 2015, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memang berhasil ditekan, namun nahas tiga tahun berselang karhutla kembali membabi buta. Pada 2018, lebih dari 529 ribu hektar hutan dan lahan terbakar, tiga kali lipat dari rekapitulasi luas karhutla pada 2017. Setahun setelahnya karhutla kembali menimpa seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta, menghanguskan 1,6 juta hektar hutan dan lahan. Jumlahnya bahkan melebihi akumulasi luas karhutla pada 2016-2018.

Kendati Februari 2020, Presiden Jokowi telah memberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 sebagai upaya penguatan pencegahan dan penegakan hukum dalam menanggulangi karhutla di Indonesia, karhutla kembali terjadi sepanjang tahun ini. Pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan hingga akhir September 2020, api telah membakar lebih dari 120 ribu hektar hutan dan lahan di 32 provinsi.

Enam provinsi langganan karhutla pun lagi-lagi tak bisa mengelak dari bencana klimatologi ini. BNPB merangkum, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, telah menerapkan status siaga darurat menyusul terjadinya karhutla di masing-masing provinsi. Di Riau, karhutla terpantau di sejumlah wilayah kabupaten, seperti Dumai, Bengkalis, Meranti dan Indragiri Hilir. KLHK mencatat, luas karhutla di ptovinsi ini telah mencapai 15 ribu hektar, lebih luas dari total karhutla di seluruh pulau Kalimantan yakni 12 ribu hektar. Sementara luas karhutla di Sumatera Selatan dan Jambi tergolong rendah, masing-masing berkisar 800 dan 500 ribu hektar.

Luas karhutla yang terjadi dari awal tahun hingga akhir September 2020 memang jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Pada periode Januari-September 2019, luas lahan dan hutan yang terbakar mencapai 857 ribu hektar. Pantauan satelit Aqua, Terra, NOAA20 dan SNPP yang dioperasikan Lembaga Penerbangan dan Antartika Nasional (LAPAN) juga menunjukkan adanya penurunan jumlah sebaran titik panas atau hotspot selama Agustus-September tahun ini.Tak hanya itu, BMKG juga memprediksi adanya potensi La Nina yang mengakibatkan kenaikan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia saat musim hujan nanti.

Ini adalah angin segar mengingat hujan merupakan pahlawan dalam tragedi karhutla, namun Indonesia masih harus waspada melewati penghujung 2020. Pasalnya, data-data historis yang ada memperlihatkan puncak karhutla umumnya terjadi setiap Oktober, terlebih musim hujan 2020/2021 juga baru akan dimulai secara bertahap pada akhir Oktober. BMKG dalam Press Release-nya memperkirakan awal musim hujan di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi berkisar pada Oktober-Desember sedangkan untuk wilayah Papua, Nusa Tenggara dan Maluku baru akan mulai diguyur hujan pada November – Desember.

Karhutla di bumi pertiwi telah menjadi bencana tahunan sejak fenomena El Nino terkuat menimpa kawasan Asia Tenggara pada 1997-1998. Pada periode itu, Indonesia juga mengalami karhutla hebat yang menghanguskan 11,8 juta hektar hutan dan lahan. Kendati demikian, El Nino hanyalah salah satu sumber panas yang memantik atau memperparah karhutla. Faktor lain yang juga memperbesar resiko terjadinya karhutla diantaranya, sebaran titik panas, kemarau dan utamanya akibat ulah manusia.

Nina Yuliati dalam bukunya “Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas” (2018; 12-13) mengemukakan, 90 persen karhutla disebabkan oleh manusia baik karena faktor kecerobohan maupun kesengajaan. Berbagai tindakan ceroboh yang dimaksud mencakup membuang puntung rokok, meninggalkan api unggun, kembang api dan pembakaran puing atau sampah. Sementara pembakaran hutan yang didasari unsur kesengajaan umumnya dilakukan untuk menghancurkan tanah, properti serta konversi hutan dan lahan gambut.

Menurut Nina, kegiatan alih fungsi dan pembukaan lahan di negara berkembang seperti Indonesia memang biasa dilakukan melalui metode tebas dan bakar. Metode ini dianggap paling efektif dan efisien untuk membuka lahan baru tanpa perlu mengeluarkan biaya besar. Padahal metode ini sama saja dengan pembakaran liar, lantaran api dapat dengan mudah menyebar ke area hutan di sekitarnya, baik melalui kontak langsung, aliran cairan dan gas sampai gelombang elektromagnetik. Sudah jadi rahasia umum apabila karhutla di Indonesia merupakan sumbangsih dari industri kayu dan perkebunan kelapa sawit.

BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” mencatat, konversi hutan masih dianggap primadona bagi perekonomian Indonesia dalam lima dekade terakhir. Pada periode 1966 sampai 1980-an, sejumlah kawasan hutan Indonesia dikabarkan terus berkurang seiring dengan meningkatnya produksi kayu dalam negeri, Indonesia bahkan tercatat sebagai produsen kayu lapis dan eksportir kayu bulat terbesar di dunia selama periode tersebut. Kini fenomena yang sama kembali berulang, BPS mencatat produksi kayu bulat di Indonesia kembali mengalami peningkatan selama kurun waktu 2014-2018.

Pada periode tersebut produksi kayu bulat meningkat 16,07 juta meter kubik dari yang sebelumnya 31.90 juta pada 2014 menjadi 47,97 juta meter kubik pada 2018. Di saat bersamaan, data KLKH yang termuat dalam publikasi sebelumnya memeperlihatkan adanya penurunan luas lahan berhutan yang signifikan selama periode 2011-2018. Seluas 5,2 juta hektar lahan berhutan hilang hanya dalam waktu tujuh tahun akibat perubahan fungsi dan peruntukkan lahan.

Adapun penurunan luas lahan berhutan yang ekstrem pada kurun waktu itu terjadi pada 2012-2013 yakni sebesar 1,7 juta hektar. Saat itu juga produksi hasil hutan seperti kayu gergajian, kayu lapis, bubur kertas, lembaran vinir, papan partikel dan papan serat turut meningkat pesat. Produksi kelapa sawit juga dilaporkan mengalami peningkatan selama 2011-2015. BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2017” mencatat, produksi kelapa sawit Indonesia meningkat 35,45 persen dan mencapai 31,28 juta ton pada 2015, ketika Indonesia kembali merasakan karhutla terhebat dalam satu dekade terakhir. Saat itu areal perkebunan sawit ikut bertambah luas, meningkat 25,66 persen menjadi 11,30 juta hektar dari yang semula hanya seluas 8,99 juta hektar pada 2011.

Padahal hutan berfungsi menyangga iklim, menjaga sistem tata air dan daya ikat tanah serta sumber keanekaragaman hayati. Catatan BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2015” menyatakan hutan mampu menyerap 15 persen emisi karbon yang berasal dari aktivitas manusia setiap tahunnya. Sebagai negara tropis, hutan Indonesia memiliki hamparan hutan yang mampu menjaga keseimbangan iklim dunia. Luas tutupan hutan Indonesia pula yang menopang pasokan oksigen.

Hutan Indonesia juga merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati, lebih dari 389 ribu jenis fauna dan 110 ribu jenis flora hidup berdampingan di hutan. Bagi sebagian penduduk Indonesia, hutan merupakan sumber penghidupan. Pendataan Potensi Desa BPS 2018 menunjukkan, sekitar 8.643.228 rumah tangga tinggal di dalam dan tepi hutan. Mereka tersebar di 2.768 desa yang berlokasi di dalam hutan dan 18.617 desa di sekitar hutan. Akibatnya kala karhutla melanda, mereka menjadi yang pertama kalang-kabut.

Infografik Indonesia Darurat Karhutla

Infografik Indonesia Darurat Karhutla. tirto.id/Quita

Efek Domino Karhutla

Permasalahan karhutla sangat berpengaruh terhadap terdegradasinya hutan dan tanah, kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat. Efek langsung yang pertama dirasakan masyarakat dari karhutla adalah polusi udara. Apabila api membakar begitu besar kawasan berhutan dalam waktu yang lama, maka asap akan menjadi sangat tebal yang kemudian disebut kabut asap. Selama musim kebakaran, kabut asap tak hanya akan menyelimuti kota-kota yang berdekatan dengan kawasan terbakar tapi juga memasuki wilayah negara tetangga.

Kabut asap dapat menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan pada manusia seperti iritasi mata dan kulit, batuk, radang tenggorokan, mengganggu fungsi jantung akibat penumpukan plak dalam pembuluh darah, memperburuk kesehatan penderita asma dan penyakit paru kronis lainnya hingga menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA. Pada ranah sosial dan ekonomi, kabut asap yang tebal menyebabkan sejumlah aktivitas masyarakat terkendala. Sekolah dan aktivitas perekonomian, misalnya, terpaksa diberhentikan sementara. Pada skala nasional, kerugian ekonomi akibat karhutla juga tak tanggung-tanggung. Tahun lalu kerugian akibat karhutla ditaksir sebesar Rp75 triliun, sementara pada karhutla hebat 2015 kerugian mencapai Rp221 triliun.

Degradasi sendiri adalah terjadinya proses penurunan produktivitas suatu lahan baik yang bersifat sementara maupun tetap. Ini karena kebakaran secara langsung dapat membunuh mikroorganisme tanah yang bermanfaat untuk dekomposisi tanah. Lahan-lahan tidak produktif atau yang biasanya disebut lahan kritis ini biasanya akan dibiarkan terlantar begitu saja. BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” mencatat, luas lahan kritis di Indonesia pada 2013 mencapai 24,3 juta hektar dimana 15,5 juta hektar berlokasi di dalam wilayah berhutan. Lahan kritis juga lebih banyak ditemui di provinsi darurat karhutla. Di Riau terdapat sekitar 1,9 juta hektar lahan kritis, sementara lahan kritis terluas ditemui di Kalimanta Tengah yang mencapai 5,1 juta hektar, disusul Papua dan Sumatra dengan 2,2 dan 1 juta hektar.

Kondisi lahan kritis juga bersumbangsih terhadap hilangnya tutupan hutan atau yang dikenal sebagai deforestasi. Deforestasi menyebabkan hutan kehilangan tutupan pepohonan dengan kerapatan tertentu. Umumnya, provinsi-provinsi yang mengalami degradasi lahan juga mengalami deforestasi cukup tinggi. BPS mencatat deforestasi terluas terjadi di pulau Sumatra sebesar 519 ribu hektar atau setara dengan 47,5 persen dari total deforestasi di Indonesia pada 2014-2015. Kabar baiknya, kini laju deforestasi di Indonesia menunjukkan penurunan sejak 2015, dari 1,09 juta hektar menjadi 0,44 juta hektar pada 2017-2018. Deforestasi terluas masih terjadi di pulau-pulau dengan kondisi lahan kritis yang luas seperti Kalimantan dan Sumatra, dengan 65,6 dan 56,8 ribu hektar lahan dalam hutan yang terdeforestasi.

Degradasi lahan juga membuat tanah kehilangan fungsi hidrologisnya. Hutan tak lagi mampu menyerap air dalam jumlah besar dan memaksimalkan simpanan air tanah. Akibatnya, akan terjadi kekeringan ketika kemarau dan banjir hingga tanah longsor saat musim hujan. Dampak ini sebenarnya sudah dirasakan sebagian penduduk Indonesia. Akhir Januari ini, BNPB mengemukakan karhutla yang menimpa kawasan hulu pegunungan Ijen pada 2019 lalu berkonstribusi terhadap banjir bandang di Ijen. Ironisnya, menurut Nina dalam bukunya Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas (2018), laju degradasi lahan sendiri turut menjadi faktor penyebab terjadinya karhutla di Sumatra dan Kalimantan.

Tidak berhenti sampai di situ, karhutla turut menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang sangat besar. Dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” BPS mencatat, karhutla merupakan sektor penyumbang emisi terbesar terhadap GRK nasional pada 2015. Kala itu kebakaran lahan gambut menghasilkan 712.602 Gg CO2e. Setelahnya, emisi GRK akibat karhutla berangsur-angsur menurun selaras penuruan luas karhutla. Pada 2016, emisi dari kebakaran lahan gambut menurun menjadi 90.267 Gg CO2e dan menurun lagi menjadi 12.513 Gg CO2e pada 2017. Tak hanya melepaskan emisi GRK, kehilangan hutan tropis berarti kehilangan sumber daya yang mampu menyerap karbondioksida dari hasil aktivitas manusia.

Itulah mengapa kebakaran dan kerusakan hutan sangat berdampak bagi kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Manusia membutuhkan hutan sebagai sumber penghidupan dan peredam perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan. Perlindungan terhadap hutan seharusnya bukan hanya terhadap komoditas barang bernilai ekonomis yang dapat hutan hasilkan tapi juga terhadap kualitas ekosistem hutan itu sendiri. Penting untuk memastikan kawasan hutan tetap sebagaimana mestinya, tidak mengalami perubahan fungsi atau sampai kehilangan tutupannya, demi kelestarian lingkungan.

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Suliana Khusnulkhatimah

tirto.id - Humaniora
Penulis: Suliana Khusnulkhatimah
Editor: Windu Jusuf