tirto.id - Sejak dimulai 38 tahun lalu, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) masih konsisten menyelenggarakan pameran buku. Mula-mula gelaran ini bernama Pameran Buku Nasional (PBN), kemudian berubah menjadi Indonesia Book Fair (IBF), dan mulai 2014 berganti lagi menjadi Indonesia International Book Fair (IIBF).
Tahun ini, IIBF digelar dari tanggal 12 sampai 16 September 2018 di Jakarta Convention Center, tepatnya di Cendrawasih Room dan Plenary Hall. Gelaran yang didukung Badan Kreatif Indonesia (Bekraf) ini diikuti oleh puluhan penerbit dari 17 negara, yaitu Indonesia, Arab Saudi, Australia, Inggris, Cina, Maroko, India, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Malaysia, Mesir, Turki, Singapura, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Tunisia.
Selain para penerbit, sejumlah lembaga negara juga turut membuka stan seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Selatan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Barat, dan lain-lain.
Ketua IKAPI Rosidayati Rozalina, dalam rilis yang diterima Tirto, menyampaikan bahwa di tingkat global, saat ini banyak yang ingin tahu Indonesia dan sangat antusias unruk hadir pada gelaran IIBF 2018. Ini salah satunya didorong oleh kehadiran Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015 sebagai Tamu Kehormatan.
Sementara Wakil Ketua Bekraf Ricky Joseph Pesik menyampaikan bahwa penerbitan adalah salah satu bagian dari industri kreatif, dan buku mempunyai dampak yang besar terhadap industri kreatif lain seperti film, musik, dan pariwisata. Karena itu, sejak beberapa tahun ke belakang, Bekraf ikut mendukung IIBF.
“Pameran IIBF sudah dirintis sejak lama oleh IKAPI. Ini akan dikembangkan menjadi platform yang lebih besar agar reputasinya semakin baik di dunia, sehingga Indonesia diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan penerbitan. Diharapkan Indonesia semakin hari semakin dilihat dunia sebagai sumber literatur,” imbuhnya.
Selama 5 hari perhelatan yang diagendakan, IIBF 2018 tak hanya diramaikan aktivitas niaga buku, tapi juga ada bursa naskah, peluncuran buku, bursa hak cipta, bedah buku, perlombaan mendongeng antarpelajar, festival komunitas literasi, kompetisi tari tradisional, dan sebagainya.
Lain Era Beda Tantangan
Kondisi perbukuan nasional dari tahun ke tahun mempunyai tantangan yang dinamis seiring dengan situasi bidang lain yang terus berubah. Ini setidaknya terekam dari setiap gelaran sejak bernama PBN hingga IIBF.
Sebagai contoh, dalam usianya yang masih dini, seperti dilansir Kompas (30/04/1981), saat masih bertajuk Pameran Buku Nasional, kegiatan ini ditekankan untuk mengubah wajah dan citra pameran sebelumnya yang dinilai masih terlalu sederhana sehingga kurang memberikan informasi dunia perbukuan di Indonesia kepada masyarakat luas.
Selain itu, Wakil Presiden Adam Malik yang membuka pameran tersebut mengusulkan agar penerbit memperbanyak produksi buku yang bertemakan cacat. Hal ini ia sampaikan karena pada tahun tersebut bertepatan dengan “Tahun Cacat Internasional”. Adam Malik juga menyarankan agar IKAPI tak hanya mengundang sekolah-sekolah negeri, tapi juga mengundang sekolah-sekolah swasta.
“IKAPI hendaknya mengadakan kerjasama dengan daerah-daerah, untuk menangani perpustakaan di daerah seluruh Indonesia,” imbuhnya.
Pameran yang digelar di Jakarta dari 14 sampai 23 Mei 1981 itu hanya diikuti 61 peserta dari Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Surakarta, Jawa Timur, dan Flores.
Sementara pada edisi yang dihelat di Bandung dari 19-26 Agustus 1995, pameran buku tertekan karena harga kertas tengah melambung. Tingginya harga kertas membuat buku menjadi mahal dan memberatkan calon pembeli. Tingkat produksi buku pun menurun drastis karena sejak September 1994 harga kertas naik 100 sampai 125 persen.
Untuk menyiasati kondisi tersebut, menurut Ketua IKAPI Jabar Aan Suhendar, seperti dikutip Kompas (21/8/1995), para penerbit terpaksa memakai kertas koran yang kualitasnya tidak memenuhi standar untuk buku. Penggunaan kertas koran pun sebetulnya masih cukup memberatkan para penerbit sebab harganya di kisaran Rp 2.450 per kilogram belum termasuk PPN. Harga tersebut dianggap mahal untuk ukuran saat itu.
“Penerbit hingga kini masih terus memakai kertas koran karena jika dibandingkan dengan penggunaan kertas HVS dan HVO maka perbandingan tingkat efisiensinya mencapai 2 berbanding 3 untuk kertas koran. Harga kertas HVS kini masih mencapai Rp. 3.000 per kilogram,” ujarnya.
Pada pameran yang diikuti oleh 41 penerbit nasional, 10 distributor, serta 5 perusahaan mesin cetak tersebut, Aan Suhendar juga menyampaikan bahwa kenaikan harga kertas turut menghambat penerbitan buku-buku pendidikan SD, SLTP, dan SLTA untuk tahun ajaran 1995/1996.
Hal lain yang menghambat terbitnya buku-buku pelajaran itu adalah karena Pusat Perbukuan Direktorat Sarana Pendidikan Depdikbud bekerja lambat dalam memberikan penilaian terhadap layak atau tidaknya buku pelajaran diterbitkan. Padahal menurutnya, lembaga tersebut telah memungut dana Rp60.000 untuk setiap judul buku demi meningkatkan kinerjanya.
Empat tahun setelah diadakan di Bandung, pameran buku IKAPI yang namanya menjadi Indonesia Book Fair digelar di Istora Senayan. Saat itu panitia menyadari bahwa pameran buku cenderung hanya memindahkan toko buku untuk berjualan.
Hal tersebut salah satunya diungkapkan Mula Harahap sebagai ketua penyelenggara yang menyebutnya sebagai “kebekuan rutinitas”. Menurutnya, seperti dikutip Gatra edisi 20 September 1999, IKAPI mengharapkan pameran buku bukan sekadar memindahkan toko buku, tapi menjadi peristiwa budaya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan pameran semestinya menjadi wadah interaksi antara pembaca dan penulis buku.
“Mimpi saya, di sebuah stan hadir pengarang buku seperti Amien Rais atau A.S. Hikam, lalu berdialog dengan pengunjung sehingga masyarakat bisa belajar dan terdorong untuk mengekspresikan pluralitas budaya dalam bentuk tulisan. Jadi cocok dengan tema pameran ini, ‘Mendorong Pengekspresian Keanekaragaman Budaya di Indonesia’,” ujarnya.
Keinginan untuk menyelenggarakan pameran buku yang bukan sekadar aktivitas niaga kemudian direalisasikan dengan sejumlah ikhtiar, yakni mengadakan acara-acara yang tidak langsung berkaitan dengan buku, di antaranya acara demo melukis anak-anak, gebyar musik, lomba mendongeng, dan lomba sepakbola mini. Ragam kegiatan tersebut, tulis Gatra, membuat Indonesia Book Fair 1999 nyaris riuh rendah.
Dorongan penyelenggara kepada para penerbit agar tak sekadar berjualan ditanggapi agak sinis oleh sebagian penerbit. Bagi mereka, tujuan utama mengikuti pameran memang untuk mendapatkan profit.
“Kami berpameran ini mengeluarkan uang. Wajar dong kalau kami mencari untung,” ujar seorang perwakilan penerbit.
Kerja Belum Selesai, Belum Apa-Apa
Kehadiran Indonesia di sejumlah pameran buku internasional seperti Leipzig Book Fair, London Book Fair, Bologna Children’s Book Fair, hingga Frankfurt Book Fair membuat Indonesia, khususnya IKAPI, semakin dikenal dan diperhitungkan banyak negara.
Hal ini tentu menjadi motivasi dan tantangan baru agar buku-buku para penerbit Indonesia tidak hanya dikenal khalayak dalam negeri. Dalam konteks yang lebih luas, kepercayaan terhadap Indonesia juga menjadi ujian sejauh mana insan perbukuan nasional dapat bertahan secara konsisten dalam berbagai situasi.
Becermin dari Jerman yang sudah ratusan tahun mengadakan sejumlah pameran buku, mereka sanggup bertahan dalam berbagai situasi yang cukup berat, dari konflik politik sampai krisis ekonomi.
Tiga puluh delapan tahun menyelenggarakan pameran buku tentu bukan kerja yang sederhana. Namun, bukan alasan untuk mengendurkan semangat dan ide-ide kreatif menuju peradaban literasi nasional yang mapan.
Kerja belum selesai, belum apa-apa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan